Blog/Website Pribadi, Haruskah?
Salah satu pengalaman buruk yang saya alami setelah lulus dari kuliah Strata-1 adalah hilangnya laptop, dimana di dalamnya tersimpan semua makalah yang merupakan hasil karya selama di bangku perkuliahan, atau lebih tepatnya sebagian, karena kebanyakan memang makalah kelompok yang pengerjaannya tidak sepenuhnya dari saya. Selain makalah, juga ada beberapa tulisan artikel sederhana yang jumlahnya memang tidak terlalu banyak, tapi juga untuk menyebutnya sedikit juga tidak terlalu sedikit. Ya, intinya ada banyak tulisan yang ikut raib bersamaan dengan raibnya laptop saya itu, dan nyatanya memang kehilangan karya-karya yang ada di dalam laptop itulah yang lebih menyakitkan dibandingkan dengan laptopnya itu sendiri. Karena bagaimana pun, saya bisa membeli laptop lagi, tapi tidak dengan karya yang ada.
Beberapa kali saya bertemu dengan orang yang mengalami nasib yang sama dengan saya, yaitu kehilangan laptop. Dan tanggapan mereka semua hampir sama, yaitu kesedihan yang mereka rasakan bukan karena laptopnya yang hilang, melainkan lebih kepada isi yang ada di dalamnya. Ada karya tulis, dokumen-dokumen penting, foto-foto pribadi, foto-foto keluarga, rekan dan sebagainya.
Namun, terlepas dari musibah hilangnya laptop yang juga menghilangkan file-file yang ada di dalamnya. Potensi kehilangan file, entah itu dokumen, foto, video atau apapun itu juga masih ada. Seperti yang kita ketahui dan mungkin sering kita alami, yaitu file yang kita simpan tiba-tiba menghilang, entah itu terhapus tanpa sengaja, terkena virus, atau dimungkinkan sekali kita lupa letak folder penyimpananya, dan memang harus kita akui itulah salah satu kelemahan media digital. Menyadari akan adanya potensi hilangya file-file digital yang kita miliki, seudah seharusnya kita berusaha mem-back up semuanya. Memang, era sekarang sudah banyak cara melakukan back up data dengan pengoperasionalan yang mudah.
Dalam tulisan ini, saya akan memfokuskan pada karya-karya tulis, dan karena pembukaan tulisan ini menyinggung tentang makalah, maka saya akan sedikit berbagi bagaimana cara saya memanfaatkan blog/website pribadi untuk memastikan karya tulis saya tetap terjaga, dan lebih dari itu bisa lebih bermanfaat, terutama bagi para siswa atau mahasiswa yang lain.
Dalam beberapa kesempatan, saya selalu meminta para mahasiswa untuk memiliki blog pribadi atau yang sejenisnya. Karena ada beberapa alasan yang perlu diperhatikan, alasan yang menjadikan memiliki blog pribadi itu penting. Pertama, memastikan karya yang telah kita buat terjaga dengan baik. Seperti yang saya sampaikan tadi, bahwa menyimpan file di dalam laptop atau media digital lainnya memiliki potensi rusak atau hilang, dan ini sudah beberapa kali terbukti, sering ada mahasiswa yang menyampaikan pada dosen “maaf pak/bu, file tugas saya hilang, jadi hari ini belum bisa presentasi”. Atau ketika diminta untuk merevisi tugas, “maaf pak, file makalah yang kemarin hilang, jadi boleh tidak kami membuat makalah dari awal?” Terlepas dari hilangnya itu disengaja atau tidak, tapi begitulah “drama” yang masih sering terjadi di kalangan mahasiswa. Tapi, drama semacam itu tentu tidak akan terjadi jika setelah membuat makalah, mahasiswa tersebut langsung memposting tulisannya di blog/website nya. Maka, selama internet masih berjaya di muka bumi ini, karya tulis mahasiswa tersebut akan terjaga dengan baik. Tidak akan ada lagi drama file hilang, dan meskipun ada juga tidak menjdi masalah, karena mahasiswa tersebut tinggal mengakses makalahnya yang sudah diposting di blog/website nya tadi. Jadi, blog/website yang dimiliki bisa digunakan sebagai menyimpan karya tulis atau karya-karya lainnya.
Kedua, dengan memiliki blog/website, kita bisa mengakses karya kita dimanapun dan kapanpun. Maksudnya bagaimana? Ya, saya ambilkan “drama” lain yang juga sering terjadi di bangku perkuliahan. Saat perkuliahan telah dimulai, dan saatnya mahasiswa mempresentasikan makalah, tiba-tiba salah satu anggota maju ke depan dan berkata “maaf bapak/ibu, file makalah dan PPt nya masih di bawa teman yang sedang nge-print, jadi kami mohon waktunya sebentar untuk menunggunya.” Ya kalau sebentarnya itu maksimal 5 menit tidak apa-apa, tapi bagaimana jika sebentarnya itu sampai 20 menit lebih? Sementara waktu perkuliahan hanya 100 menit, itu saja sudah terpotong untuk presensi dan pembukaan. Maka, drama tersebut tidak akan terjadi jika masing-masing anggota kelompok punya blog/website yang di dalamnya telah diposting makalah kelompoknya sesaat setelah menyelesaikan makalah, maka presentasi akan tetap berjalan meski salah satu anggota yang membawa file tidak/belum hadir. Anggota kelompok yang sudah hadir tinggal membuka blog/website nya, kemudian bisa langsung memulai presentasi sambil menunggu anggota lainnya yang belum hadir.
Dalam kesempatan lain, mahasiswa juga bisa mengakses karya tulisnya dalam forum di luar kelas tanpa harus membawa laptop kesana-kemari. Misalnya begini, ada mahasiswa yang sedang KKN (Kuliah Kerja Nyata), kemudian dia diminta mengisi ceramah dalam salah satu forum, katakanlah kampus mahasiswa tersebut adalah kampus Islam, yang mana masyarakat selalu memiliki persepsi jika mahasiswa dari kampus Islam pasti bisa mengisi ceramah dan pasti pintar dalam hal agama, terlepas apapun Program Studinya, termasuk untuk Prodi umum sekalipun, pasti dianggap bisa ceramah. Maka, blog/website bisa memudahkan tugas mahasiswa KKN yang diminta ceramah tadi, bagaimana bisa? Ya tentu bisa, karena dia bisa memanfaatkan makalah yang pernah ia posting di blog/websitenya, semisal dia pernah mengambil mata kuliah Akhlak-Tasawwuf, dan mendapat tema sabar, maka dia bisa mengakses kembali karya tulisnya itu di dalam majlis dimana dia diminta ceramah. Dan karena itu format makalah, pastinya kajian sabar sudah lengkap dari mulai pengertian sampai dalil-dalilnyk, baik yang dari al-Qur’an dan Hadist. Memang, materi tentang sabar di internet juga sudah sangat banyak, tapi tentunya akan berbeda jika yang kita sampaikan adalah apa yang pernah kita tulis. Jadi, ketika mahasiswa memiliki blog/website pribadi, dia bisa mengakses kembali makalahnya kapanpun dan dimana pun dan dengan menggunakan media yang selalu dibawa kemana-mana, yaitu smartphone.
Ketiga, dengan
memposting karya tulis yang telah kita buat, karya tulis kita itu tidak hanya
berhenti di kita saja atau hanya bisa dibaca teman satu kelas, akan tetapi bisa
diakses oleh orang lain di luar kelas kita. Jadi siapa saja bisa membaca
tulisan kita atau minimal melirik karya tulis kita. Misalkan begini, seorang
mahasiswa memposting makalah tentang sabar, kemudian semester selanjutnya, ada
adik kelas yang mendapat tema sabar juga, kemudian dia browsing materi
untuk membuat karya tulis tentang sabar. Maka bisa badi tulisan mahasiswa
tentang sabar yang sudah dipsoting di blog/website akan muncul dan
terbaca oleh adik kelasnnya, atau jika pun tidak dibaca, minimal pernah
dilirik. Sekarang bandingkan jika makalah yang telah dibuat itu hanya disimpan
di laptop tanpa diposting ke blog/website, maka tulisan itu hanya akan
berhenti di laptop, apalagi jika laptopnya di-password. Jika sudah
demikian, maka potensinya hanya dua, yaitu makalah tersebut hanya terbaca oleh
dirinya sendirinya, atau potensi kedua adalah pemiliknya sendiri sampai lupa
bahwa dia pernah menulis tentang tema tersebut. Jadi, biarkan karya tulis kita
bisa diakses orang lain sampai kapanpun dengan cara yang paling mudah dengan
menggunakan blog/website, apalagi jika kita juga aktif di dunia media
sosial, kita bisa selalu men-share tulisan kita. Mungkin sekali-dua kali
teman kita enggan membuka, tapi yakinlah lama kelamaan teman media sosial kita
akan penasaran dengan apa yang kita share, dan akhirnya mereka mau
membuka, meskipun setelah dibuka tidak pernah terbaca. Tapi, bukankah itu masih
lebih baik jika dibanding dengan tidak pernah ada yang melirik tulisan kita? Saya
telah membuktikan, Bahwa ada satu makalah di S-2 dulu yang viewer-nya
sampai sekarang telah mencapai 13.000 lebih, dan jumlah itu setiap harinya masih terus
bertambah. Saya tidak pernah membayangkan jika apa yang pernah saya buat di S2
dulu, diakses oleh puluhan ribu orang, meskipun saya menyadari betul, semua viewer
itu tentu tidak semuanya membaca habis apa yang saya tulis. Tapi, meskipun
demikian, setidaknya seperti yang sampaikan tadi, ada yang mau melirik apa yang
telah saya tulis. Andai saja makalah tersebut tidak saya posting, maka bisa
jadi saya telah melupakan bahwa saya pernah menulis tentang tema tersebut.
Keempat, blog/website yang kita miliki dengan konten karya-karya tulis atau karya yang lainnya ini, kelak akan menjadi satu pencapain yang berharga kita di tahun-tahun selanjutnya. Minimal bagi mahahasiswa yang ketika dia lulus, dan ditanya oleh orang tua atau orang lain “kuliah 4 tahun dapat apa?”, maka jawaban yang diberikan tidak jawaban yang terlalu standar, yaitu dapat ijazah dan transkip nilai. Apakah salah dengan jawaban standar itu? Tidak, tidak ada yang salah dengan jawaban itu, karena memang begitulah kenyataannya, bahwa salah satu motivasi menempuh jenjang pendidikan di strata-1 adalah mendapat ijazah dan transkip yang kemudian berhak menyandang gelar sarjana. Tapi apakah dengan waktu yang sekian panjang, materi yang tidak sedikit, kemudian ending nya hanya mendapat dua lembar kertas saja? Sekali lagi, saya tidak sedang menghakimi siapapun yang kuliahnya hanya menghasilkan dua lembar kertas bernama ijazah dan transkip itu sebagai sesuai yang salah, tapi hanya membuat perhitungan sederhana saja. Katakanlah untuk menempuh jenjang pendidikan strata-1 dibutuhkan waktu 4 tahun. Jika dibuat hitungan semester, maka ada 8 semester, dimana setiap semester ada biaya pendidikan. kita buat saja persemester – katakanlah – 2.000.000,- , jika menempuh 8 semester maka ada nominal 16.000.000,- Nominal itu tentu di luar biaya sehari-hari, indekos misalnya, atau bagi mahasiswa yang laju (pulang-pergi k kampus setiap hari) ada biaya transportasi, belum lagi biaya untuk konsumsi, kemudian biaya penggandaan tugas, dan perhitungan-perhitungan lainnya yang jika ditotal semua tentunya akan memunculkan nominal yang fantastis. Pertanyaannya kemudian adalah benarkah nominal yang besar itu kemudian hanya menghasilkan dua lembar kertas? Sebagian ada yang mengatakan “tidak, saya tidak hanya mendapatkan ijazah dan transkip, tapi juga mendapatkan banyak ilmu.” Baiklah, jika pembaca menemukan orang yang menjawab demikian, saya mohon pembaca mau menyampaikan titipan pertanyaan dari saya kepada orang tersebut, tolong tanyakan atau mintakan ke dia untuk menceritakan apa saja ilmu yang didapat selama 8 semester? Saya tidak sedang ber-suudzon kepada siapapun, karena tendensi tulisan saya ini bukan berdasar dari pengalaman orang lain, melainkan berdasarkan pengalaman saya pribadi. Bahwa pengalaman saya selama menempuh jenjang pendidikan baik di S-1 atau bahkan S-2, tidak banyak mata kuliah yang kemudian ketika saya lulus, saya bisa bercerita secara sistematis dari semester 1 sampai semester akhir, dan karena itulah terkadang saya merasa sedih dengan fakta hanya dua lembar kertas yang saya dapat, dimana dua lembar itu harus dibayar dengan nilai yang tidak murah. Saya tidak begitu tahu, apakah kesedihan saya ini dirasakan yang lainnya atau tidak, tapi yang pasti saya ingin mahasiswa-mahasiswa yang sekarang masih di bangku kuliah, kelak tidak merasakan kesedihan yang saya alami ini, salah satunya adalah dengan memiliki blog/website yang di dalamnya terdapat track record selama ada di bangku perkuliahan. Setidaknya, kelak ketika para mahasiswa sudah lulus, mereka tidak hanya memiliki ijazah dan transkip, tapi juga memiliki karya yang bisa dipertanggungjawabkan kepada kedua orang tua, dan utamanya kepada diri sendiri, bahwa 4 tahun yang telah dilalui tidak berlalu begitu saja, ada bukti fisik, ada produk keilmuan yang telah dihasilkan.
Memang, untuk memiliki blog/website pribadi itu nampak sepele, nampak biasa saja, untuk saat ini. Tapi saya meyakini bahwa waktu akan menjadikan yang nampak biasa saat ini, menjadi sesuatu yang luar biasa kelak di kemudian hari, entah bulan depan, tahun depan, 3 tahun lagi, 5 tahun lagi, 10 tahun, bahkan saat kita tak menyadari diri kita sudah menua, tanpa kita sadari kita telah memiliki banyak cucu. Terkadang, saya membayangkan kelak cucu saya akan menemukan blog/website pribadi saya, kemudian dia menghampiri dan mengatakan “mbah, ini blog/website punya mbah ya? Kog alamatnya seperti namanya mbah?” Kemudian dengan penglihatan yang mulai terbatas, saya menemukan tulisan yang saya buat puluhan tahun yang masih eksis dan bisa diakses oleh siapa saja, termasuk oleh cucu saya sendiri. Pembaca boleh menganggap saya terlalu berlebih, tapi memang begitulah yang saya rasakan.
Sebenarnya masih ada beberapa alasan lagi yang ingin saya bagi terkait kepemilikan blog/website pribadi ini, tapi untuk sementara saya cukupkan sampai sini dulu. Intinya, bagi mahasiswa yang sekarang masih di bangku perkuliahan, jangan sia-siakan karya yang telah kalian buat, dan pastikan di akhir pendidikan nanti, kalian tidak hanya mendapatkan ijazah dan transkip, tapi pastikan pula kalian punya bukti track record yang bisa mengkonfirmasi bahwa kalian pernah berkarya dan kalian pernah berjuang sejauh ini. Sekali lagi, sebagian dari kalian mungkin menganggap apa yang saya bagikan dalam tulisan ini nampak sepele, tapi kita buktikan saja minimal 5 tahun ke depan, kita buktikan saja betapa waktu bisa merubah yang biasa ini menjadi sesuatu yang tidak biasa. []
Salatiga, 01 September 2020.
16.00 WIB
0 Response to "Blog/Website Pribadi, Haruskah?"
Post a Comment