Drama dan Dunia; Sutradara dan Yang Maha Sutradara
Salah satu
penilaian negatif tentang drama Korea ialah bahwa cerita yang ada di dalam
beberapa drama selalu menampilkan bagian-bagian yang dalam istilah kebanyakan
disebut dengan “kebetulan”. Saya katakan demikian karena memang salah seorang
teman yang “belum” menyukai drama Korea pernah mengatakan penilaian tersebut,
jika drama Korea itu terlalu banyak kebetulannya, dan itu tidak realistis di
dunia nyata.
Memang, dari
beberapa drama atau bahkan hampir semua drama atau yang semacamnya yang pernah saya saksikan itu selalu ada alur
cerita yang menampilkan sesuatu yang “kebetulan”, bahkan beberapa diantaranya terkesan
“amat sangat kebetulan sekali”. Semisal, ketika ada seorang gadis yang sedang
dijahili sekelompok orang jahat, kemudian sekonyong-konyong ada sang pria
pujaan yang tiba-tiba datang dan menyelamatkan gadis yang sedang dalam bahaya
tersebut. Itu saja? tentu tidak! Tapi dalam tulisan ini kita
cukupkan itu saja contoh kebetulannya.
Terlepas
dari penilaian tentang “kebetulan” yang terjadi dalam drama,
sinetron atau film-film yang ada. Saya justru menemukan pelajaran berharga
dalam hidup ini, bahwa entah disadari atau tidak, sebenarnya
di dunia nyata pun, kita senantiasa dikelilingi oleh peristiwa-peristiwa yang “kebetulan”. Hanya saja, karena dunia nyata ini episodenya tidak
sesingkat di dalam drama-drama, maka kita tidak bisa dengan mudah melakukan penilaian-penilaian, termasuk dalam hal “kebetulan”. Ditambah dunia nyata ini kita tidak sepenuhnya menjadi penonton yang bisa
menilai alur cerita layaknya saat kita menonton drama, akan tetapi kita juga
menjadi pemain. Atau sederhananya, dunia
nyata ini terlalu kompleks dan scope nya terlalu luas, sehingga
melakukan judge itu tidak mudah. Berbeda dengan drama yang mulai
dari alur cerita, ruang lingkup, pemeran semuanya terbatas, sehingga fokus kita
pun tidak terlalu terbagi. Oleh karena itu, kita bisa dengan mudah menilai drama tersebut.
Ini tentunya berbeda dengan dunia nyata, di mana fokus kita terbagi pada banyak hal.
Akan tetapi, benarkah penyebutan istilah “kebetulan” itu tepat untuk kita gunakan dalam menilai cerita, baik di dunia nyata
atau dalam drama? Saya coba cari definisi dari istilah “kebetulan” ini, dan ternyata memiliki arti yang kurang lebih tidak dengan
sengaja terjadi (bertemu, tertangkap, dan sebagainya). lantas, pertanyaan yang perlu saya ulang adalah benarkah
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam drama dan dunia nyata sebagai sesuatu
yang semuanya tidak disengaja? Sekilas, memang banyak hal yang kita temui
sebagai suatu ketidaksengajaan, tapi jika kita pikirkan kembali, maka
sebenarnya di dunia ini tidak ada yang sebenar-benarnya suatu yang
kebetulan, semua sudah by design, dan karena sudah by design, maka
bisa dipastikan ada yang mendesain. Lantas siapa yang mendesain semua itu? Saya
rasa semua juga sudah mengerti bahwa dalam drama, sinetron, film dan sebagainya
ada penulis cerita, ada sutradara, ada script dan sebagainya. Merekalah
pihak-pihak yang ada di balik peristiwa yang oleh kita sebagai penonton menyebutnya
sebagai “kebetulan” tadi. Lalu, yang di dunia nyata, siapa
yang mendesain? Bagi kita yang “beragama”, tentu tidak sulit menjawab pertanyaan siapa yang mendesain dunia dan
seisinya ini, kita akan mudah menyebut bahwa Tuhanlah yang mendesain semuanya
ini. Maka dalam hal ini, terlepas disetujui atau tidak oleh para pembaca yang
saya yakin sangat heterogen, terkadang saya mengatakan bahwa Tuhan adalah Maha
Sutradara, yang memegang kendali penuh atas semua yang terjadi di dunia ini, bahkan
lebih dari dunia yang fana’ ini, Allah SWT yang Maha Kuasalah yang
memang kendali.
Sampai sini kemudian saya teringat satu lagu yang diciptakan oleh Ian
Antono dan Taufiq Ismail, yang berjudul Panggung Sandiwara. Bahwa memang pada
dasarnya memang hidup kita di dunia ini ibarat di atas panggung sandiwara,
meskipun tidak berarti pula semua yang terjadi adalah sepenuhnya rekayasa. Tapi
setidaknya kita tidak memiliki kendali penuh atas hidup ini, karena bagaimana
pun ada Sang Maha Sutradara yang
memegang kendali hidup kita, alur cerita telah dibuat, setting telah
ditentukan, panggung telah disediakan, kita sebagai pemeran tinggal menjalankan
apa yang sudah di atur, sesederhana itu. Dalam lembaran alur cerita tersebut ada cerita yang membahagiakan,
ada yang menyedihkan; ada yang sesuai harapan kita, tapi bukan tidak mungkin
akan ada yang di luar harapan “sementara” kita; ada yang dalam jangkauan prediksi, meskipun ada pula yang unpredictable.
Sederhana saja permisalannya, ini saya kutipkan dari pernyataan KH. Ahmad
Baha’uddin Nursalim atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Baha’, untuk
menjelaskan kita tidak sepenuhnya memiliki kendali akan hidup ini adalah kita
lahir di dunia ini tanpa pernah bisa memilih orang tua, karena jika kita bisa
memilih tentu semuanya ingin memiliki orang tua yang sangat ideal. Belum lagi
ketika kita dihadapkan pada ranah rezeki, jodoh, dan mati, kita tak punya
kendali atas semua itu, ini sekali lagi menegaskan ketidakberdayaan kita yang menjadi pemeran saja. Kita hanya pemeran dalam panggung yang bernama “dunia”.
Sangat mungkin sekali akan ada yang kurang setuju dengan pernyataan
manusia yang tidak memiliki kuasa atas kehidupan ini, dengan merujuk banyak
sumber-sumber agama yang mengisyaratkan ada potensi merubah alur cerita. Saya
pun menyadari itu dan tidak memutlakkan sesuatu yang terkait dunia ini, jika
saya menyatakan manusia sepenuhnya tidak memiliki kendali atas hidup ini secara
absolut, maka sama halnya dengan membatasi kuasa Allah SWT. yang terbatas.
Artinya, manusia meskipun sudah memiliki alur cerita yang sudah disiapkan sejak
awal, tetap memiliki potensi berubah jika Sang Maha Sutradara menghendaki
perubahan cerita di tengah jalan. Tapi, ini tidak merubah kenyataan bahwa
manusia tidak memiliki kuasa penuh atas hidupnya. Karea, jika pun alur cerita
berubah, itu karena kehendak Sang Maha Sutradara, bukan pemeran. Seorang
pemeran drama bisa mengajukan perubahan alur cerita, tapi keputusan akhir tetap
di tangan sutradara. Sama halnya dalam hidup ini, manusia hanya bisa mengajukan
harapan, yaitu melalui do’a da usaha, tapi pada akhirnya Allah SWT. lah yang
menentukan apakah permintaan itu disetjui atau tidak.
Menarik memang untuk memahami dunia ini menggunakan sarana drama.
Kita kembali ke topik awal tentang “kebetulan”. Karena
kita hanya sebagai pemeran, maka tidak jarang kita mendapati moment “kebetulan”, moment yang tak terduga. Kita tak pernah merencanakan, kita tak
pernah berandai-andai, tapi tiba-tiba ketemu moment itu. Dengan
keterbatasan kita dalam menjalani hidup inilah yang kemudian menjadikan kita
tidak canggung menggunakan kata “kebetulan” dalam
beberapa peristiwa yang tak terduga tadi. Jadi, istilah “kebetulan” itu sebenarnya semacam istilah kompensasi yang kita pakai untuk
menutupi keterbatasan kita dalam memahami alur cerita dunia yang teramat
kompleks ini. Kita tidak benar-benar memahami yang terjadi dalam suatu drama
jika tidak sampai akhir scene. Ketika drama telah selesai, baru kita
tahu bahwa sakit yang dialami oleh pemeran utama dalam pertengahan episode
adalah hanya sebagai permulaan saja, karena pada akhirnya pemeran utama akan
mengalami happy ending. Keterbatasan kita dalam membaca alur cerita dalam drama secara
utuh sama dengan keterbatasan kita sebagai manusia dalam memahami alur
cerita yang telah ditentukan oleh Yang Maha Sutradara. Wallâhu a’lam bish-shawâb. []
Salatiga, 16 Juli
2020 – 23.38 WIB
0 Response to "Drama dan Dunia; Sutradara dan Yang Maha Sutradara"
Post a Comment