Jangan Berlebihan: Kenapa Jangan?
Agama,
termasuk Islam, tidak menghendaki segala sesuatu yang berlebih-lebihan (QS.
Al-An’am [6]: 141). Bahkan untuk kebaikan sekalipun tidak dianjurkan
menonjolkan sikap berlebih-lebih. Jadi, tidak berlebih-lebihan berlaku dalam
semua aspek. Termasuk dalam hal senang juga sedih. Ada kalanya kita menemukan moment
yang membuat kita senang, maka senanglah sewajarnya. Sebaliknya, manusia
juga tidak pernah tidak pasti bertemu dengan moment kesedihan, maka ikuti
saja kesedihan itu, tapi sekali lagi sewajarnya. Dalam salah satu Hadist Nabi
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah juga bicara tentang tidak perlu
berlebih-lebihan dalam mencintai atau pun membenci, sewajarnya saja. Karena bisa
jadi suatu saat perasaan itu akan berubah, yang kita cintai hari ini bisa jadi
suatu saat akan berubah menjadi yang paling kita benci. Sebaliknya, jika
terpaksa harus membenci, ya benci saja sewajarnya, karena bagaimana pun waktu
punya banyak cara untuk merubah kebencian itu menjadi perasaan cinta.
Terlepas
dari faktor waktu yang bisa merubah segala sesuatu itu, memang berlebihan bisa
menjadi satu bentuk kekurangpekaan kita terhadap orang lain. Bahwa bagaimana
pun di dunia ini tidak ada sesuatu yang diciptakan dengan sepenuhnya tunggal
kecuali memang Yang maha Mencipta. Allah menciptakan malam, juga siang. Ada
sehat, karena ada sakit. Ada bahagia karena ada sedih. Ada cinta, juga ada
benci (meskipun untuk yang ini masih bisa kita perdebatkan). Tapi begitulah
intinya, semua saling berpasang, tidak ada yang benar-benar berdiri sendiri. Bahkan
atom saja yang disebut sebagai materi terkecil di alam semesta ini ini juga
berpasang. Lalu apa hubungannya berpasangan dengan konsep berlebihan? Sebelum
menjawab itu, penulis ingin sedikit berbagi salah satu pengalaman yang penulis
dapatkan di kota Malang beberapa tahun yang lalu. Siang itu, penulis hendak
pergi ke suatu tempat yang jarak dari kos-kosan kurang dari 10 Km. Estimasi waktu
paling lama 20 menit bisa sampai jika naik sepeda motor. Tapi di luar dugaan,
di tengah jalan terjadi kemacetan yang amat parah, benar-benar deathlock. Ending
nya, yang seharusnya hanya butuh 20 menit untuk sampai di lokasi yang penulis
tuju, hari itu butuh waktu 2 jam lebih, itu saja menggunakan sepeda motor, bisa
dibayangkan lantas seperti apa yang pakai mobil?. Usut punya usut ternyata di
waktu itu ada salah satu kampus besar yang mengadakan prosesi wisuda, sehingga
jalan yang menuju kampus tersebut menjadi macet total.
![]() |
Dari
peristiwa itu, penulis mendapatkan satu pemahaman bahwa ternyata pola bahagia
dan sedih itu saling mengisi, saling melengkapi. Di hari itu, mahasiswa dan
keluarganya mendapati moment kebahagiaan dalam acara wisuda, tapi dalam
waktu yang sama di lain tempat ada banyak orang yang sedih, yang marah-marah,
yang frustasi karena harus terjebak kemacetan yang parah. Inilah prinsip
keseimbangan, yang nampaknya memang polanya
begitu. Contoh lain, ketika hujan turun. Sebagian ada yang mengutuki hujan itu. Di kampus misalnya, saat jam kuliah selesai dan waktunya pulang, tiba-tiba hujan turun,
padahal saat itu sedang bawa motor dan tidak bawa jas hujan. Bisa jadi banyak mahasiswa yang sedih, mereka akan katakan
“kenapa harus hujan?”. Akan tetapi, di saat mahasiswa ini merasa sedih akan
turunnya hujan, di tempat lain dalam waktu yang sama bisa jadi ada banyak
petani yang amat bersyukur atas turunnya hujan tersebut, “Alhamdulillah, hujan turun,
semoga hujannya deras dan padi di sawah mendapat air yang cukup.” Sementara,
lagi-lagi di saat yang sama itu juga bisa jadi ada petani-petani garam, ada produsen
krupuk, ada produsen ikan asin yang merasa murung dan sedih Bagaimana tidak
murung? Mereka mengandalkan teriknya matahari untuk bisa memproduksi garam, krupuk
dan ikan asin. Otomatis ketika hujan turun, mereka tidak bisa melakukan proses
produksi. Dalam
perekrutan pekerjaan juga demikian, ada banyak yang melamar, semuanya berharap
diterima. Sementara lowongan yang ada tak sebanyak yang melamar. Saat pengumuman
hasil akhir, sebagian merasakan kebahagiaan karena diterima, sebagian yang lain
sedih karena hasil yang diterima tak sesuai harapan.
Dari dua contoh di atas, yang kita dapati kemudian adalah pemahaman bahwa sangat
logis sekali jika agama melarang sikap yang berlebih-lebihan. Jika kita
mendapati moment kebahagiaan, maka sadari pula bahwa bisa jadi
kebahagiaan yang kita dapati saat itu juga ada pengorbanan orang lain yang
mungkin dalam tempo yang sama dengan kita, mereka sedih. Sederhananya begini, katakanlah kita diterima, maka kita harus benar-benar sadar di saat
yang sama ada orang lain yang sedang bersedih. Sebaliknya, saat kita ketemu moment
sedih, ya sedihi saja sewajarnya, sambil berpikir pasti di moment kesedihan
kita Allah sedang memberi kebahagiaan pada orang lain. Maka, pada akhirnya dalam konteks jangan berlebih-lebihan
ini, kita bisa temukan hikmah lain, bahwa tidak berlebih-lebihan itu adalah sarana penyeimbang
jiwa kita di saat mendapatkan kebahagiaan atau kesedihan. Bagi yang bahagia,
ada ajakan bertenggang rasa untuk tidak berlebih-lebihan mengekspresikannya,
karena pada saat yang sama ada pihak lain yang merasa sedih. Bagi yang sedang
sedih pun, sudah seharusnya tidak lantas berkecil hati, karena bagaimana pun dengan
kesedihan kita itu bisa jadi Allah sedang mengirim kebahagiaan pada yang lain. Jika
ini bisa kita pahami betul, maka nampaknya hidup ini akan jadi amat
mengasyikkan. Meskipun untuk sampai titik itu pun bukan hal yang mudah, memang.
Lalu
dalam hal berlebihan dalam cinta dan benci, apa juga polanya sama begitu? Penulis
rasa juga berlaku hal yang sama. []
Sukoharjo,
16/02/2019. 16:55 WIB
0 Response to "Jangan Berlebihan: Kenapa Jangan?"
Post a Comment