Temu Nasional Penggerak Gusdurian 2018: Catatan Sederhana
Pertama kali melihat informasi akan diadakannya Temu Nasional
(Tunas) Penggerak Gusdurian tahun 2018 adalah dari undangan yang diposting di
akun Instagram “jaringangusdurian”. Dari situ kemudian saya mencoba mencari
informasi lanjutan untuk bisa bergabung dalam acara yang diselenggarakan dua
tahun sekali ini.
![]() |
Aksi Teatrikal Penggambaran Situasi Bangsa. Antara Idealitas dan Realita Kebangsaan |
Alasan saya untuk bisa hadir dalam acara ini tentu tidak lepas dari
motifasi bisa belajar lebih banyak lagi dari seorang Gus Dur melalui beberapa
orang dekatnya, termasuk para pecinta Gus Dur dari berbagai macam daerah.
Karena saya yakin, banyak sekali hal-hal yang belum terekspos ke khalayak umum
tentang sosok Gus Dur ini, entah melalui media cetak atau elektronik. Saya
yakin masih banyak keteladanan yang belum muncul ke permukaan, keteladanan yang
masih tersimpan dalam ingatan-ingatan banyak orang baik iu dari keluarga, karib
dekat atau orang-orang yang pernah diperjuangkan oleh Gus Dur. Dan memang, pada kenyataannya,
ini terkonfirmasi dalam acara tersebut oleh kang Ahmad Suaedy dalam salah satu sesi, beliau mengatakan
bahwa membicarakan Gus Dur itu satu bulan penuh itu tak akan cukup, karena memang Gus
Dur ini adalah tokoh yang sangat besar, yang multi-dimensional.
Ekspektasi saya untuk bisa memperoleh banyak pelajaran berharga
dari acara ini ternyata tidak salah. bahwa memang banyak hal baru yang itu
menjadi pelajaran berharga yang bisa saya dapatkan dari acara ini, diantaranya
saya semakin menyadari betapa bangsa ini sangat beruntuk memiliki Gus Dur.
Tokoh yang begitu konsisten memperjuangkan kemanusiaan, yang pada akhirnya
perjuangan itulah yang mengantarkan beliau selalu dikenang, selalu dirindukan
oleh banyak orang hingga saat ini, meskipun beliau telah berpulang ke sisi-Nya
9 tahun yang lalu.
Melihat kebesaran nama beliau ini, selain menghadirkan rasa takjub
yang luar biasa, di satu sisi juga menghadirkan kegelisan dalam diri saya.
Setidaknya kegelisahan itu dikarenakan saya merasa bahwa ternyata saya sampai
detik ini belum pernah berjuang sedikitpun untuk kemanusian, alih-alih meniru
Gus Dur. Kemudian, kegelisahan selanjutnya adalah tentang bangsa ini – meskipun saya juga tidak terlalu percaya diri
untuk mengatakan ini, mengatakan saya gelisah terhadap situasi bangsa ini – yang ternyata masih butuh sosok-sosok seperti Gus Dur
yang selalu bisa mengayomi siapa saja yang tidak diperlakukan dengan adil. Seperti
yang disampaikan oleh mbak Allisa Wahid di salah satu season acara Tunas Gusdurian ini, beliau menceritakan
saat ada pengepungan jama’ah Ahmadiyah di Kuningan, salah seorang pemuka
agamanya mengatakan pada mbak Allisa Wahid “Seandainya Gus Dur masih hidup,
pasti sekarang dia sudah hadir di sini untuk menjadi yang paling depan membela
kami.”
Seperti yang saya sampaikan di awal, bahwa banyak sekali pengalaman
berharga yang saya dapatkan dari acara Tunas Gusdurian ini. Meskipun begitu,
karena keterbatasan tempat, saya hanya akan bercerita satu pengalaman yang
menurut saya perlu saya share di sini. Saat sesi Focus Group
Discussion, saya mengambil kelas tentang Toleransi. Dari kelas ini saya
disadarkan akan kenyataan bahwa sikap toleransi kita sampai saat ini masih
dipermukaan, masih toleransi pasif. Sementara toleransi yang diperlihatkan Gus
Dur – dan yang seharusnya kita teladani – adalah toleransi aktif. Toleransi
yang tidak hanya mengatakan “oke, kamu dan saya berbeda, dan saya menghargai
keberbedaan anda”, melainkan toleransi yang benar-benar saling menjaga satu
sama lain meskipun berbeda. Bahwa sudut pandang kita pada yang berbeda itu
ibarat satu kesatuan tubuh dengan kita. Kita memiliki anggota tubuh yang tentu
berbeda satu sama. Meskipun berbeda, ketika kaki kita terluka, maka yang
merasakan sakit tidak hanya tangan saja. Ketika kaki terluka, maka anggota
tubuh yang lain akan berusaha mengobatinya. Dan Gus Dur sudah benar-benar
mempraktikkan sikap toleransi yang seperti itu sepanjang hidup beliau. Gus Dur
ikut terluka dan pasti tidak akan tinggal diam jika melihat sesama manusia
tersakiti, tanpa peduli agamanya apa, sukunya apa, kaya atau miskin, minoritas
atau mayoritas semua diperjuangkan oleh Gus Dur.
![]() |
FGD Untuk Kelas Toleransi |
Di samping itu, dari kelas toleransi ini, ada satu hal yang
terkonfirmasi lagi bahwa ada semacam upaya sistematis untuk mengajarkan sikap
intoleran melalui bangku pendidikan. Kenapa saya katakana terkonfirmasi? Karena
dalam sesi sharing, ada salah seorang Gusdurian yang menjadi guru di
salah satu sekolah bercerita bahwa dia merasa prihatin dengan siswa-siswanya.
Di satu sisi dia ingin mengajarkan toleransi kepada siswa didiknya, tapi di
sisi lain banyak guru yang justru mencoba menanamkan sikap intoleran kepada
para siswa, dan saya yakin permasalahan intoleran melalui bangku pendidikan ini
bukan masalah sepele lagi. Karena banyak fakta menunjukkan bahwa sudah mulai
muncul sekolah-sekolah dengan segala perangkat pendidikannya yang secara massif
mengajarkan sikap intoleran. Oleh karena itu, harapan saya untuk Gusdurian – termasuk untuk acara Tunas Gusdurian – ke
depan bisa mengangkat isu pendidikan ini.
(Silahkan baca juga: Pluralisme Gus Dur, Wawancara dengan Allisa Wahid dan Belajar Tanpa Batas, Refleksi Kunjungan ke Budhis Center)
0 Response to "Temu Nasional Penggerak Gusdurian 2018: Catatan Sederhana"
Post a Comment