Sekolah dan Kuliah
Saya masih ingat betul percakapan saya dengan salah seorang teman
saat masih duduk di bangku perkuliahan, “Jadi dosen itu enak ya ngajarnya, gak
kayak jadi guru. Awal masuk kuliah say hallo, langsung membagi mahasiswa
menjadi beberapa kelompok, diberi tugas makalah. Pertemuan selanjutnya langsung
presentasi makalah sampai di pertemuan terakhir. Sudah begitu saat mahasiswanya
presentasi, dosen hanya duduk-duduk saja mengamati, tak jarang sambil mainan hp
atau sok asyik di depan laptop. Begitu presentasi selesai ya sudah
perkuliahan selesai, sambil basa-basi memberi kesimpulan yang sebenarnya itu
dari materi mahasiswanya.”
Saya rasa, prasangka semacam itu adalah wajar dalam dunia mahasiwa.
Bahkan – dengan tanpa bermaksud suudzon – bisa jadi dosen yang saya
prasangkai itu ketika jadi mahasiswa pun pernah berprasangka semacam itu pada
dosennya dulu ketika kuliah. Kenapa saya bisa katakan itu? Ya, karena beberapa
kali saya bertemu dosen yang ketika di dalam kelas tidak canggung bercerita
masa-masa kuliahnya bertemu dengan berbagai macam dosen yang memiliki karakter
beda-beda dari dosen yang asyik sampai pada dosen yang super tidak asyik. Jadi,
pada tulisan ini saya tidak sedang mengetengahkan hukum berprasangka buruk pada
seorang guru , apalagi sampai menyinggung etika seorang murid terhadap guru
yang dibahas di kitab ta’lim muta’allim. Saya hanya ingin menyoroti
salah satu sisi wajar mahasiswa yang terkadang suka ngrasani dosen. Bahwa
saya merasa mahasiswa itu tidak afdhol jadi mahasiswa kalau tidak pernah
ngrasani dosen.
Prasangka di atas sebetulnya tidaklah aneh mengingat sistem
perkuliahan yang lazim memang begitu. Pertemuan pertama perkenalan, bagi
silabus, buat kelompok dan sistem presentasi akan menghiasi pertemuan-pertemuan
selanjutnya. Jadi bisa dikatakan memang,
90% perkuliahan adalah jadi tanggung jawab mahasiswa, dosen hanya 10% saja. Ini
tentu berbeda dengan sistem pembelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Taman
Kanak-kanak sampai SMA, sistem pembelajaran hampir semuanya terfokus pada guru
(teacher center). Mulai dari penyiapan materi di setiap pertemuan, sampai
proses penilaian yang sangat njlimet, terlebih dalam kurikulum yang
sekarang.
Namun, belakangan ini saya mulai menyadari satu hal penting, bahwa
memang tidak seharusnya saya memperbandingkan sistem pendidikan di
sekolah-sekolah dengan yang ada diperkuliahan. Karena bagaimanapun keduanya
merupakan dua hal yang sangat berbeda (berbeda dalam segala hal mulai dari
kurikulum, subjek didik, objek didik bahkan pada orientasi pendidikan yang juga
berbeda). Sama halnya, kita tidak seharusnya memperbandingkan ketinggian pohon
kelapa dengan pohon apel, bahwa memang begitulah karakter pohon kelapa yang
tinggi menjulang dan begitulah pohon apel yang tidak terlalu tinggi dan
memiliki banyak cabang dan ranting.
Dalam hal proses pendidikan di sekolah dan kuliah ini, kita bisa
ibaratkan bahwa baik siswa atau mahasiswa adalah pribadi-pribadi yang butuh “makanan
keilmuan”. Maka tugas seorang guru di sekolah-sekolah adalah setiap hari
membawa makanan yang sudah jadi untuk kemudian diberikan kepada siswa-siswanya,
terlepas apakah makanan itu disukai oleh siswa atau tidak; terlepas dari
makanan itu mengenyangkan atau tidak, siswa harus menerima dan memakan itu. Maka
tidak mengherankan jika kemudian guru-guru di sekolah itu nampak sibuk, karena
setiap hari harus menyiapkan makanan-makanan jadi untuk siswanya.
Sementara itu di bangku kuliah, orientasinya akan sangat berbeda. Mahasiswa
tetaplah pribadi yang butuh “makanan keilmuan” layaknya siswa di
sekolah-sekolah. Hanya saja, jika di sekolah makanan itu sudah disiapkan oleh
guru, siswa tinggal menerima dan memakannya. Berbeda dengan mahasiswa yang
lapar akan keilmuan, mereka tidak lagi hanya menunggu makanan dari dosennya, melainkan
sudah harus mulai bisa membuat makanannya sendiri. Itulah kenapa di bangku
perkuliahan mayoritas aktivitas ada di tangan mahasiswa. Bahwa posisi dosen di
bangku perkuliahan bukan lagi sebagai penyedia makanan siap saji, melainkan
lebih kepada instruktur atau fasilitator memasak bagi para mahasiswanya yang
sedang “lapar ilmu”. Dosen tidak menyajikan makanan jadi, tetapi menyiapkan
bahan-bahan mentah yang selanjutnya adalah tugas mahasiswa untuk mengolah
bahan-bahan itu. Hal ini penting untuk diketahui oleh para mahasiswa, terlebih
mahasiswa baru yang mungkin masih memiliki mindset bahwa kuliah itu
seperti di sekolah-sekolah sebelumnya, datang ke kelas kemudian menunggu
makanan dari dosen tanpa pernah berusaha untuk mencoba memasak sendiri.
Jadi jelas, bahwa perkuliahan adalah ajang ujicoba untuk “memasak ilmu”
dengan dosen sebagai instrukturnya. Dalam tugas presentasi misalnya, dosen
sebelumnya sudah memberi tema kepada tiap-tiap kelompok dengan
referensi-referensi sebagai bahan mentahnya. Kemudian mahasiswa mulai mencari-cari
materi, bisa dari referensi yang disarankan dosen atau dari referensi yang
mungkin luput dari perhatian dosen pengampu. Berbagai materi kemudian coba diracik,
diramu dan diolah kembali oleh para mahasiswa, hingga sampai pada akhirnya jadilah
satu makalah yang kemudian disajikan di hadapan teman-teman dan tentunya di
hadapan dosen. Dalam penyajian itu dosen dan teman-teman yang lain kemudian mulai
menguji “masakan ilmu” yang telah dibuat oleh kelompok tersebut. Akan ada kritik,
saran, dan pertanyaan-pertanyaan terkait dengan apa yang disajikan. Dan sudah
selayaknya, bagi kelompok yang menyajikan makalah itu bisa menanggapinya dengan
baik. Kritik, saran dan pertanyaan-pertanyaan ini pada akhirnya akan menjadi
bahan koreksian untuk “masakan ilmu” yang disajikan agar lebih baik lagi, entah
itu dari segi penampakannya (sistematika
penulisan) atau pun terkait denga kontennya.
Sampai sini kita coba untuk benar-benar membayangkan proses
perkuliahan sebagai kompetisi masak. Ada tim penyelenggara yang memberi tema
masakan tertentu, dengan bahan-bahan yang direkomendasikan. Kemudian peserta
lomba mulai membuat makanan dengan kreatifitasnya masing-masing. Setelah selasai,
makanan itu kemudian di sajikan ke hadapan juri dan bisa juga di hadapan para
hadirin (persis speperti presentasi makalah di depan kelas). Kemudian para juri mulai menguji makanan
dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Pun begitu, penonton juga boleh
mengajukan pertanyaan-pertanyaan terkait makanan yang disajikan.
Seperti yang sudah sedikit di singgung di atas bahwa pemahaman
orientasi pendidikan yang berbeda antara sekolah dengan kuliah ini perlu
disadari sepenuhnya oleh para mahasiswa. Mengapa? Pertama, mahasiswa tidak harus terpaku pada apa yang
dimiliki dosen dan bebas untuk mengekspresikan apa yang dimiliki. Bahwa dosen
hanya sebagai fasilitator yang tentu tidak bisa memaksakan apa yang dimiliki
untuk diterima sepenuhnya oleh mahasiswa. Dosen hanya sebagai pemantik, bukan sebagai
agen yang meng-copy- kan dirinya bagi mahasiswa.
Kedua, dengan
menyadari bahwa perkuliahan adalah ajang membuat “makanan ilmu”, mahasiswa
sudah selayaknya memposisikan diri sebagai pihak yang aktif. Tidak hanya aktif
dalam mengolah ilmu – dalam bentuk makalah, misalnya. Melainkan aktif juga
dalam hal menanggapi “makanan keilmuan” yang disajikan oleh teman-teman lainnya.
Itulah mengapa, presentasi adalah ajang berproses untuk dapat saling tukar
gagasan dan ide, di samping juga sebagai ajang mengasah intelektual secara
bersama-sama. Implikasi langsungnya bagi penyaji makalah, tanggapan dari para
mahasiswa yang laindan juga dosen tentunya bisa menjadi masukan yang amat
berharga untuk menyempurnakan apa yang sudah disajikan. Sementara bagi teman-teman
yang memposisikan dirinya sebagai pengamat makalah, adanya sajian makalah oleh
teman sekelasnya bisa menjadi pemantik untuk dapat mengaktifkan daya nalar yang
kritis. Dari sinilah kemudian akan ada proses take and give dalam setiap
pertemuan perkuliahan. Jika proses ini dapat berjalan secara terus-menerus,
maka implikasi jarak jauhnya adalah mahasiswa ini akan menjadi pribadi yang
tidak hanya kritis, tapi juga dapat mengolah permasalahan-permasalahan yang
akan dihadapi di kemudian hari setelah lulus kuliah. Ini akan bertolak belakang
dengan mahasiswa yang tidak mau aktif, di saat teman-teman yang lain sudah bisa
mengatasi “lapar ilmu” dengan mengolah ilmunya sendiri. Maka mahasiswa yang
pasif tadi pada akhirnya hanya bisa menunggu makanan jadi dari orang lain,
tanpa pernah bisa membangun konsep keilmuannya sendiri.
Pada akhirnya, pemahaman orientasi yang berbeda antara di sekolah
dan diperkuliahan ini selain perlu disadari dengan baik oleh para mahasiswa,
juga perlu disadari bersama oleh para dosen. Bahwa tanggung jawab seorang dosen
pada akhirnya adalah bukan menjadikan mahasiswa itu kenyang ilmu saja,
melainkan juga dapat mengolah (baca: memasak) ilmu sendiri. Sehingga begitu
lulus, mahasiswa tadi tidak akan pernah kelaparan ilmu, tidak pernah asing
untuk mengahadapi permasalah yang muncul yang mungkin itu tidak pernah di bahas
di bangku perkuliahah.
Di samping itu, kesadaran akan perbedaan ini juga berimplikasi
langsung pada bagaimana seharusnya perlakuan dosen kepada mahasiswa. Bahwa perkuliahan
bukan lagi layaknya di restoran dengan seorang guru sebagai koki yang sia
menyajikan makanan jadi. Perkuliahan adalah kelas memasak, sehingga dalam
pelaksanaannya sangat mungkin untuk peserta kelas itu berekspresi sebebas
mungkin. Dosen hanya memastikan bahwa yang dilakukan itu tidak menyalahi
kaidah-kaidah umum, dosen harus membuka diri terhadap kreatifitas-kreatifitas
yang memang sudah ada dalam diri mahasiswa. Dan pada akhirnya, jika kemudian
ada mahasiswa yang bisa mengolah ilmu dengan sangat baik melebihi pencapaian
dosen, maka sudah sepatutnya dosen tadi mengapreasi itu, bukan malah
mendeskriditkan mahasiswa tersebut, apalagi sampai kepada pengurangan nilai
gara-gara mahasiswa itu lebih pandai dari pada dosen. Dan dalam hal inilah kemudian akan nampak bahwa di balik peran dosen yang nampak mudah - di dalam kelas - dibanding guru di sekolah, seorang dosen sebenarnya memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Seorang dosen harus benar-benar bisa mempersiapkan mahasiswanya kelak ketka lulus bisa memasak "makanan keilmuan"nya sendiri. Seorang dosen harus bisa memastikan mahasiswanya kelak begitu lulus benar-benar menjadi pribadi yang kompeten dan dapat mempertanggungjawabkan gelar kesarjanaannya, yang memang dapat menunjukkan kapabilitas keilmuannya, tidak asal jadi sarjana.
Pendidikan pada dasarnya adalah proses dua arah, dari mulai jenjang
yang paling dasar sampai pada jenjang yang paling tinggi, idealnya begitu. Maka,
pembedaan antara orientasi pendidikan di sekolah dengan di perkuliahan dalam
tulisan ini pun sebenarnya bukan yang paling ideal. Karena seperti yang
disampaikan oleh Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan asal Brasil (baca: Paulo Freire dan Nelson Mandela), bahwa proses
pendidikan itu bukan proses meng-copy diri guru ke dalam diri siswa,
tapi lebih kepada proses menjadikan siswa menjadi dirinya sendiri dengan cara mendualismekan
dirinya menjadi subjek didik sekaligus juga objek didik (dalam istilah Paulo
Freire “Guru yang Murid, Murid yang Guru”). Proses mendualismekan diri dalam
proses pendidikan ini tentu bukan hal yang mudah untuk peserta didik di
usia-usia sekolah. Akan tetapi menjadi beda jika itu diterapkan di dunia
perkuliahan, di mana proses dua arah ini bisa berjalan. Karena bagaimana pun, secara substansi istilah dosen
dan mahasiswa pada dasarnya hanya gelar formil saja, karena pada akhirnya
setiap manusia bisa menjadi pendidik dan di saat yang sama juga bisa menjadi
peserta didik. Wallaahu A’lamu bi al-Shawaab.
Sukoharjo,
14 Agustus 2018, 13.03 WIB
0 Response to "Sekolah dan Kuliah"
Post a Comment