Pendidikan Agama: Eksklusif atau Inklusif


Suatu sore di dalam bus kota, saya bersamaan dengan rombongan siswi-siswi sekolah dasar yang didampingi seorang ibu guru. Kondisi bus saat itu memang sedang penuh, sehingga memaksa beberapa penumpang untuk berdiri, tidak terkecuali siswi-siswi SD tadi. Dalam perjalanan ini, saya dihadapkan pada satu moment yang cukup mengagetka, dan itulah yang ingin saya bagi dalam tulisan ini. Jadi saat itu, di salah satu pemberhentian bus, ada beberapa penumpang yang turun dari bus, sehingga nampak ada kursi yang kosong. Kursi kosong itu ada di antara dua orang bapak-bapak yang secara usia sudah bisa dikatakan tua. Cukup lama kursi kosong itu tidak ada yang menduduki, sampai kemudian salah seorang siswi saling senggol temannya, “itu lho kosong, kamu duduk aja.” Yang membuat saya kaget kemudian adalah jawaban siswi yang diminta temannya untuk duduk di kursi yang kosong itu, jawaban dari siswi tersebut kurang lebih “ndak ah, kan bukan mahrom”. Tidak tahu kenapa begitu mendengar jawaban siswi itu terdapat perasaan getir yang saya rasakan.
Berkali-kali saya coba menanyai diri saya sendiri, apakah jawaban siswi itu salah? berkali-kali pula jawaban yang saya dapati adalah jawaban siswi SD tersebut tidaklah salah, setidaknya dari segi isinya. Bahwa memang benar jika kedua bapak yang ada di antara kursi kosong bukanlah mahrom mereka. Akan tetapi, entah dari sudut pandang yang lain, saya merasa tersinggung dengan jawaban siswi tersebut (dalam hati pun saya bertanya-tanya, kira-kira yang dirasakan kedua bapak-bapak itu bagaimana ya setelah mendengar jawaban siswi tersebut? Apakah juga tersinggung? Ataukah sayanya saja yang baperan?). Ketersinggungan saya itu tentu bukan tanpa sebab, karena seperti yang pernah saya tulis sebelumnya tentang cadar (silahkan baca: Suudzonisasi Cadar), jawaban yang dilontarkan oleh siswi di atas terkesan ada unsur curiga, curiga jika duduk di antara dua bapak-bapak tadi dia akan mendapatkan perlakuan buruk.
Setidaknya ada dua hal yang menjadi fokus perhatian saya dari kejadian itu: Pertama, siswi yang terlibat dalam percakapan itu masih di usia sekolah dasar; kedua, diusianya yang masih terbilang muda, siswi tersebut sudah mulai memiliki benih sikap mencurigai orang lain. Apa pasal saya katakan ada benih mencurigai orang lain? Pasalnya, dalam benak saya baru ada satu penjelasan bahwa sikapyang yang diperlihatkan oleh siswi tersebut sebagai salah satu bentuk sikap mencurigai kedua bapak-bapak yang duduk di antara kursi yang kosong.
Pernah saya sampaikan kegelisahan saya ini pada salah seorang teman, dan di luar dugaan teman saya menanggapi bahwa saya terlalu lebay dalam memaknai peristiwa itu. Akan tetapi, terlepas dari berlebihan atau tidaknya prasangka saya itu, faktanya sudah ada banyak penelitian yang dari hasil penelitian itu nampak adanya upaya sistematis yang terjadi dalam dunia pendidikan yang mengarah pada pembentukan sikap beragama peserta didik yang tertutup, yang eksklusif. Salah satu yang bisa mengkonfirmasi hal tersebut adalah ditemukannya buku-buku pelajaran agama di sekolah yang di dalamnya memuat tema-tema yang terafiliasi pada sikap-sikap konfrontatif beberapa waktu yang lalu.
Dalam kesempatan lain pun, saya pernah mendapat cerita dari seorang teman, bahwa dia memiliki siswa les-lesan yang masih di usia SD ketika ditanya cita-citanya kelak ingin menjadi apa, jawabannya adalah siswa tersebut kelak ketika dewasa ingin berjihad di Palestina. Apakah cita-cita itu salah? Tentu itu tidak salah, jihad itu juga tidak buruk. Tapi apakah itu cita-cita yang wajar untuk anak usia sekolah dasar?
Jadi, masalah serius yang sedang menanti bangsa ini salah satunya adalah pembentukan sikap keagamaan yang tertutup, yang eksklusif melalui jalur pendidikan. Bisa kita bayangkan jika sekarang generasi-generasi muda yang ada di sekolah-sekolah mulai dimasuki pemahaan Islam yang eksklusif secara sistematis, kita tinggal tunggu saja sepuluh sampai dua puluh tahun ke depan. Bangsa ini akan dipenuhi banyak pribadi-pribadi yang memiliki pandangan keberagamaan eksklusif.
Menyadari akan adanya bahaya tersebut, lantas apa yang bisa kita lakukan? Tentu tidak ada jalan lain selain kita juga perlu melakukan pengenalan sikap-sikap keberagamaan yang inklusif, yang pluralis melalui dunia-dunia pendidikan. Dan saya kira, dari bangku perkuliahanlah yang paling efektif, khususnya yang ada di Fakultas Keguruan atau sejenisnya yang memang concern utamanya adalah menyiapkan para guru di sekolah-sekolah. Kita bisa membuat telaah sederhana, asumsikan dalam satu angkatan di satu universitas ada 5 kelas dengan rata-rata perkelas adalah 30 mahasiswa. Jika semua mahasiswa itu begitu lulus kuliah memiliki sikap keberagamaan yang inklusif dan terbuka. Maka secara tidak langsung perguruan tinggi tersebut telah melepaskan agen-agen perdamaian. 150 mahasiswa tersebut katakanlah setengahnya kemudian menjadi guru, dengan rata-rata siswa 50 per-orang. Maka bisa kita bayangkan akan ada 3.750 peserta didik yang kelak akan menjadi pribadi-pribadi yang dalam beragamanya tidak tertutup. Itu baru satu angkatan di satu perguruan tinggi. Bayangkan jika ini terjadi di semua perguruan tinggi di Indonesia. Tentu bangsa ini akan menatap masa depan yang sangat indah, masa di mana tidak akan ada lagi kebencian, permusuhan dan saling menjatuhkan sama lain. Sebaliknya, masa depan bangsa ini mungkin akan sangat buruk jika yang terjadi di perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang, terlebih yang menyiapkan calon-calon guru sekolah yang dikembangkan justru keberagamaan yang eksklusif. Maka, yang akan terjadi kemudian adalah sama dengan menyiapkan agen-agen kebencian, agen-agen pembawa permusuhan.
Suhadi, dkk. 2014 Politik Pendidikan Agama, Kurikulum 2013 dan Ruang Publik Sekolah. Yogyakarta: CRCS, Sekolah Pascasarjana UGM.
(Silahkan baca: Kunjungan CRCS Pascasarjana UGM)

Pada akhirnya, tidak ada satu agama pun di muka bumi ini yang mengajarkan kebencian, kecurigaan dan pembenaran untuk melakukan pengrusakan kepada yang lain seberbeda apapun mereka dengan kita. Bahwa pemahaman tersebut sangatlah mudah untuk disampaikan, tapi akan menjadi hal yang sangat sulit untuk diimplementasikan. Pendidikan pada akhirnya ibarat pisau bermata dua, ia bisa menjadi cara terbaik untuk mengajarkan sikap beragama yang meneduhkan dan membawa rahmat bagi semua. Atau sebaliknya, pendidikan bisa menjadi sarana pengajaran sikap beragama yang meresahkan dan menghancurkan. Wallaahu A’lamu bi al-Shawaab.
 Sukoharjo, 15 Agustus 2018, 23.01 WIB

0 Response to "Pendidikan Agama: Eksklusif atau Inklusif"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel