Idul Adha: Belajar Dari Hewan Kurban


Selalu ada hikmah – bagi orang-orang yang mau berpikir – di balik setiap kejadian (QS. 2: 269), dan ilmu Allah itu amatlah luas, bahkan jika harus ditulis menggunakan pena dari seluruh pohon di muka bumi dan tinta tujuh kali air di laut, ilmu itu belum bisa semuanya tertulis (QS. 31: 27). Dua prinsip di atas setidaknya cukup untuk dijadikan alasan bagi kita agar tidak ragu untuk menggunakan akal pikiran kita dalam menghadapi segala sesuatu, untuk tidak ragu mempertanyakan segala sesuatu yang bisa kita tanyakan, tanpa ada perasaan takut bahwa apa yang kita tanyakan terkait dengan hal yang nampak tabu untuk dipertanyakan, seperti syari’at misalnya.
Keragu-raguan kita dalam mempertanyakan apa yang ada dalam sya’riat pada dasarnya bisa dimaknai sejalan dengan sikap ragu kita terhadap agama yang membawa syari’at itu. Sebaliknya, berani mengkritisi syari’at dengan tidak ragu bertanya “kenapa, ada apa, bagaimana, apa maksud” dan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang bisa diajukan tidak selalu harus dimaknai sebagai sikap ragu kita atas syari’at itu, melainkan bisa jadi itulah ekspresi paling tinggi atas keyakinan kita terhadap agama yang kita yakini. (Silahkan baca: Agama Berpikir,Berpikir Agama) Bahwa semua itu memiliki hikmah, tapi tidak semua hikmah itu selalu muncul ke permukaan dan bisa kita temukan dengan mudah. Ada beberapa hikmah yang bisa muncul jika kita berusaha mencari, hikmah yang harus kita jemput dengan cara kita mau berpikir mendalam.
Empat hari yang lalu, kita umat Islam telah merayakan hari raya Idul Adha. Bagi yang berpunya diwajibkan untuk beribadah haji ke Baitullah. Selain itu, disunnahkan pula bagi yang memiliki harta berlebih untuk menyembelih hewan kurban. Di balik dua perintah syari’at ini tentu terkandung banyak sekali hikmah yang itu bisa kita temukan jika kita – sekali lagi – mau bertanya, kenapa dan ada apa? Kenapa harus kurban? Kenapa harus berhaji? Memang, ada jawaban instan dari dari pertanyaan itu. Anda bisa saja dengan enteng menjawab “Ya karena memang perintahnya begitu”. Jawaban tersebut memang tidak salah. Akan tetapi tentu dua perintah syari’at yang disebutkan itu bukanlah hanya sekedar perintah saja. Jika kita memaknai perintah syari’at sebatas itu, yakni menerima saja tanpa ada upaya mencari hikmah yang terdalam, lantas apa gunanya kita sebagai manusia memiliki akal? Lantas apa bedanya kita dengan hewan yang dengan insting dari Allah mereka tunduk dan patuh kepada Allah secara total. Mungkin anda akan bertanya? Apakah salah jika tunduk total kepada Allah layaknya ketundukan hewan? Memang tidak salah, tapi lupakah kita bahwa kita yang menyebut dirinya sebagai manusia juga memiliki dimensi keilahian? Bahwa kita juga menyandang predikat “Pengganti Allah di Bumi”, lantas apakah kita cukup merasa puas dengan hanya tunduk pada-Nya layaknya ketundukan hewan?
Ada satu hal yang perlu kita sadari betul, bahwa dimensi manusia tentu tidak sesimpel dimensi makhluk lain, hewan misalnya. Awal penciptaan manusia, Allah membanggakan hasil karyanya berupa nabi Adam di hadapan makhluk lainnya. Dan kalau kita cermati, yang menjadikan manusia itu istimewa adalah dia diberi Allah ilmu, Allah memberi manusia piranti untuk bisa berkreasi, untuk bisa berpikir. Bahkan malaikat pun pada akhirnya mengakui keunggulan manusia dan akhirnya mau bersujud (memberi hormat) pada manusia. Jadi, coba kita renungi sekali lagi, cukupkah kita untuk selalu mengistirahatkan akal kita dengan alasan takut menjadi sesat dengan anggapan bertanya berarti ragu?
Suasana Idul Adha tahun 1439 H. Di Musholla "Raoudhotul Muttaqin", desa Tedunan, kec. Kedung, kab. Jepara.
Kenapa harus ada Kurban? Ada hikmah apa yang coba Allah ajarkan pada kita di balik disyari’atkannya menyembelih hewan kurban? Pertanyaan yang sederhana, tapi jika kita tindak lanjuti ia akan memberikan kita pelajaran yang sangat berharga. Misalnya, kita perhatikan saat moment menyembelih hewan kurban. Kita bisa saksikan betapa hewan kurban itu tidak pernah menyerah sedikit pun untuk mempertahankan hidupnya, meskipun sudah nampak jelas di depannya ajal telah menanti. Apakah kalian pernah lihat hewan kurban ketika saatnya disembelih pasrah begitu saja menerima nasib? Apakah kalian pernah melihat hewan kurban dengan langkah sukarela kemudian memposisikan dirinya ditempat penyembelihan? Seumur hidup saya, saya tak perah sekalipun menyaksikan fenomena hewan kurban itu kemudian pasrah ketika hendak disembelih.
Hewan Kurban Tak Pernah Menyerah untuk Mempertahankan Kehidupannya.
Lalu, pelajaran apa yang bisa kita petik dari fenomena itu? Bahwa tidak ada hewan kurban yang menyerah begitu saja, mereka pasti akan memberontak dan berusaha melepaskan diri. Dan ternyata memang di beberapa kasus, usaha hewan kurban untuk selamat dari penyembelihan itu berhasil. Bahkan Idul Adha kemarin di desa saya ada kambing kurban yang gagal disembelih karena saat hendak dibawa ke tempat penyembelihan, kambing tersebut meronta-ronta. Di saat yang punya hendak menenangkan, tanpa sengaja ia memegang tanduk si kambing dan mematahkan tanduk tersebut. Tentu, kambing tersebut tidak bisa dijadikan hewan kurban karena dinilai cacat. Hal itu tidak akan terjadi andai saja si kambing kemudian pasrah begitu saja, bahwa sebentar lagi ia akan disembelih.
Dari sini, apa yang bisa kita jadikan pelajaran? Pelajarannya adalah, hewan saja tidak pernah menyerah untuk memperjuangkan hidupnya. Sementara, banyak di antara kita sebagai manusia sering mudah menyerah untuk memperjuangkan kehidupan kita. Adanya fenomena bunuh diri di kalangan manusia bisa menjadi salah satu penguat dari derajat manusia yang bisa lebih hina dari hewan (QS. 7: 179). Bagaimana tidak? Apakah kita pernah mendengar ada kasus hewan bunuh diri? (Mungkin anda bisa menjawab ada, karena dalam dunia hewan ada itu hewan yang untuk berkembang biak dia harus membunuh dirinya. Tapi itu pun tidak bisa kita pahami sebagai bunuh diri, karena itu memang jalan hidupnya dan tidak ada pilihan). Sementara manusia dengan segala keistimewaannya tetap saja ada yang justru sukarela mendatangi ajal.
Itulah sedikit hikmah yang bisa kita ambil dari agenda rutin umat Islam menyembelih hewan kurban di Hari raya Idul Adha. Bahwa tidak ada hewan kurban yang kemudian pasrah menerima nasib saat dirinya sudah diambang ajal. Lantas, jika hewan saja seperti itu, pantaskah kita kemudian mudah pasrah begitu saja? Hanya diri kita sendiri yang tahu.
Sukoharjo, 26/08/2018, 13.16 WIB

0 Response to "Idul Adha: Belajar Dari Hewan Kurban"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel