Jahiliyyah Pra-Islam: Etika atau Intelektual?
Selama ini, kita sebagai umat Islam selalu disajikan sejarah awal
datangnya Islam dengan background masyarakat yang serba bodoh, atau
biasa dipakaikan istilah “Jahiliyyah.” Meskipun, pada akhirnya
penggunaan istilah jahiliyyah di sini bisa dimaknai secara dinamis.
Salah satu alasan kenapa bisa dinamis – setidaknya menurut dugaan saya – karena
tidak ada yang bisa benar-benar memverifikasi secara pasti “kebodohan” masa
Pra-Islam apakah bodoh dalam aspek intelektual, politik, ekonomi atau justru jahiliyyah
etika?
Jika kita baca beberapa referensi sejarah awal Islam, kita akan
dapati informasi bahwa bangsa Arab memiliki banyak sastrawan yang ahli membuat
syair dan semacamnya. Kemudian, kita juga akan dihadapkan pada kenyataan bahwa
beberapa orang Kafir Quraisy sering menuduh Nabi Muhammad saw. sebagai orang
yang mengulang cerita-cerita orang terdahulu (tuduhan ini sebenarnya cukup
beralasan, pasalnya beberapa ayat-ayat al-Qur’an memang berisi kisah-kisah
orang terdahulu), Nabi Muhammad hanya mengkreasikan agama-agama yang sudah ada
dari dulu. Belum lagi kalau kita bicara beberapa orang dan pejabat yang ada di
lingkungan Makkah saat itu banyak yang pintar berdiplomasi, berpidato, berorasi
dan banyak lagi informasi yang itu bisa mengantarkan kita pada satu pemahaman
bahwa jahiliyyah dalam masyarakat pra-Islam tidak sepenuhnya terkait
dengan kebodohan intelektual.
Lalu, jahiliyyah apa? Sebelum menjawab pertanyaan itu, kita
perlu lihat lagi salah satu hadist Nabi yang kurang lebih artinya “Sesungguhnya
aku di utus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Pertanyaannya kemudian,
kenapa domain akhlak yang menjadi target diutusnya Nabi? Saya kira itu tidak
lain karena memang saat itu sedang terjadi krisis etika. Sama halnya dengan
analogi seseorang akan mendatangkan tukang service TV di saat TV yang
dimilikinya sedang rusak. Jadi, akan sangat aneh jika TV yang rusak kemudian
didatangkan bukan tukang service TV melainkan tukang kayu. Karenanya, ketika
salah satu misi Nabi Muhammad saw. adalah menyempurnakan akhlak, maka bisa
dipahami bahwa memang saat itu sedang terjadi kerusakan akhlak. Sehingga, dalam
hal ini saya memaknai masa jahiliyyah Pra-Islam sebagai jahiiyyah etika.
Jahiliyyah etika ini memiliki dampak yang melingkupi berbagai aspek
kehidupan. Ketika suatu masyarakat sedang diliputi ke-jahiliyyah-an
etika, maka tidak sulit menemukan orang kaya yang dengan tanpa canggung
menindas yang miskin, yang memiliki jabatan tinggi tidak merasa malu
menggunakan jabatannya untuk menipu rakyat kecil, yang memiliki usaha
perdagangan tidak merasa bersalah ketika harus mengurangi timbangan, mencampur
barang baik dengan buruk, mempraktikkan riba dan berbagai macam muamalah yang
mendlolimi pihak lain, yang pintar secara intelektual tidak merasa risih
menggunakan kepintarannya untuk membodohi orang lain. Ketimpangan itu semua
terjadi karena adanya “kebodohan etika”, dimana etika tidak berlaku dalam tatanan
masyarakat yang ada.
Setidaknya ini sudah jauh-jauh hari dinyatakan oleh Fazlur Rahman dalam
karyanya, “Tema-tema Pokok Al-Qur’an”, Bahwa agama dihadirkan dalam masyarakat
memiliki misi perbaikan etika. Domain etika memang bersifat individual,
meskipun pada praktiknya keindividualan ini pada praktiknya tidak bisa
dijauhkan dan dipisahkan dalam lingkup sosial (masyarakat). Dimensi dualitas
yang dimiliki manusia, baik itu jasmani-rohani atau individu-sosial pada dasarnya satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan layaknya mata uang yang memiliki dua sisi, yangmana jika satu
sisinya hilang (entah itu disengaja atau tidak) akan menjadi tidak berharga
lagi. Pun demikian dalam hal etika manusia, tidak akan berharga jika etika
seseorang hanya mendatangkan kebaikan untuk dirinya dan tidak membawa kebaikan
untuk yang lain. Karenanya, Nabi Muhammad saw. pernah bersabda yang kurang
lebih bermakna “sebaik-baik manusia adalah yang dapat membawa kemanfaatan bagi
sesama manusia.” Andai etika individu tidak terhubung dengan aspek sosial,
tentu Nabi tidak perlu berpesan demikian, atau redaksinya cukup “sebaik-baik
manusia adalah yang membawa kemanfaatan untuk dirinya.”
Sekali lagi, kita patut menduga bahwa jahiliyyah pra-Islam
adalah lebih kepada kebodohan dalam hal etika. Di mana yang kaya dengan
kekayaannya merasa berhak menguasai yang
miskin, yang pintar dengan kepintarannya merasa bangga mengambil keuntungan
dengan cara membodohi dan membodohkan orang lain dan bentuk-bentuk kejahatan
moral yang jauh dari aspek keadilan dan keberadaban.
Pertanyaan yang perlu kita renungi sekarang adalah “mungkinkah ke-jahiliyyah-an
etika ini akan terjadi lagi? Ataukah justru memang sedang terjadi?” Tidak mudah
memang menjawab pertanyaan ini, tapi setidaknya untuk saat ini kita perlu
renungi bersama fenomena yang ada di sekitar kita. Bukankah teramat mudah
menemukan orang-orang kaya yang dengan kekayaannya merasa berhak
mengeksploitasi manusia-manusia lainnya, bahkan tidak cukup manusia saja yang
dieksploitasi melainkan juga alam yang seharusnya dijaga. Orang-orang pintar
yang dengan kepintarannya mampu membodohi orang lain, dan masih banyak lagi
fenomena lainnya yang ternyata itu marak terjadi di zaman Jahiliyyah pra-Islam.
Bahwa alur cerita dunia ini selalu berulang dari masa ke masa, (baca: Sejarah Terulang) mungkinkah
sekarang kita sedang dalam masa pengulangan sejarah zaman Jahiliyyah pra-Islam?
Wallahu A’lam.
Jepara,
31 Juli 2018, 19:12 WIB
0 Response to "Jahiliyyah Pra-Islam: Etika atau Intelektual?"
Post a Comment