Rahasia Ilahi: Misteri Kegagalan
“Tidak ada yang benar-benar gagal di
dunia ini, yang ada hanyalah keberhasilan yang tertunda”.
Belakangan, saya memahami bahwa kata-kata itu bukanlah sekedar
kata-kata penghibur untuk diri kita yang mungkin sedang ada pada moment “kegagalan”,
kegagalan apa saja, pendidikan, karir, atau bahkan cinta. Dalam salah satu
perkuliahan, seorang dosen pernah berpesan demikian:
“Tugas
kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena di dalam
mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil.”
Lagi-lagi saya katakan, bahwa itu bukan sekedar kata-kata
penghibur. Meskipun saya juga sarankan untuk tidak menyampaikan kata-kata
tersebut kepada seseorang yang sedang ada di awal-awal moment kegagalan.
Biarkan dia melewati moment itu, baru setelahnya kita bisa berikan dia
kata-kata itu. Kenapa? Ya karena jangan sampai kata-kata bijak itu akan
terdengar sebatas kata-kata penghibur hanya karena disampaikan pada moment yang
tidak tepat.
Ya, manusia tidak punya kuasa untuk mewujudkan apa yang menjadi
keinginannya. Manusia bisa berencana sebanyak mungkin, dan sudah dapat
dipastikan bahwa kesemua rencana itu pasti sesuatu yang baik dan membanggakan
(setidaknya baik menurut ukuran dirinya sendiri). Tapi, tidak semua rencana
pada akhirnya terwujud. Beberapa ternyata ada yang “nampak gagal”. Kenapa “nampak
gagal”? Ya, karena sejauh ini saya meyakini tidak ada yang sebenar-benarnya
gagal, yang nampak gagal itu hanya sebatas pemahaman kita, atau kita gagal
memahami moment “nampak gagal” itu.
Kita yang menyebut dirinya manusia ini – menurut saya – adalah
makhluk yang amat parsial, amat terbatas. Sehingga, dalam melihat segala
sesuatu pun juga parsial. Berbeda dengan Tuhan yang Maha Mengetahuinya tanpa
batas. Termasuk dalam moment yang “nampak gagal” itu. Kita bisa katakana
“ah, ternyata tidak sesuai dengan rencanaku”, tapi Tuhan mungkin akan berkata “tenang
dululah, santai gitu lho, percaya saja sama Aku.”
Sedikit yang bisa saya bagi dalam tulisan ini terkait dengan tema “nampak
gagal” ini adalah ketika saya harus dihadapkan pada moment yang cukup
menyedihkan dan mengecewakan ketika di bangku kuliah. Saya kira tidak ada satu
pun mahasiswa yang berencana untu bisa lulus kuliah tidak tepat waktu, semuanya
pasti ingin (setidaknya ketika awal masuk kuliah) bisa lulus secepat mungkin. Meskipun
pada kenyataannya tidak semua mahasiswa dapat mewujudkan rencana itu, termasuk
saya.
Pendaftaran munaqosah (Ujian untuk Tugas Akhir) tinggal satu
hari, dan karena Tugas Akhir saya sudah selesai semua, saya putuskan hari itu
juga bisa memperoleh tanda tangan pembimbing. Ya, jika hari itu saya tidak
dapat tanda tangan, maka konsekuensi yang harus saya terima adalah mundur satu semester
lagi, mundur di sini tidak hanya mundur waktu tentunya, harus ada tambahan
biaya, termasuk yang pasti harus ada tambahan semangat lagi, dan yang terakhir
ini adalah yang terberat. Dari pagi saya standby di depan kantor
pembimbing saya, dan setelah waktu berjalan sedemikian lambat, sore harinya
saya bertemu dengan pembimbing saya. Saya yakin bahwa hasil tak akan
mengkhianati proses, dan saya memang percaya diri untuk bisa dapat persetujuan
hari itu juga. Apalagi melihat kakak angkat saya yang juga minta persetujuan
Tugas Akhir nampak bahagia seusai bertemu pembimbing, begitu saya tanya “dapat
tanda tangan mas?”, dijawab “Alhamdulillah mas” sambil tersenyum lega. Oke, Insyaallah
lancar.
Tapi nampaknya saat itu rasa percaya diri saya terlalu tinggi dan
mendekati rasa sombong, sehingga Allah akhirnya menegur saya. Karena pada
akhirnya, semua tidak berjalan sesuai rencana, “revisi 50%”. Pada akhirnya,
saya harus rela menunda kelulusan satu semester lagi. Kecewa? Pasti. Sedih? Jangan
ditanya. Bahwa memang kecewa itu ketika realitas tak sejalan dengan ekspektasi
kita.
Saya menganggap hari itu adalah bagian dari kegagalan saya untuk
mencapai apa yang saya rencanakan. Meskipun, belakangan saya mulai menyadari
bahwa saat itu bukan sepenuhnya kegagalan. Hanya saja saya belum tau alur
cerita selanjutnya seperti apa, dan begitu waktu telah berlalu saya mulai
menyadari bahwa “saya tidak gagal”. Ada hikmah yang saya temukan dalam moment
“nampak gagal” itu. Apa? Setidaknya, karena kelulusan saya mundur, ijazah
yang saya dapatkan akhirnya berakreditasi A. Ya, andai saja saat itu saya
mendapat tanda tangan dan lulus tepat waktu, maka akreditasi ijazah saya pasti
masih B. Tapi, karena saya mundur satu semester, akhirnya sekarang ijazah yang
saya dapatkan memiliki akreditasi A.
Memang penting ya kalau akreditasinya beda? Saya kira akan sangat naïf
jika saya katakana tidak penting, sama naifnya jika ada orang kuliah kemudian
mengatakan “saya niat kuliah karena menuntut ilmu kog mas”. Nah, kalau
saya atau pembaca ketemu orang seperti itu, coba ingat-ingat saja nama dan
NIM-nya, kemudian tunggu dia lulus, begitu wisuda dan dapat ijazah, kita minta
ijazahnya dan kita bakar saja. Sadis? Bukanlah, lha katanya dia murni mencari
ilmu, jadi tidak masalah dong kalau ijazahnya dibakar. Memang, sebagian
menganggap bahwa selembar kertas itu tidak terlalu penting, tapi akan menjadi naïf
jika kita mengatakan tidak penting, sementara kita harus datang setiap hari di
kelas, harus mengerjakan tugas setiap semester dan anehnya harus mendengarkan
mata pelajaran yang bisa jadi kita tidak suka dan tidak paham sama sekali
dengan yang dibicarakan dalam kelas.
Pada akhirnya, saya berkesimpulan bahwa tidak ada yang benar-benar
gagal di dunia ini. Kita bisa mengatakan gagal – saat ini – ya karena kita
tidak bisa tahu apa yang akan terjadi setelah moment “nampak gagal” itu.
Ya, saya memang tidak berhasil memenuhi target kelulusan, tapi saya
menemukan satu pelajaran berharga bahwa Tuhan selalu punya rencana lain, dan saya hanya
cukup menunggu dan memastikan jika suatu saat nanti saya benar-benar siap menerima kejutan-kejutan
selanjutnya. Dengan cara apa? Dengan cara tidak melupakan bahwa tugas kita
adalah berusaha, karena dengan berusaha kita akan bisa benar-benar memastikan
bahwa apa yang kita peroleh adalah benar-benar takdir kita. Bagaimanapun, pada akhirnya saya bisa lulus. Tidak tepat waktu? Tak apalah, setidaknya ceritaku tentang perkuliahan ini akan lebih panjang dari teman-teman yang dapat lulus tepat waktu.
Lebih dari itu, terkadang juga terpikir bahwa Tuhan itu adakalanya memang
sengaja memberi kita moment “nampak gagal” agar kita bisa lebih
hati-hati menjadi manusia. Maksudnya? Ya, setidaknya jangan sampai lupa kalau
kita ini hanya manusia, yang tugasnya hanya berusaha, bukan yang menentukan. Lha
kalau semua yang kita rencanakan selalu terwujud, bisa-bisa akan menjadikan
kita merasa bahwa kita ini Tuhan yang bisa mewujudkan semuanya. Ingat tentang
Fir’aun yang mengaku Tuhan? Ya karena bisa jadi semua kehendaknya selalu
terkabul hingga akhirya dia merasa dia adalah Tuhan. Kegagalan adalah rahasia Ilahi, (Baca: Rahasia Ilahi) dan karenanya ia juga dipahami sebagai satu misteri, dan kenapa ia menjadi misteri? Karena keterbatasan kitalah sebagai manusialah yang tak mampu memahami saat itu juga. Karena bagaimana pun juga, misteri tidak lagi menjadi misteri jika kemudian seiring berjalannya waktu ia bisa dipahami. Bukankah "gagal" itu demikian?. Wallaahu A’lam. []
Kartasura,
24 Maret 2018, 16.49 WIB
0 Response to "Rahasia Ilahi: Misteri Kegagalan"
Post a Comment