Keberagaman Agama (Part 1): Kenapa Beda?
“Adalah salah jika mengaku beragama jika hidupnya tidak dipenuhi
dengan kedamaian.”
Kurang lebih demikiannlah yang masih saya ingat dari apa yang
disampaikan oleh Prof. Mahfud Md. dalam satu acara di dalah satu stasiun TV
swasta yang saat itu membicarakan tentang penyerangan tokoh-tokoh agama. Tapi untuk
sementara, kita kesampingkan dulu kutipan di atas.
Dalam beberapa kesempatan, saya pernah mendapatkan pertanyaan atau
dalam kesempatan yang lain juga membahas tentang tema keberagaman dalam agama. Pertanyaan
dan pembahasan itu selalu berangkat dari satu pernyataan atau pertanyaan “kenapa
harus ada perbedaan agama?”. Seharusnya, memang tidak sulit kemudian menjawab
itu, cukup kita kutipkan QS. Hud: 118, maka pertanyaan dan pembahasan itu bisa
diakhiri.
Seharusnya memang begitu, meskipun pada kenyataannya, tema itu
selalu dibahas lagi, lagi dan lagi. Pembahasan yang berulang-ulang ini pada
akhirmya mengindikasikan bahwa tema keberagaman dengan penguatan nash QS. Hud
ayat 18 ini menjadi tema yang belum final. Setidaknya dalam pemahaman bersama
yang disepakati. Karena kalau sudah final, saya kira perdebatan panjang itu tak
akan pernah ada. Misal, apakah kita pernah mendengar orang memperdebatkan raka’at
sholat Maghrib? Tentu tidak ada. Pertanyaannya, kenapa tidak ada? Apakah karena
itu bukan tema yang seru dibicarakan? Tentu tidak. Jawaban yang bisa kita
terima bersama ialah bahwa tema tentang jumlah raka’at sholat Maghrib sudah
final, semuanya sepakat bahwa jumlahnya ada 3. Jadi, polanya ialah jika satu tema
masih sering diulang-ulang pembahasannya, maka itu menandakan bahwa tema
tersebut belum memiliki ketentuan baku yang disetujui bersama.
Kembali
ke persoalan keberagaman agama. Beberapa orang (dan barangkali termasuk saya
sendiri), seringkali tidak konsisten antara apa yang diketahui dengan apa yang
kemudian dilakukan. Saya kira, semua orang yang pernah membaca al-Qur’an dan
kemudian sedikit-sedikit tahu artinya, akan menemukan satu pemahaman bahwa
perbedaan ini memang sunnatullah, yakni benar-benar yang dikehendaki
Allah. Tapi, pemahaman itu akan nampak tidak sejalan dengan beberapa fenomena yang ada di sekitar kita. Fenomena di mana tidak sedikit orang-orang Islam yang kemudian mencoba menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada, tak terkecuali dalam hal agama. Parahnya, dalam upaya
menyatukan ini kemudian menggunakan cara yang cenderung konfrontatif dan
destruktif dalam pemaknaan bisa destruktif secara fisik atau psikis (menyesat-nyesatkan).
Sebagian menganggap tindakan itu sebagai satu bentuk wujud dakwah. Meskipun
anggapan itu kemudian memunculkan pertanyaan lain yang untuk menjawabnya pun kita akan disuguhi jawaban-jawaban yang
lagi-akan sangatberbeda satu sama lain, meskipun bahan perdebatan itu sama-sama
datang dari al-Qur’an Hadist. Maka dalam hal ini, kita akan kembali diyakinkan
bahwa beda itu pasti, termasuk dalam hal mendekati maksud al-Qur’an dan Hadist
yang amat hakiki. (Maka dalam hal ini saya meyakini bahwa memang Al-Qur’an itu
kebenarannya hakiki, meskipun pada akhirnya al-Qur’an ini menjadi kebenaran
yang relative saat al-Qur’an bertemu dengan pemahaman manusia yang teramat relatif).
Kemudian, sikap yang cenderung merusak dalam hal perbedaan ini,
selain karena mereka merasa bahwa al-Qur’an melegitimasi kehendaknya, juga
biasa dipicu oleh –saya menyebutnya- “sentiment keirian”. Apa itu “sentiment keirian?” Ya semacam adanya rasa iri melihat orang yang
berbeda itu memiliki sesuatu yang lebih dari kita. Dan yang kemudian membuat
iri itu semakin tinggi saat kita merasa psimis untuk bisa melakukan apa yang
mereka lakukan. Saya kutipkan permisalan dari salah seorang dosen saya yang
kurang lebih: “Saat kamu menemukan bahwa temanmu bisa bernyanyi dengan sangat
bagus, sementara kamu tidak. Jangan lantas kamu mencari-cari dalil yang pada
akhirnya kamu gunakan untuk menghukumi temanmu, bahwa menyanyi itu haram.”.
Bersambung...
Kartasura,
11/03/2018, 10.56
0 Response to "Keberagaman Agama (Part 1): Kenapa Beda?"
Post a Comment