Keberagaman Agama (Part 3): Event Lomba Kebaikan
Suatu hari, anda menemukan pengumuman akan diadakannya event lomba
lari yang menjanjikan hadiah yang lumayan besar. Kemudian, anda putuskan untuk
mendaftarkan diri sebagai peserta lomba. Singkat cerita, tibalah pada hari
diselenggarakannya event tersebut. Namun, begitu anda perhatikan,
ternyata ada yang aneh. Pasalnya, anda tidak menemukan peserta lain selain diri
anda, yang ada hanya panitia dan beberapa penonton. Begitu anda tanya ke
panitia, mereka pun mengkonformasi bahwa memang peserta lomba hari itu hanya
anda, dan itupun kemudian tidak menjadikanperlombaan itu dibatalkan, artinya
meskipun hanya anda pesertanya, lomba lari tetap dilaksanakan juga. Pertanyaan:
apa yang mungkin anda lakukan jika dalam perlombaan itu hanya anda yang menjadi
peserta? Kalau pertanyaan itu diajukan ke saya, maka saya akan jawab “Ya sudah,
kalau memang cuma saya, saya tetap melaksanakan perlombaan itu, meskipun
mungkin saya akan lebih santai saja, tak perlu terburu-buru, tak perlu
cepat-cepat. Yang penting kan sampai garis finish.”
Saya kira jawaban saya tersebut tidak terlalu aneh, karena yang
aneh seharusnya adalah jika ada perlombaan tapi kemudian pesertanya tunggal.
Nah, ilustrasi di atas sebenarnya bisa kita bawa ke dalam konteks keberagaman
agama. Bahwa dalam tulisan sebelumnya (Baca: Keberagaman Agama; Kristenisasi) saya telah menyinggung tentang
isu Kristenisasi, bahwa isu tersebut disinyalir (oleh beberapa kalangan umat
Islam) sebagai salah satu faktor semakin
menurunnya jumlah pemeluk agama Islam di Indonesia. Namun sebelum saya teruskan pembahasan itu,
saya ingin kutipkan QS. Al-Baqarah: 148, di mana Allah dalam firman-Nya
menegaskan yang artinya kurang lebih:
“Dan
setiap umat memiliki kiblat masing-masing yang dia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti
Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”
Sebelum saya lanjutkan, saya ingin menggaris bawahi bahwa dalam tulisan
selanjutnya, saya bukan sedang bermaksud menafsiri ayat di atas. Karena
bagaimana pun, kapasitas saya untuk bisa mengaku sebagai mufassir masih amat
jauh. Pun begitu, saya juga enggan kemudian hanya terdiam diri saja dihadapkan
pada ayat-ayat al-Qur’an yang di dalamnya saja banyak perintah untuk berpikir,
menggunakan akal dan sejenisnya.
Kembali pada ayat 148 di surat kedua dalam al-Qur’an. Saya kira
tidak berlebihan jika kemudian saya katakan bahwa Allah mengisyaratkan dalam
ayat tersebut, bahwa Dia sedang mengadakan event lomba. Lomba apa? “Lomba
Berbuat Baik”. Kalau memang demikian yang Allah inginkan, maka pertanyaan
selanjutnya adalah lantas siapa peserta “Lomba Kebaikan” ini? Saya harap
pembaca sudah mulai bisa menangkap maksud dari tulisan saya ini. Jika belum,
maka saya ingin sampaikan spekulasi saya akan ayat yang saya kutip di atas, yang
kemudian saya sinkronkan dengan QS. Hud ayat 118 yang mengisyaratkan bahwa jika
Allah mau, maka Dia sangat mungkin untuk menjadikan manusia ini menjadi umat
yang satu. Tapi, toh pada kenyataannya justru kita temukan di dunia ini
banyak sekali perbedaan, termasuk agama, yang mengindikasikan bahwa perbedaan
ini sengaja di desain oleh Allah.
Mari bersama-sama kita renungkan, di satu sisi Allah menghendaki
adanya keberagaman, dan di sisi lain Allah mengadakan event “Lomba
Berbuat Baik”. Maka, tidakkah kita temukan titik temu antara keduanya? Untuk
bisa mengadakan lomba, maka sudah seharusnya pesertanya tidak hanya satu, bahwa
semakin banyak peserta maka semakin tinggi pula tingkat kompetisinya. Semakin banyaknya
keberagaman, maka bukankah itu cukup menjadikan alasan untuk masing-masing
pihak berusaha semaksimal mungkin?
Maka, berdasarkan pemahaman di atas (tentang Lomba Berbuat Baik),
saya kemudian kurang sepakat jika kita sebagai umat Islam menolak upaya
Kristenisasi yang telah saya bahas pada tulisan sebelumnya, apalagi yang
cenderung menggunakan cara kekerasan. Apa salahnya jika mereka memang berniat
membantu para orang miskin? Apa salahnya jika – katakanlah – mereka memang
punya maksud mengkristenkan orang-orang miskin melalui pemberian
bantuan-bantuan? Apa salahnya, jika kemudian yang diberi bantuan pun kemudian
mengikuti keyakinan orang yang membantunya? Lantas, benarkah kita yang kemudian membenci
umat lain yang sedang berdakwah? Benarkah kita (dengan membawa dalih agama) melakukan
intimidasi terhadap mereka yang berbeda dengan kita?
Kita bisa saja memperdebatkan salah-benar sampai kapan pun. Tapi yang
perlu kita ingat bersama adalah, bahwa kita sekalian masih dalam kondisi
keberagamaan yang belum pasti. Iya, saya mengaku bahwa agama saya Islam, saya sudah
baca syahadatain, saya shalat, saya puasa dan saya pun meyakini al-Qur’an
sebagai Kitab Suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. untuk
disampaikan kepada umatnya. Tapi, apakah iya jika saya sudah beramal dan
beriman sesuai tuntunan Islam saya bisa memastikan untuk saat ini saya akan
masuk surga? Tidak. (Baca: Dalam Hidupku Aku Bertanya, Dalam Matiku AKu Menjawab) Kita masih ada di arena perlombaan, kita semua
masih berusaha, dan belum mencapai garis finish.
Jika kita yang mengaku beragama ini memahami betul esensi dari event
lomba ini, maka kita tidak seharusnya menjadikan kebaikan dan kesuksesan umat
lain dalam dakwah sebagai sesuatu yang perlu dibenci dan dihilangkan. Tapi,
justru menjadi pemicu untuk kita bisa lebih baik dari mereka, motivasi untuk
kita bisa lebih sukses daripada mereka. Kalau mereka bisa menyantuni –
katakanlah – 10 Kg beras dan 5 Kg gula perbulan kepada 1000 keluarga miskin. Maka,
kita yang menjadi umat mayoritas di negeri ini seharusnya lebih bisa memberi
bantuan melebihi yang bisa mereka berikan. Jadi, bukan kemudian mencaci mereka,
menuduh mereka menyesatkan atau istilah lain yang pada dasarnya itu negatif. Ya,
kalau dengan menyantuni itu bisa menjadi metode dakwah yang efektif, kenapa
kita tidak mencoba meniru? Atau kalau bisa lebih banyak dan lebih baik dari
mereka.
Pada akhirnya, satu hal yang tidak boleh terlupa oleh kita sebagai
manusia adalah bahwa kita saat ini masih dalam situasi bertanya-tanya. Kita bisa
mengatakan: saya sudah rajin shalat, saya sudah rajin puasa, saya rajin ini dan
itu. Tapi, tak ada yang bisa memastikan bahwa itu telah menjadi jaminan kita
mendapat tempat terindah di sisi Allah. Bahwa, pada kenyataannya, kita sekalian
masih dalam proses menuju garis finish. Bisa jadi saat ini kita berada
di urutan terdepan, tapi selama belum mencapai garis finish, semuanya
masih mungkin terjadi. Termasuk mereka yang mungkin dalam pandangan kita saat
ini tidak akan mampu mencapai garis finish, bisa jadi justru merekalah
yang pada akhirnya mampu menyelesaikan perlombaan ini dengan hasil yang amat
memuaskan. Dan itulah kenapa kemudian kita diciptakan Allah berbeda-beda, setidaknya agar kita tidak santai-santai saja. Karena akan berbeda jika dalam lomba hanya kita pesertanya, dengan ketika lomba itu ada banyak peserta. Right? Semoga yang sedikit ini dapat memberi kemanfaatan. []
Kartasura, 21 Maret 2018, 20:02
0 Response to "Keberagaman Agama (Part 3): Event Lomba Kebaikan"
Post a Comment