Filsafat Sesat(?)
“Kenapa kita harus belajar filsafat? Bukankah filsafat itu
mendekatkan kita pada kesesatan?”
Pertanyaan di atas kemudian dilanjutkan dengan kutipan beberapa
tokoh Islam yang mengkritik tentang ilmu Filsafat. Satu yang masih saya ingat
adalah imam al-Ghazali yang memang dalam karyanya Tahaful al-Falasifah cenderung
mengkritik pemikiran filsafat.
Sebenarnya, sepanjang sejarah keilmuan Islam, para intelektual yang
ada sudah mengajarkan tentang konsep metodologi keilmuan yang amat ilmiah. Sebut
saja dalam keilmuan hadist, dikenal ada istilah asbabul wurud (jika
dalam ulumul Qur’an dikenal dengan asbabun nuzul) yang kurang
lebih itu mengingatkan kita bahwa ada beberapa ketentuan hukum yang penetapannya
sangat terkait dengan konteks saat hukum itu ditetapkan. Dalam hal pandangan
tentang filsafat pun perlu kita cermati lebih dalam lagi.
Tentu amat tidak bijak jika kemudian kita sekalian menghukumi
filsafat sebagai ilmu yang menyesatkan dengan alasan beberapa intelektual
muslim mengatakan itu (filsafat sesat). Fakta adanya beberapa intelektual
muslim yang berpendapat demikian memang tidak bisa dibantah, apalagi jika
kemudian pandangan mereka telah terdokumentasikan dalam sebuah karya. Akan tetapi,
ada hal lain yang perlu kita pastikan, yakni kenapa mereka kemudian sampai pada
kesimpulan itu? Atau paling tidak kita pastikan terlebih dahulu filsafat macam
apa yang mereka hukumi sesat (baca: menyimpang)? Jangan-jangan, filsafat yang
mereka maksud berbeda dengan filsafat yang hendak kita ingini.
Ada yang berargumen bahwa filsafat mengantarkan kita pada
pengingkaran kita akan Tuhan, baik dari segi Dzat, Sifat atau pun Asma’. Jika
memang demikian, maka mari kita setujui bahwa filsafat macam itu sesat. Artinya,
persetujuan ini kita pakai hanya pada filsafat yang membawa kita pada
pengingkaran Tuhan, tidak bisa digeneralisir bahwa semua filsafat sesat. Karena
“generalisir serampangan” itu akan menimbulkan kerancuan. Bagaimana tidak?
Untuk definisi filsafat saja kita belum mencapai keputusan final (silahkan
dibuktikan dengan membuka beberapa referensi yang berbicara tentang filsafat),
lantas apakah kita akan menentukan hukum final dalam filsafat?
Louis O. Kattsoff, dalam karyanya Pengantar Filsafat (terj. Soejono
Soemargono, 2004: 6) mengatakan bahwa perenungan kefilsafatan ialah percobaan
untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional, yang memadai untuk
memahami dunia tempat kita hidup, maupun untuk memahami diri kita sendiri. Sementara,
Hasan Basri (2009: 9) mencirikan filsafat dengan berpikir yang logis,
sistematis, kritis, logis, kontemplatif, radikal dan spekulatif.
Selain dua definisi di atas, kita akan temukan definisi-definisi
lain tentang filsafat dalam banyak literatur lainnya yang bisa jadi akan banyak
variasi pemaknaannya. Karenanya, sekali lagi saya katakan bahwa akan amat
kurang bijak jika memakai satu sudut pandang filsafat (yang sesat), kemudian
kita pakaikan itu ke semua jenis filsafat yang ada. Dan tentu sikap “generalisasi
serampangan” ini amat tidak menyamankan. Sama tidak nyamannya ketika ada
orang lain yang men-generalisirkan bahwa Islam itu adalah ISIS.
Dalam hal ini, maka kita perlu memposisikan diri seproporsional
mungkin. Bahwa filsafat memiliki pemaknaan yang bermacam-macam, meski secara
esensi semua memiliki kesamaan, yakni berpikir yang amat mendalam. Kita coba
fokuskan pada pemaknaan perenungan filsafat yang disampaikan Louis O. Kattsoff
di atas, bahwa perenungan filsafat adalah perenungan untuk memahami dunia
tempat kita hidup, dan lebih jauh lagi yaitu memahami siapa kita ini. Jika definisinya
demikian apakah kita akan mengatakan sesat? Apakah sesat jika kita mencoba
memahami siapa diri kita? sementara ada adagium
(saya lupa apakah ini hadist atau pendapat ulama) yang mengatakan “kenalilah
dirimu, maka kau akan mengenal Tuhanmu”. Apakah salah jika kita berusaha
mengenali Tuhan dengan cara kita mengenali diri kita melalui perenungan
filsafat?
Silahkan jika anda masih yakin bahwa filsafat itu menyesatkan. Tapi
yang saya yakini berfilsafat adalah fitrah manusia, yang bagaimana pun kita
mencoba menghilangkan itu, kita tak akan mampu. Bahwa filsafat tidak harus kita
mintai pertanggungjawabannya jika sejarah memberikan data tak terbantah, bahwa
ada beberapa filosof yang karena pemikiran filsafatnya menjadikan mereka ingkar
pada Tuhan. Tapi apakah itu akan kita jadikan alasan untuk membenci filsafat? Bahwa
jika kita temukan ada orang yang membunuh menggunakan pisau, apakah kita
putuskan untuk membenci pisau selamanya? (Baca: Cinta Kebijaksanaan dalam Filsafat).
Mari satukan frekuensi kita tentang filsafat, bahwa filsafat
dalam pemaknaan yang paling sederhana dan yang kekinian adalah “kepo”
(rasa ingin tahu). Bahwa berfilsafat berarti kita sedang ngepoin apa
saja yang bisa kita kepoin, termasuk diri kita sendiri. Jika filsafat yang
kita pahami itu demikian, maka bukankah kita bisa dengan sangat mudah katakan bahwa
filsafat adalah fitrah manusia? Kenapa masih ragu mengatakan iya? Coba kita
perhatikan diri kita sendiri, sudah berapa kali pertanyaan yang terlontar hari
ini? Bukankah bertanya itu berarti kepo? Jika kemudian kita katakan filsafat
sesat, bukankah dalam waktu yang sama kita sedang menyesatkan diri kita
sendiri? Atau jika kita masih enggan mengatakan filsafat tidak sesat, lantas
apa yang bisa kita jelaskan tentang adanya fakta, bahwa Allah mengabadikan
proses “kekepoan” Nabi Ibrahim saat mencari Tuhan dalam QS. Al-An’am:
76-79? Bukankah saat itu Nabi Ibrahim sedang berfilsafat?
Akhirnya saya kembali lagi pada sosok yang amat istimewa dalam
keilmuan Islam, imam al-Ghazali. Bahwa memang benar beliau mengkritik filsafat
dalam karyanya Tahafutul Falasifah, tapi jika kemudian karya itu
dijadikan argumen bahwa imam al-Ghazali menolak filsafat saya rasa kurang
tepat. Apa pasal? Pasalnya, ketika imam al-Ghazali mengkritik filsafatnya Al-Farabi,
Ibn Sina dan Aristoteles justru mengindikasikan bahwa imam al-Ghazali juga
seorang filosof (pemikir yang amat kritis radikal, sistematis dan logis). Karena
hanyalah filosof yang bisa mengkritisi filosof lainnya (kita bisa diskusikan
bersama tentang sejarah filsafat dari masa Yunani, mulai dari filosof alam,
filosof manusia dan sampai sekarang ada dialektika para filosof yang saling
kritik). Sama halnya dengan hanya seorang dokterlah yang bisa mengkritisi diagnosa
dokter lain. Karena jika anda bukan dokter, kemudian mengkritik diagnosa yang dibuat
oleh seorang dokter, maka tidak akan ada orang yang percaya. Polanya sama dalam
hal filsafat, jika kita percaya akan kritikan imam al-Ghazali terhadap
filsafat, maka secara tidak sadar kita sedang mengakui bahwa al-Ghazali juga
seorang filosof. Wallaahu A’lam. []
Kartasura,
23 Maret 2018, 08.43 WIB
0 Response to "Filsafat Sesat(?)"
Post a Comment