Sejarah Terulang: Kejayaan Ilmu Pengetahuan Islam dan Barat
“Sejarah akan selalu terulang, dengan pemeran yang berbeda.”
Dari sini, kemudian mind-set saya tentang sejarah berubah
180 derajat. Ya, awalnya, sejarah menjadi satu entitas keilmuan yang sangat
tidak saya sukai, karena saya memandang sejarah hanya kumpulan cerita masa lalu
yang entah kenapa saya harus mempelajari yang sudah berlalu. Parahnya, di
lembaga-lembaga pendidikan yang saya tempuh, pelajaran sejarah selalu
mengharuskan kami menghafalkan tokoh-tokoh dan juga tanggal-tanggal penting
tanpa kami tahu untuk apa sebenarnya penghafalan itu kami lakukan? Tapi, itu
semua berubah ketika saya mulai menemukan bahwa laku dunia ini dari masa ke
masa memiliki pola-pola tertentu yang selalu berulang.
Satu contoh yang bisa saya berikan dalam tulisan ini. Bahwa adanya
pola yang sama antara masa Keemasan Islam (The Golden Age) dengan masa
Keemasan Ilmu Pengetahuan di Dunia Barat. Dua masa yang berbeda yang memiliki
pola yang sama. Berikut adalah skema perkembangan ilmu pengetahuan yang ada di
dunia Islam dan dunia Barat:
Skema tersebut saya ambilkan dari buku karya Mehdi Nakosten “Kontribusi
Islam atas Dunia Intelektual Barat” yang di dalamnya kita akan sangat tahu
bahwa perkembangan ilmu pengetahuan yang ada di dunia Barat saat ini memiliki
akar sejarah yang teramat erat dengan ilmu pengetahuan di dunia Islam pada masa
Dinasti Abbasiyah yang menjadi masa di mana Islam menjadi barometer
perkembangan ilmu pengetahuan dunia saat itu. Jika kita cermati skema di atas,
maka kita akan temukan pola yang sama antara pencapaian kejayaan ilmu
pengetahuan yang ada di dunia Islam dengan kejayaan ilmu pengetahuan di dunia
Barat.
Jika ada yang mengatakan bahwa abad keemasan Islam dicapai karena
menggunakan sistem Khilafah, yang kemudian ini dipahami oleh beberapa kelompok
untuk perlunya mendirikan Negara Khilafah jika ingin mengulang kembali kejayaan
Islam. Maka, nampaknya kita perlu renungkan kembali lagi, benarkah kejayaan itu
dicapai karena factor Khilafah? Nampaknya tidak, karena skema di atas
setidaknya mampu membantah dugaan itu.
Bahwa dinasti Abbasiyah adalah dinasti yang sangat menaruh
perhatian teramat tinggi pada dunia intelektual. Khalifah Al-Mansur, Harun
Al-Rasyid kemudian Al-Ma’mun adalah beberapa diantara khalifah yang sejarah
mencatatnya sebagai khalifah yang amat menaruh perhatian penuh dalam keilmuan. Yang
menarik kita cermati adalah, Dinasti Abbasiyah justru tidak menolak
keilmuan-keilmuan dari luar Islam. Lebih jauh lagi, dinasti Abbasiyah justru
amat terbuka menerima keilmuan-keilmuan yang ada di luar Islam. Maka, sejarah
mencatat ada gelombang penerjemahan buku-buku filsafat Yunani yang amat massif
di lingkungan kerajaan saat itu. Bahkan, dari salah satu perkuliahan yang saya
diikuti, dikatakan bahwa penerjemahan buku-buku filsafat ini dihargai sangat
tinggi. Jika ada yang mampu menerjemahkan satu buku, kemudian buku itu dibawa
ke kerajaan, maka si penerjemah ini akan mendapat imbalan emas seberat buku
yang telah ia terjemahkan.
Jadi, pola abad keemasan Islam ini setidaknya menurut skema di atas
adalah: 1. Mengambil literatur-literatur dari luar Islam, 2. Menerjemahkan literature-literatur
itu ke dalam bahasa Arab. 3. Terjemahan tersebut kemudian diajarkan di
universitas-universitas yang ada. Jadi, saya melihat abad keemasan itu tercapai
karena Islam amat terbuka terhadap peradaban-peradaban yang pernah berjaya sebelumnya.
Islam tidak membatasi diri pada literatur-literatur yang hanya ada dalam Islam
saja. Saat ilmu pengetahuan Islam berkembang pesat inilah, kemudian orang-orang
Barat datang ke pusat-pusat pendidikan yang ada di Andalusia (Spanyol) dan
Persia (Iran) untuk menuntut ilmu.
Sejarah terulang, pola yang sama. Saat dunia Islam ada di abad
keemasan, maka dunia Barat ada pada masa kegelapan. Jika saat ini kita ada di
siang hari, pasti ada bagian di dunia ini yang sedang ada di kondisi malam
hari. Sama halnya dalam sejarah keemasan ilmu pengetahuan. Islam ada di siang
hari yang penuh dengan cahaya, Barat ada di malam hari. Dan ternyata pola Barat
mencapai abad keemasan pun sama dengan pola Islam mencapai abad keemasan. Barat
mengambil peradaban Islam, kemudian menerjemahkan, dan kemudian dipelajari di
universitas-universitas yang ada di Barat. Akhirnya, di saat Barat mulai
bangkit, maka Islam mulai mengalami kemunduran. Di saat Barat mulai menyongsong
fajar, maka Islam mulai masuk masa senja. Dan benar saja, saat Barat mencapai
keemasaannya, maka Islam mulai terjerembab di masa kegelapan.
Sekali lagi, sejarah selalu terulang dengan pola yang sama. Maka,
ketika ada yang bertanya, apakah Islam bisa meraih kembali abad keemasan di
masa Abbasiyah? Jawabannya sangat bisa. Dengan cara apa? Mendirikan Khilafah
islamiyah? Ah, bukan. Kita ikuti polanya saja, dengan cara apa? Setidaknya, kita
harus membuka diri dan tidak membatasi diri dengan hanya mau menerima yang
berasal dari Islam saja. Agak disayangkan memang jika masih ada yang
berpikiran, “ah, inikan dari Barat, saya nggak berani baca. Ah, ini kan karya
orang atheis, saya nggak berani baca, nanti sesat.” Terbuka, adalah salah satu faktor
yang menjadikan Islam menjadi barometer ilmu pengetahuan dunia. Tidak percaya? Silahkan
pembaca buktikan sendiri.
Masih banyak bukti-bukti yang dapat meyakinkan kita semua bahwa
alur cerita dunia ini sebenarnya sangat monoton. Maka, benar saja, jika sejarah menjadikan
kita bijak lebih awal. Karena jika kita bisa temukan pola, maka kita akan bisa
menentukan mana yang akan kita pilih, kehidupan apa yang hendakkita jalani. Jika
kita memilih jalan A, maka konsekuensinya bisa kita prediksi sesuai dengan
fakta sejarah yang telah ada. Jika jalan B yang kita pilih, maka setidaknya
konsekuensi yang akan kita terima bisa kita cari referensinya melalui
kejadian-kejadian yang sudah ada.
“Sejarah selalu terulang, temukan polanya, dan kita tinggal ikuti
saja pola itu.”
Jepara,
12 januari 2018. 10.58 WIB
0 Response to "Sejarah Terulang: Kejayaan Ilmu Pengetahuan Islam dan Barat"
Post a Comment