Cinta Kebijaksanaan dalam Filsafat: Sebuah Pemaknaan (Part I)



“Cinta Kebijaksanaan” adalah arti filsafat dari segi bahasa. Pendekatan bahasa ini relatif sama dari satu referensi hingga beberapa referensi lainnya. Artinya, jika kita cari buku filsafat karya siapapun pasti arti filsafat dari segi bahasa artinya adalah cinta kebijaksaaan. Ini berbeda dengan pendekatan istilah, yang bisa jadi kita akan menemui pemaknaan yang mungkin berbeda, meskipun terkadang perbedaan itu cenderung pada sisi redaksinya saja, sementara dari aspek substansinya relatif sama.
Dari arti filsafat di atas, dapat kita temui dua suku kata yang pastinya masing-masing kata itu memiliki arti yang bisa berdiri sendiri-sendiri, yaitu kata Cinta dan Bijaksana. Cinta, kata ini – menurut saya – termasuk salah satu kata yang sulit untuk ditemukan arti yang baku. Ketidakadaan pemaknaan yang baku ini karena bagaimana pun juga, setiap orang bisa memiliki pemaknaan tentang cintanya sendiri. Seperti saya misalnya, memiliki pemaknaan cinta yang bisa jadi dan sangat mungkin akan berbeda dengan para pembaca. Cinta menurut saya adalah adanya perasaan bahagia ketika kita bersama dengan pihak yang kita cintai, dan ketika kita tak bersamanya, maka kita akan jatuh pada perasaan merindu. Namun sekali lagi, itu dari sudut pandang saya, yang bisa jadi itu sangat berbeda dengan anda.

Kemudian kata yang kedua dari makna filsafat dilihat dari perspektif bahasa adalah bijaksana. Ya, lagi-lagi saya katakan bahwa mungkin sekali dalam memaknai kata bijaksana ini kita pun tidak sama. Ada yang memaknai bijaksana ini sebagai suatu sikap yang melihat segala sesuatu tidak hanya dari satu perspektif saja, tapi bagaimana kemudian kita bisa memandang segala sesuatu itu dari berbagai macam perspektif. Jadi bukan tentang benar atau salah, baik atau buruk. Tapi bagaimana kemudian kita bisa gunakan berbagai sudut pandang yang bisa jadi kesemuanya itu mengantarkan kita pada pemahaman yang putih (baca: baik).
Kembali ke makna bijaksana, saya memiliki pemaknaan sendiri tentang bijaksana, bijaksana itu memandang segala sesuatu BUKAN dengan ukuran kacamata hitam-putih, kalau tidak hitam pasti putih, kalau tidak putih maka kita akan mengatakan itu pasti hitam. Jika kita buka QS. Ali-Imron ayat 191, maka akan kita dapati redaksi yang kurang lebih menyiratkan bahwa Allah tidaklah menciptakan segala sesuatunya yang ada di langit dan bumi sebagai sesuatu yang batil. Memang, saya bukan ahli bahasa Arab, tapi pun begitu, istilah batil dalam ayat tersebut saya maknai sebagai sesuatu yang buruk, yang sia-sa, tiada arti yang kemudian saya persepsikan sebagai sesuatu yang hitam. Inilah dasar yang saya gunakan untuk memaknai bijaksana bukanlah memandang segala sesuatu serba hitam atau putih, tapi segala sesuatu itu sebenarnya adalah putih. Sama halnya ketika ada yang bertanya apakah Tuhan itu menciptakan kejahatan? Jawaban yang saya yakini dari pertanyaan itu adalah bahwa kejahatan ada bukan karena Tuhan menciptakan kejahatan, tapi kejahatan itu ada ketika aspek hati yang (cenderung} mengajak baik tertutup dengan egoisme negatif yang ada dalam diri manusianya. Jadi, Tuhan bukan menciptakan kejahatan, tapi Dia memberi potensi pada manusia untuk jahat, di samping adanya potensi baik juga (QS. Asy-Syams: 8). Tentu ketika kita mengatakan Tuhan menciptakan kejahatan dengan ketika kita katakan Tuhan memberi potensi pada manusia untuk bersikap jahat memiliki makna yang sangat berbeda.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka saya akan keberatan jika ada yang mengatakan bahwa Tuhan sengaja membuat keburukan (batil). Konsekuensi dari ketidaksetujuan saya itu adalah pertanyaan, jika Tuhan tidak mencipta kejahatan lantas kenapa ada keburukan? Ya setidaknya jawaban yang bisa saya berikan adalah bahwa – bisa jadi – keburukan yang ada di sekitar kita adalah konsekuensi dari dua potensi bawaan yang dimiliki oleh manusia, yaitu potensi bertakwa dan bermaksiat. Karena andai saja manusia itu sama seperti malaikat atau setan yang hanya diberi potensi satu, mungkin tidak akan ada istilah kebaikan dan keburukan.
Maka dalam hal ini saya akan setuju jika ada yang mengatakan bahwa setan itu bukan jelek atau buruk, karena bagaimana pun juga ya memang begitulah potensi yang dianugerahkan kepada setan. Sama halnya malaikat, sebenarnya kita tak perlu takjub jika kita mendapatkan gambaran betapa malaikat teramat tunduk pada perintah Allah, ya karena bagaimana pun memang demikian potensi yang dianugerahkan Allah kepada malaikat, yaitu berbuat yang baik. Dari sini pun, kita akan menemukan benang merahnya yang amat berharga, yakni penjelasan kenapa kemudian dalam satu kesempatan manusia dikatakan sebagai sebaik-baik makhluk, sedangkan dalam kesempatan lain kita menemukan (dalam Al-Qur’an) informasi yang menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat hina. Jawabannya ada pada dua potensi yang dimiliki manusia itu, atau potensi “keberpilihan”. Jika potensi takwa yang mendominasi, maka ia akan mengalahkan kedudukan malaikat dari segi kemuliaannya. Sebaliknya, jika kemudian yang adalah kemaksiatannya, maka manusia itu akan turun derajatnya serendah-rendahnya.
Jadi, yang menjadikan manusia istimewa adalah karena ia diberi kebebasan untuk memilih, sementara setan atau malaikat tidak diberi kebebasan untuk memilih. Karena sampai kapan pun malaikat – setidaknya dalam pandangan manusia yang mengimani adanya malaikat – penilaian terhadap malaikat akan selalu diidentikkan dengan makhluk yang amat taat beribadah. Sementara setan pun demikian, mereka tidak punya pilihan untuk memilih, bahwa memang begitulah takdir mereka menjadi pihak antagonis dalam dunia manusia. Ibarat sebuah sistem komputer, malaikat sudah diinstal sebagai makhluk yang taat beribadah, sementara setan memang sengaja diinstal sebagai pihak yang diidentikkan dengan kejahatan yang kemudian diizini Allah untuk menggoda manusia. Dan kenapa harus dibuat pihak penggoda? Tidak ada jawaban lain selain karena “keberpilihan” manusia, atau dengan kata lain adanya setan itu adalah salah satu konsekuensi logis dari kebebasan manusia untuk memenangkan ketakwaan yang akan mengantarkan pada kemulian tertinggi (melebihi kemuliaan malaikat) atau memenangkan kemaksiatan yang pada akhirnya akan menjatuhkan harga diri manusia ke dalam derajat kehinaan yang paling hina (melebihi iblis).
Kesimpulan akhir? Entahlah, tidak ada kesimpulan final, karena sebuah kesimpulan final akan menjadikan kita malas untuk berusaha mencari lagi. Maka dalam hal ini, kesimpulan yang saya berikan adalah kesimpulan sementara. Bahwa ada kemungkinan kita untuk bisa memandang segala sesuatu itu serba putih (baik), karena memang Allah tidak pernah menciptakan sesuatu yang buruk. Meskipun perlu juga digarisbawahi bahwa mengatakan menganggap semua baik bukan berarti meridhoi keburukan dengan menganggapnya baik, tapi bagaimana kita memandang dari sudut pandang positif sehingga yang nampak buruk itu pun akan kita temukan kebaikan di dalamnya. Apakah itu mungkin? Sangat mungkin. Dan karena tulisan ini diawali dengan pembahasan filsafat, maka saya katakan pula bahwa sudah seharusnya seseorang yang berfilsafat akan merasakan kecintaannya pada kebijaksanaan, yang salah satu wujud kecintaannya adalah ia akan senantiasa bahagia  suasana kebijaksanaan, yang jika suasana itu tak ia dapati, ia akan merasakan rindu yang teramat dalam untuk dapat masuk dalam bingkai kebijaksanaan.[]
Kartasura, 09 Oktober 2017, 20.52 WIB

0 Response to "Cinta Kebijaksanaan dalam Filsafat: Sebuah Pemaknaan (Part I)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel