Tentang Ditinggalkan dan Dilupakan
Jika kita buka beberapa referensi Filsafat Ilmu, maka bisa kita
temukan pemahaman bahwa salah satu sifat ilmu pengetahuan itu adalah dinamis, dalam
artian senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Kedinamisan ilmu
ini tentu tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan serta pemahaman manusia yang
juga sangat dinamis, baik dalam segi obyek itu sendiri atau kedinamisan sudut
pandang yang digunakan manusia dalam memahami obyek yang dihadapi.
Beberapa waktu yang lalu misalnya, saya memiliki pemahaman jika salah satu hal
yang paling menyakitkan di dunia ini adalah ditinggalkan. Namun, seiring
berjalannya waktu, saya menyadari bahwa yang amat menyakitkan bukanlah
ditinggalkan, melainkan dilupakan. Karena bagaimana pun juga meningalkan atau
ditinggalkan sudah menjadi kodrat yang tidak ada satu pun manusia yang bisa terlepas
dari itu. Akan tetapi, tidak dengan diingat atau dilupakan yang itu menjadi
pilihan kita.
Entah sekarang, besok, lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan
dan seterusnya, kita akan ditinggalkan atau bahkan meninggalkan orang-orang
yang sangat kita cintai, hanya menunggu saatnya tiba. Tapi, tentu menjadi
pilihan kita untuk ke depannya selalu mengingat orang yang kita cintai atau
juga berusaha untuk tetap diingat oleh orang yang kita cintai atau lebih
luasnya lagi kita akan tetap diingat oleh orang banyak saat raga kita ini telah
meninggalkan semua yang ada di dunia ini.
Coba kita renungkan bersama nama-nama besar seperti Imam Syafi’i,
Imam Hambali, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Ghazali, Ibnu Arabi, atau mungkin
tokoh-tokoh ulama nusantara seperti para Walisongo. Bukankah beliau-beliau
secara jasadi sudah amat lama meninggalkan dunia ini? Tapi, apakah lantas
beliau-beliau ini dilupakan? Bagaimana bisa kita mengatakan mereka terlupakan,
jika di bangku-bangku pendidikan, di majlis-majlis pengajian, di seminar-seminar,
dan diberbagai tempat nama-nama beliau masih tetap disebut, karya-karya beliau
masih diperbincangkan, ilmu-ilmu beliau masih sangat masif dikaji, makam-makam
beliau masih selalu diziarahi ribuan orang tiap harinya, panjatan doa
senantiasa mengalir untuk beliau-beliau?
Ada pengalaman unik dan menakjubkan beberapa hari yang lalu ketika
saya dan seorang teman berziarah ke makam Sunan Muria, di mana ketika kami
sampai di depan makam, pintu gerbangnya tertutup dan menurut penjaganya bahwa
saat itu tempat para peziarah sudah penuh, sehingga harus ditutup terlebih
dahulu menunggu para peziarah yang ada di dalam selesai, sehingga mau tidak mau
kami harus menunggu. Kemudian saya nyeletuk ke teman saya “lha ya mas,
besok kalau kita meninggal yang ziarah ke makam kita berapa orang mas? Yang ingat
bahwa ada orang seperti kita ini berapa orang? Yang senantiasa mendoakan kita
berapa mas? Atau jangan-jangan begitu kita meninggalkan, kita terlupakan begitu
saja? makam kita terbiarkan begitu saja?
Ya, karena itulah saya menganggap bahwa yang amat menyedihkan bukanlah
ditinggalkan, melainkan dilupakan. Dilupakan bahwa kita pernah ada, dilupakan
bahwa kita pernah berusaha, dilupakan bahwa kita pernah menjadi bagian di muka
bumi ini. Dari sini kemudian saya mengerti bahwa segala macam perintah kebaikan
yang diamanatkan oleh semua agama adalah sebagai sarana agar kita senantiasa
diingat, karena jika kita perhatikan dengan seksama orang-orang yang namanya
selalu diingat adalah orang-orang yang senantiasa berbuat kebajikan yang
membawa manfaat untuk orang banyak. Ya, meskipun ada pula orang-orang yang juga
selalu diingat dalam keburukan, tapi tentu bukan itu yang menjadi acuan dalam
tulisan ini.
Maka, akhirnya saya berkesimpulan bahwa “baik atau tidaknya kita,
bermanfaat atau tidanya kita tidak diukur saat kita masih hidup, tapi itu akan
nampak ketika kita telah meninggalkan dunia ini dan lihatlah berapa banyak
orang yang akan selalu mengingat kita dalam kebaikan, berapa banyak orang senantiasa
menyebut-nyebut nama kita dan senantiasa mendoakan kita.” []
Jepara,
5 Agustus 2017, 09.40 WIB
0 Response to "Tentang Ditinggalkan dan Dilupakan"
Post a Comment