Memaknai Ketidakterdugaan: Part II


Sebelumnya, saya telah menulis tentang pemaknaan terhadap ketidakterdugaan yang menjadikan hidup ini lebih menarik. Karena bagaimana pun jika hidup ini serba bisa diduga, maka tentunya akan sangat membosankan (silahkan baca: Memaknai Ketidakterdugaan Part I). Dalam tulisan ini pun, kembali saya mengangkat tema memaknai ketidakterdugaan, tapi dalam frame yang berbeda. Katakanlah kita telah sampai pada kesimpulan bahwa hidup ini akan sangat lebih menarik jika dibumbui dengan ketidakterdugaan-ketidakterdugaan.

Dari kesimpulan sementara itu kita coba ajukan pertanyaan baru, lantas bagaimanakah orang yang menarik itu? Jika pembaca kemudian memberikan jawaban bahwa orang yang menarik itu adalah orang yang tidak terduga, maka saya katakan setidaknya jawaban itu pula yang terlintas dalam benak saya. Ya, orang yang menarik itu adalah orang yang tidak terduga. Semakin tidak terduga, maka akan semakin menarik orang tersebut.
Dalam hal ini kemudian saya kurang setuju dengan adagium “kesan pertama akan sangat menentukan kesan selanjutnya”. Kenapa? Karena jika dari kesan pertama kita sudah menentukan baik atau tidaknya seseorang, cerdas atau tidaknya seseorang, rajin atau malasanya seseorang, bersih atau joroknya seseorang dari kesan pertama kita melihat, ya sama saja kita menghilangkan unsur ketidakterdugaan yang akan menjadi sebuah daya tarik tersendiri. Berbeda jika kita menampatkan kesan pertama itu sebagai titik tolak kita menunggu kejutan-kejutan apa yang akan diberikan oleh seseorang yang sedang kita hadapi itu.
Misal, kita bertemu dengan seseorang untuk pertama kali, katakanlah namanya Budi. Kesan pertama kita adalah Budi ini orang yang pendiam, terlihat polos, kemudian pemalu dan kurang dapat bergaul. Nah, jika kita kemudian menggunakan prinsip kesan pertama akan sangat menentukan, maka bisa jadi kita akan enggan bergaul dengan Budi, apalagi jika ternyata karakter kita bertolak belakang dari karakter yang dimiliki Budi. Tapi, jika yang kita pakai adalah prinsip setiap manusia memiliki sisi ketidakterdugaan yang bisa menjadi daya tarik masing-masing, maka kita perhatikan saja, bisa jadi Budi akan menunjukkan sisi-sisi yang mungkin akan membuat kita takjub.
Bukankah kita pernah mengalami hal tersebut? Yang entah itu kemudian kita bergumam dalam hati atau kita ungkapkan ke orang lain “Ow, ternyata dia itu tidak seperti yang saya kira, ternyata di balik sifat diamnya itu dia pandai menulis puisi”, dst. Ya, perkataan “ow ternyata dia itu....” adalah salah satu ekspresi bahwa apa yang kita duga ternyata salah, dan – sekali lagi – inilah yang menjadikan orang tersebut menarik untuk kita perhatikan lagi dan lagi.
Permisalan kemudian, bukankah ada banyak sekali kasus percintaan yang diawali justru bukan dengan saling mengagumi satu sama lain, melainkan saling membenci satu sama lain? (saya tidak sedang berbicara tentang sinetron, tapi ini memang benar-benar ada). Awalnya saling membenci, tapi kemudian keduanya menemukan sisi-sisi ketidakterdugaan yang dimiliki satu sama lain yang ternyata menjadikan keduanya yang saling benci di awal justru saling cinta. Atau setidaknya yang awalnya biasa-biasa saja, kemudian salah satunya menunjukkan ketidakterdugaan pada akhirnya yang awalnya biasa-biasa saja menjadi sangat mengagumi dan mencintai, dalam hal ini saya memberikan rujukan film Bollywod yang berjudul “Rabne Bana De Jodi yang dibintangi oleh Shakhrukh Khan dan Anushka Sharma yang syarat sekali unsur ketidakterdugaannya. Dan karena alur ceritanya yang tidak terduga itulah yang menurut saya menjadikan film ini menarik untuk disaksikan meskipun berulang-ulang.
Memang, yang saya sampaikan di atas lebih condong ke menarik yang bersifat positif. Ketidakterdugaan yang mengantarkan penilaian awal kita yang negatif ke arah yang positif. Ketidakterdugaan yang menjadikan kita tidak begitu tertarik pada seseorang di awal menjadi sangat tertarik. Padahal ada juga ketidaterdugaan yang cenderung negatif, awalnya kita menilai seseorang yang setia dan penuh kasih, ternyata belakangan kita tahu bahwa orang tersebut tidak setia dan suka main kasar.
Jika demikian, maka bukan ketertarikan yang muncul, tapi kekecewaan. Pun begitu, jangan kemudian benar-benar menjadikan kekecewaan itu menjadi penilaian akhir kita, bukankah ketidakterdugaan itu selalu mengintai kita dan akan sangat bisa memberikan kita kejutan? Kecewa itu wajar, tapi jika kemudian kekecewaan itu menjadikan kita menutup diri dari ketidakterdugaan yang akan Allah berikan pada kita, maka lagi-lagi kita akan jatuh pada kehidupan yang membosankan. Andai kan, dia yang kita duga terbaik untuk kita ternyata faktanya berbicara lain, ya sudah. Tak perlu berlarut-larut dalam penyesalan, yang perlu kita lakukan adalah menjadi pribadi yang menarik, setidaknya di depan orang yang membuat kita kecewa. Bagaiamana caranya? Ya, jadilah orang yang terduga. Buatlah dia yang awalnya menduga bahwa dirinya adalah segalanya bagi kita menjadi takjub dengan cara menunjukkan pada dia bahwa dia bukanlah segalanya. Kita tetap bisa dan lebih mampu menjadi pribadi yang lebih indah dibanding saat masih bersama dia.
Ya, akhirnya kita harus kembali akui bahwa ketidakterdugaan itulah yang menjadikan hidup ini lebih menarik. Bahkan orang yang menarik adalah seseorang yang tidak terduga, tapi tentunya ketidakterdugaan ini yang lebih ke positif. Maka dalam hal ini, saya lebih cenderung pada biarkan orang lain menduga kita dengan dugaan negatif, karena dengan demikian, kesempatan kita menjadi pribadi yang tak terduga adalah pada hal yang positif. Bukan sebagai pribadi yang diduga positif, tapi ternyata negatif. Ya, semoga saja. []
Jepara, 08 Agustus 2017, 08.02 WIB

0 Response to "Memaknai Ketidakterdugaan: Part II"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel