Rasionalisasi Isra' Mi'raj
Beberapa hari lagi, umat Islam di seluruh dunia akan dihadapkan
pada peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Ya, peristiwa yang dialami oleh
Rasulullah pada tahun 621 M ini bisa dikatakan menjadi awal mula
disyariatkannya sholat lima waktu bagi umat Islam. meskipun demikian, dalam tulisan
ini saya tidak akan berbicara secara spesifik terkait dengan peristiwa Isra’
Mi’raj tersebut, melainkan tentang respon dari masyarakat yang ada di sekitar
Nabi.
Dalam buku Sejarah Hidup Muhammad yang ditulis oleh Muhammad Husain
Haekal[1]
dalam sub-bab “Peristiwa Isra dan Mikraj” disebutkan adanya percakapan Nabi
dengan sepupunya, Hindun bint Abu Thalib. Nabi bercerita kepada Hindun: “Hai
Ummu Hani, setelah aku mendirikan shalat akhir malam bersama kalian di lembah
ini seperti yang engkau lihat, lalu aku pergi ke Baitul Maqdis (Yerussalem) dan
mendirikan shalat di tempat itu. Dan sekarang, aku mendirikan shalat fajar
bersamamu seperti engkau lihat.” Mendengar itu, kemudian Hindun berkata kepada
Nabi: “Wahai Nabi Allah, janganlah menceritakan ini kepada orang-orang, karena
mereka pasti akan mendustakanmu dan menyakitimu!” Tapi dengan tanpa ragu, Nabi
pun menjawabnya: “Demi Allah, aku akan menceritaknnya kepada mereka.”
Respon yang ditunjukkan oleh Hindun itu tentu sangat beralasan,
karena sangatlah tidak mungkin (dalam ukuran saat itu) ada seseorang yang dapat
melakukan perjalan yang biasanya membutuhkan waktu berminggu-minggu tapi bisa
ditempuh hanya satu malam dan itu tidak hanya pergi, tapi pulang-pergi. Dan
memang kekhawatiran Hindun ini terbukti benar, bahwa setelah Nabi menceritakan
peristiwa Isra’ Mi’rajnya, banyak sekali kaum Quraisy yang kemudian mendustakan
Nabi, menganggap Nabi sudah gila, bahkan ada pula orang-orang Islam yang
kemudian memilih kkeluar dari agama yang telah dipeluk dengan alasan bahwa
mereka tidak seharusnya mengikuti seorang yang gila.
Sampai sini saya kemudian mencoba membayangkan dan bertanya pada
diri saya sendiri, apakah jika saja saya hidup di zaman peristiwa Isra’ Mi’raj
ini terjadi (dan katakanlah saya telah iman) saya akan berada di kelompok yang
mengimaninya atau justru kemudian berada di kelompok yang “menggilakan Nabi”?
Jika ukuran yang saya pakai adalah logika, maka sudah dipastikan saya akan
masuk ke kelompok yang kedua. Dari sini pula kemudian saya sadar betul betapa
kuatnya keimanan para sahabat Nabi, karena beliau-beliau dapat memposisikan
aspek keimanan mereka di atas aspek rasional yang mereka miliki. Karena
bagaimana pun, Isra’ Mi’raj menjadi sesuatu yang sangat tidak rasional untuk
kurun waktu di mana Islam masih berusia sangat belia, di mana ilmu pengetahuan
dan teknologi (utamanya teknologi transportasi) belum semaju sekarang ini.
Kenapa saya katakan tidak rasional untuk kurun waktu saat itu? Ya,
karena seiring berjalannya waktu dan khususnya di era kemajuan teknologi
seperti sekarang ini, peristiwa Isra’ Mi’raj bukan menjadi hal yang tidak
mungkin atau tidak masuk akal lagi, karena di era saat ini memang jarak sejauh
apapun bisa ditempuh dengan waktu yang singkat.
Terlepas dari itu, saya teringat sebuah pertanyaan dari salah seorang
rekan yang masih belum sepenuhnya bisa menerima peristiwa Isra’ Mi’raj,
bagaimana bisa?
Meskipun dia sudah punya jawaban bahwa tidak ada yang tidak bisa
bagi Allah SWT., tapi dia masih ingin mendapat jawaban yang lebih dari itu.
Akhirnya saya teringat salah satu analogi yang disampaikan oleh salah satu guru
saya. Kurang lebih analogimya demikian:
Di salah satu sudut rumah (di daerah Jakarta), di bawah meja makan,
ada dua ekor semut yang terlibat percakapan, katakanlah semut A dan B. Semut A
bercerita kepada semut B bahwa dia berasal dari Semarang. Kemudian semut B
bertanya; “Oh ya? Lantas berapa waktu yang kamu habiskan untuk menempuh
perjalanan dari Semarang sampai ke Jakarta?”. Semut A pun menjawab: “Hanya satu
malam kog, sore pagi kemarin saya masih di Semarang.” Mendengar jawaban itu
kemudian semut B menjawab: “Dasar semut gila”.
Ya, dari sudut pandang dunia persemutan, tentu apa yang diceritakan
semut A di atas adalah hal yang gila. Bagaimana mungkin seekor semut dapat
pindah dari Semarang ke Jakarta dalam satu malam? Tapi, tentu ini akan sangat
mungkin jika didekati dari dunia yang berbeda, bukan dunia persemutan. Karena
ternyata memang demikianlah, sore kemarin semut A masih di Semarang, tapi pada
paginya dia sudah ada di Jakarta. Karena ternyata, sore itu si semut A tidak
sengaja masuk ke dalam kotak kue dan terjebak di dalamnya. Kemudian kotak kue
tersebut dibawa oleh seseorang ke Jakarta dengan menggunakan bis malam.
Sesampai di Jakarta, si pemilik kue tadi kemudian membuka kotak kue dan singkat
cerita semut tadi berhasil keluar dari kotak kue dan bertemu dengan semut B.
Jika alurnya demikian, sangat masuk akal bukan? Nah, lantas apa
hubungannya dengan Isra’ Mi’raj? Hubungannya ada kedua perjalanan baik itu
Isra’ Mi’raj atau perjalanan semalam
semut A akan menjadi hal yang mustahil jika pendekatan “dunia” yang kita pakai
sama. Semut B tidak akan bisa menerima pernyataan semut A jika semut B hanya
menggunakan pendekatan dunia persemutan. Sama halnya dengan Isra’ Mi’raj, kita
sebagai manusia (apalagi manusia yang hidup saat peristiwa itu terjadi) akan
mudah menolak pernyataan Nabi tentang Isra’ Mi’raj jika hanya menggunakan ukuran
dunia “manusia” saja dan tidak menganggap adanya dunia lain di luar dunia
manusia.
Tapi, akan berbeda jika kemudian semut B menemukan penjelasannya,
bahwa ternyata di luar dunia semut ada dunia manusia yang memiliki alat
transportasi yang canggih, yang bisa membawa dirinya dari satu tempat ke tempat
yang lain dengan waktu tempuh yang sangat singkat. Sama halnya dengan manusia
ketika mencoba memaknai Isra’ Mi’raj. Kita tidak tahu, ada berapa dunia yang
Allah ciptakan, dan ada berapa makhluk yang kemudian Allah ciptakan dalam dunia
yang banyak itu, lebih jauh lagi, ada apa saja dalam dunia-dunia yang tidak
semuanya kita ketahui itu menyimpan banyak hal yang menurut dunia manusia tidak
masuk akal?
Ada riwayat yang menceritakan bahwa Nabi melakukan Isra’ Mi’raj
menggunakan Buroq sebagai kendarannya. Lantas, bukankah kita bisa memaknai
bahwa Buroq inilah bis malam yang membawa semut A dari Semarang ke Jakarta
dalam satu malam?
Kesimpulannya? Tidak ada kesimpulan dalam tulisan saya ini, karena
saya tidak bisa memaksakan apa yang menjadi kesimpulan dari saya untuk anda
jadikan pula kesimpulan anda. Tapi yang pasti kita sudah selayaknya selalu
ingat bahwa kita sebagai manusia, manusia yang masih hidup di dunia ini adalah
makhluk yang terbatas. Ada banyak misteri yang tidak bisa kita jangkau, dan
barangkali ada banyak dunia yang tidak bisa kita pahami. Di balik dunia yang
kita pijak ini, pasti ada dunia lain, ya setidaknya dunia semut yang juga
menyadari bahwa ada dunia lain selain dunia semut dan seterusnya. Wallaahu A'lamu bish-Shawaab.
Baca Juga:
Kartini dan Isra' Mi'raj
Refleksi Sejarah Hidup Nabi Muhammad: Nabi dan Atheis
Refleksi Kisah Hidup Nabi Muhammad Berdasarkan Sumber Klasik
Baca Juga:
Kartini dan Isra' Mi'raj
Refleksi Sejarah Hidup Nabi Muhammad: Nabi dan Atheis
Refleksi Kisah Hidup Nabi Muhammad Berdasarkan Sumber Klasik
Surakarta,
9 April 2017, 16.34 WIB
[1] Muhammad
Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Miftah A. Malik, (Tanpa
Kota: Pustaka Akhlak, 2015), hlm. 268
0 Response to "Rasionalisasi Isra' Mi'raj"
Post a Comment