Al-Qur'an Dalam Perspektif Ekonomi
Salah satu prinsip ekonomi yang ada dan umum diketahui banyak orang
adalah “modal sekecil-kecilnya, untung sebesar-besarnya”. Terlepas dari adanya
penilaian yang menyatakan bahwa prinsip tersebut sesat/keliru, pada
kenyataannya prinsip tersebut masih saja diajarkan di berbagai lembaga
pendidikan utamanya yang concern dalam ekonomi.
Suatu waktu, ketika sedang memikirkan prinsip ekonomi tersebut,
penulis teringat akan salah satu hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah
bin Mas’ud, di mana Nabi Muhammad saw. bersabda: “Siapa yang membaca
satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut,
satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak
mengatakan الم satu huruf akan
tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi
dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6469)
Dari hadist tersebut maka tidaklah aneh jika kemudian penulis katakan bahwa
Al-Qur’an dilihat dari perspektif ekonomi menjadi salah satu –jika boleh
menyebutnya sebagai– komoditi yang
sangat menjanjikan keuntungan yang sangat besar. Bagaimana tidak? Modalnya saja
sangat minim sekali, yakni hanya menyisihkan waktu sedikit untuk membaca al-Qur’an,
maka keuntungan yang akan didapat berkali-kali lipat. Bahwa satu huruf yang
dibaca saja dihargai pahala 10 kali kebaikan.
Lantas yang patut kita pertanyakan adalah berapa kali kebaikankah yang bisa
kita upayakan setiap harinya? Sepuluh kali? Seratus kali? Seribu kali? Atau
justru kita tak pernah yakin jika sehari saja mampu berbuat baik? Tapi
bandingkan jika kita mau untuk rutin membaca al-Qur’an setiap harinya, maka
berdasarkan hadist di atas kita bisa untuk mendapatkan pahala melakukan
kebaikan berpuluh-puluh kali, beribu kali atau bahkan entah berapa kali.
Penulis bukan bermaksud mematimatikakan bentuk pahala yang Allah janjikan,
apalagi kemudian bermaksud mengintervensi Allah dengan merasa bahwa jika
seseorang membaca Al-Qur’an sekian huruf maka seseorang itu berhak atas pahala
sekian, bukan. Tapi karena tema tulisan ini adalah melihat al-Qur’an dari
perspektif ekonomi maka mau tidak mau bersinggungan juga dengan perhitungan. Kita
ambil contoh, andai saja kita rutin membaca al-Qur’an, katakanlah rutin membaca
surat al-Fatihah setiap hari, dimana pembacaan Fatihah ini tak sampai memakan
waktu satu menit, padahal jika kita hitung huruf yang terkandung dalam surat
al-Fatihah sekurang-kurangnya ada 80 huruf, maka tinggal kita kalikan saja 10 x
80 = 800. Jadi, kita sama saja melakukan kebaikan 800 kali hanya dengan membaca
surat al-Fatihah saja.
Itulah mengapa penulis katakan di awal bahwa Al-Qur’an adalah “komoditi”
yang sangat menjanjikan, membaca Al-Qur’an adalah “usaha berekonomi” yang
sangat menguntungkan baik untuk kehidupan dunia dan akhirat. Kenapa menguntungkan
dunia juga? Ya, karena silahkan pembaca cari keutamaan-keutamaan al-Qur’an atau
bagi pembaca dan pengamal al-Qur’an, maka tentu akan pembaca temukan bahwa
al-Qur’an tidak hanya menguntungkan untuk kehidupan akhirat kita kelak, tapi
juga untuk kehidupan di dunia ini.
Akan tetapi, gambaran akan keuntungan yang sangat menjanjikan ini oleh
sebagian orang, termasuk penulis sendiri, justru terlewatkan begitu saja. Dari
24 jam yang Allah berikan setiap harinya
kepada kita, terkadang tak sempat semenit pun kita sisihkan untuk meraih
keuntungan yang bisa kita dapatkan andai saja mau berakraban dengan al-Qur’an
setiap harinya.
Dalam kesempatan lain penulis pun berpikir bahwa mungkinkah dalam kondisi
ini berlaku penilaian yang mengatakan prinsip “modal sedikit mungkin untuk
keuntungan yang sangat besar” adalah sesat berlaku pula dalam hal membaca
al-Qur’an? Ya, karena jika kita perhatikan alasan dari pihak yang menganggap
sesat prinsip tersebut adalah bahwa prinsip itu tidak masuk akal dan cenderung
akan mendatangkan ketimpangan. Atau bagi kita yang awam, jika dijanjikan ada
usaha dengan modal minimal tapi untung besar bukan serta merta merta mengiyakan
tapi malah curiga? Ya, sebut saja ada orang yang mengaku pengusaha menawari
kerjasama usaha pada kita dengan modal sangat minim tapi untung besar. Maka,
sadar atau tidak akan ada perasaan ragu dan curiga, “ah apa iya begitu? apa iya
modal kecil dapat untung besar?” atau bahkan jika keuntungan yang dijanjikan
itu sangat besar dan melampaui batas kewajaran justru kita akan serta merta
mengklaim “ah ini penipuan”?
Jangan-jangan pertanyaan-pertanyaan keraguan tentang iming-iming keuntungan
yang sangat besar dengan modal sangat minim ini tanpa sadar kita gunakan juga
dalam menyikapi keutamaan membaca al-Qur’an? Atau lebih dari itu, tanpa sadar
kita justru meremehkan bahwa tidak mungkinlah dengan membaca al-Qur’an akan
dapat banyak keuntungan seperti itu. Ya kalau tidak demikian, maka bagaimana
bisa kita dengan sadar justru melewatkan keuntungan yang begitu menjanjikan? Lantas,
pertanyaan yang patut kita ajukan lagi adalah kita sebut diri kita ini apa jika
kita sudah tahu betul akan keuntungan yang bisa kita peroleh dari suatu usaha,
yang bahkan keuntungannya akan menjadikan kita sulit untuk mengukurnya, tapi
justru kita sia-siakan peluang usaha itu? Normalkah kita?
Sukoharjo, 13 Maret 2017, 06. 15
Baca juga : Kemukjizatan Bacaan Al-Qur'an, Al-Qur'an Memuliakan Pembacanya, Biarkan Al-Qur'an Berbicara Tentang Dirinya Sendiri
0 Response to "Al-Qur'an Dalam Perspektif Ekonomi"
Post a Comment