Pluralisme Gus Dur: Wawancara dengan Alissa Wahid
Berikut adalah transkip wawancara penulis dengan putri sulung Gus
Dur, Alissa Wahid. Wawancara ini penulis laksanakan pada hari Kamis / 27 Juni
2013 dan bertempat di SD NU, jln. Ringroad barat, Nogotirto, Gamping, Sleman,
Yogyakarta. Wawancara ini sebagai salah satu metode pengumpulan data dalam
penelitian yang penulis laksanakan dalam rangka penulisan skripsi, yang saat
itu mengambil tema “Konsep Pendidikan Pluralisme Abdurrahman Wahid.”
Semoga transkip ini sedikit banyak bisa memberikan tambahan wawasan
tentang sosok yang dikenal kontroversi ini. Kontroversi jika kita melihat sosok
Gus Dur dari “kejauhan”, namun jika mau mendekat dan mencoba memahami
pemikiran-pemikiran beliau, maka kita akan semakin sadar betapa agung dan
luhurnya pribadi satu ini yang – meskipun sedikit berlebihan – entah kapan
Indonesia ini bisa memiliki Bapak Bangsa seperti KH. Abdurrahman Wahid.
Pewawancara
|
:
|
Bagaimanakah
pandangan pluralisme Gus Dur sebelum reformasi dan sesudah reformasi, apakah
mengalami perbedaan?
|
Narasumber
|
:
|
Kalau melihat
Gus Dur itu harus melihat strateginya. Strateginya bisa berbeda-beda sesuai
dengan kebutuhan masing-masing, dan semuanya kontekstual. Artinya, segala
sesuatu dilakukan sesuai dengan konteksnya. Tetapi yang menetap itu adalah
prinsip. Jadi, dalam konteks apapun, prinsipnya tetap sama. Jadi prinsipnya
selalu sama, dan apa yang dilakukan Gus Dur itu berpegang pada prinsip. Nah,
prinsipnya itu apa sih? Prinsip pertama Gus Dur yang sangat jelas itu kan
misi Islam rahmatan lil ‘alamin. Jadi, prinsipnya itu, ketauhidan. Nah
dari situ, karena prinsipil, yaitu rahmat untuk alam semesta. Maka segala sesuatu
harus lari ke situ. Untuk bisa mewujudkan Islam sebagai rahmat untuk semesta,
untuk manusia, berarti prinsip
kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi. Segala sesuatu yang berlawanan
dengan prinsip kemanusiaan pasti ditentang oleh Gus Dur. Nah, untuk bisa
mendapatkan kemanusiaan yang – kalau dalam NU – mabadi’u khoiro ummah itukan
diperlukan prinsip turunan yang sifatnya operasional. Kalau Gus Dur itu apa
sih (prinsip turunannya)? Dulu, Gus
Dur itu pernah mengatakan “rukun sosial”. Orang Islam kan punya rukun iman
dan Islam, maka dalam kehidupan sosial, Gus Dur punya itu rukun sosial. Dan
rukun sosial itu adalah keadilan, kesetaraan dan persaudaraan. Makanya, kalau
kita membicarakan Gus Dur dalam konteks pluralisme, pasti itu yang keluar.
Nah, untuk melengkapi itu, untuk menjunjung tinggi kemanusiaan, terdapat
prinsip kemanusiaan yang paling tinggi yaitu prinsip “anti penindasan”,
biasanya orang-orang menyebutnya sebagai “teori pembebasan”.
|
Pewawancara
|
:
|
Jadi, yang
berbeda dalam pandangan Gus Dur dalam pluralisme hanya pada strategi
implementasinya saja?
|
Narasumber
|
:
|
Iya, hanya
pada strateginya saja. Strategi selalu terkait dengan konteks. Keadaannya bagaimana
dan stateginya harus bagaimana. Pada masa sebelum reformasi itu kan rakyat vis
a vis negara, bagaimana negara menjadi kekuatan penindas. Nah, nabrakkan
dengan teori pembebasan. Sehingga yang kemudiaan dilakukan adalah itu. Pada
saat negara tidak lagi menjadi kekuatan yang sangat opresif, kemudian
terjadilah egaliteranisme, maka yang harus di hadapi adalah antar kelompok
ini. Maka, strateginya Gus Dur juga berbeda. Jadi selalu begitu, kalau
referensi yang paling enak itu “principle center-nya Steven Kofi.
Disitu ia menjelaskan dengan sangat baik kenapa ada orang-orang yang tidak prinsciple
center, seperti SBY misalnya, dia tidak berporos prinsip. Dia porosnya
kekuasaan. Kalau porosnya kekuasaan, politik menjadi alat kekuasaan, negara
alat untuk mendapatkan kekuasaan, bahkan keluarga itu akan dikelola untuk
mempertahankan kekuasaan. Dan prinsipnya, bisa berubah-ubah tergantung
konteks. Itulah orang yang poros kehidupannya bukan pada prinsip. Jadi, saat
menghadapi situasi A dia menggunakan prinsip keadilan, menghadapi situasi B
dia memakai prinsip yang lain. Keadilan tidak penting. Kenapa? Karena kalau
di sini (dipakai prinsip keadilan) maka kepentingan saya akan bertabrakan,
kalau pakai prinsip keadilan, saya pasti kalah. Contoh paling gampang begini,
waktu Munas Alim Ulama kemarin di Cirebon, ada kiai yang bilang “ini gimana?
ada masjid di Kupang, yang katanya (ini juga masih katanya karena saya cari
datanya sampai sekarang masjidnya yang mana tidak ketemu) masjidnya dilarang
berdiri, padahal sudah punya semua persyaratan, tapi masyarakat sekitar
menolak, dan masyarakat sekitarnya adalah kristen. Kiai ini waktu forum alim
ulama itu bilang “Munas Alim ulama harus mengeluarkan pernyataan menolak
kesewenang-wenangan seperti ini.” Terus ada wakil yang dari Jogja bilang
seperti ini “ok, kalau kita mau melakukan itu, dengan konsekuensi berarti
kita juga kalau memang prinsipnya menolak kesewenang-wenangan, maka
gereja-gereja juga tidak boleh dibegitukan, sudah siap belum NU dengan sikap
seperti ini?” Akhirnya gak berani! Itu berarti, tidak berlandaskan prinsip,
karena prinsipnya di sini dipakai, dalam konteks lainnya tidak dipakai. Kalau
Gus Dur tidak, Gus Dur itu justru prinsipnya duluan. Makanya strateginya bisa
berbeda-beda. Misalnya contoh paling gampang, Gus Dur itukan orangnya paling
demokratis ya? Tapi kenapa pada saat Mukatamar NU di Tasikmalaya, Gus Dur kok
akhirnya memutuskan untuk menjadi ketua PBNU lagi yang ketiga. Itukan melawan
prinsip demokrasinya beliau. Kalau orang melihat bahwa demokrasi itu adalah
prinsip bagi Gus Dur itu salah. Demokrasi itu kan alat, itu strategi. Tapi
prinsipnya apa? Prinsipnya itu “anti penindasan”nya itu. Dan pada saat itu,
NU mau di tindas, karena pak Harto menyiapkan orang lain. Kenapa? Karena NU
tidak bisa dikendalikan ketika dipegang Gus Dur. Makanya, dari awal Gus Dur
sudah memutuskan untuk tidak akan maju dan mengajukan orang lain. Lha, orang
yang digadang-gadang Gus Dur ini tidak cukup kuat melawan orang yang di backing
oleh Orde Baru. Dengan intervensi dari negara untuk mengkooptasi NU, Gus
Dur akhirnya balik ke prinsipnya tadi “keadilan, anti penindasan demi
manusia”. Ya sudah, akhirnya strateginya adalah Gus Dur maju lagi. Kalaupun
orang akhirnya mengatakan “lho bagaimana, katanya demokratis, kok mau maju
tiga kali?”. Kalau orang tidak ngerti konteksnya seperti itu.
|
Pewawancara
|
:
|
Kalau dalam
konteks pendidikan pluralisme sendiri, apakah beliau pernah mengatakan atau
setidaknya pernah mengangkat tema pendidikan pluralisme?
|
Narasumber
|
:
|
Beliau
sebenarnya tidak pernah menyebutkan implisit pluralisme gitu kan tidak. Sama
seperti beliau tidak pernah menyebutkan implisit “kita harus berjuang untuk
keadilan jender” itu tidak pernah. Kenapa? Iya karena selalu prinsipnya itu
tadi. Kalau keadilan, kesetaraan, persaudaraan, pembebesan dari penindasan
untuk mendapatkan kemanusiaan. Sudah, kalau setara tidak mungkin ada ketidak
setaraan gender. Kalau prinsip keadilan, kesetaraan, persaudaraannya jalan,
nggak mungkin ada insiden antar agama. Logikanya kan begitu, kalau semua
orang berlaku adil, dan memperlakukan orang lain setara dengan dia, sama-sama
manusia, sama-sama warga negara, dan kita ini bersaudara, tidak mungkin akan
ada insiden. Insiden terjadi kenapa? Karena ada ketidakadilan, ada orang yang
merasa saya lebih berhak, lebih berhak atas surga, lebih berhak atas tanah
Indonesia. Itu, jadi karena ada problem di prinsip-prinsip itu. Jadi kalau
soal pendidikan pluralisme, Gus Dur juga tidak pernah itu ngomong bahwa
pendidikan itu harus mengandung prinsip ini-itu, kan tidak pernah. Tapi
beliau kan mengingatkan bahwa Indonesia ada karena keberagaman. Kalau tidak
ada keberagaman, tidak ada Indonesia, tidak perlu ada Indonesia. Karena waktu
itu ada banyak elemen, mau mendirikan sebuah negara. Akhirnya, kita pakai
konsep yang lain saja yang tidak ada satu pun dari kita yang bisa mengklaim.
Siapa coba yang bisa mengklaim sayalah aslinya Indonesia, kan tidak ada. Coba
kalau negara kita namanya “Republik Jawa”, yang Sumatra pasti nolakkan? Kan
seperti itu tidak bisa, karena prinsipnya kesetaran, akhirnya nama yang
digadang-gadang dari tahun 1928 itu, itulah yang dipakai. Makanya kalau
kemarin di Munas Alim Ulama itu ada kiai yang mengingatkan, “Konsep Indonesia
yaitu NKRI adalah muwahhadah wathaniyah bagi orang NU”. Kesepakatan
kan itu, Indonesia itu kan cuma gagasan. Tidak ada itu pulau namanya
Indonesia, suku bangsa juga tidak ada yang Indonesia. Indonesia timur itu
Melanesia, Indonesia Barat kan Melayu. Mana bisa kita mngklaim aslinya
Indonesia itu Melayu, kamu gabung. Itu kan tidak bisa. Karena dulu banyak
elemen, supaya adil maka kita pakai nama Indonesia. berarti kan pondasinya
Indonesia adalah keberagaman.
|
Pewawancara
|
:
|
Kalau tentang pluralisme keagamaan bagaimana?
|
Narasumber
|
:
|
Pluralisme
keagamaankan? Bukan singularisme? Karena si MUI kan salah tuh? Yang tidak
bisa membedakan pluralisme dengan singularisme. Pluralisme itukan artinya
mengakui bahwa ada orang disekitar kita yang memiliki keyakinan religinya
tidak sama dengan kita. Nah, kalau singularisme kan tidak, yang menyatakan
Tuhan itu satu, dan jalannya banyak. Kalau pluralisme itu berarti kita
mengakui bahwa kita sama-sama punya kepentingan terhadap Indonesia. Gus Dur
menyebutkan bahwa di Indonesia itu kita belum untuk duduk bersama, dalam arti
masih perifer. Sekali hubungan antar-umat beragama itu “seng
penting ojo senggolan, senggol bacok”. Jadi itu masih di level permukaan.
Kenapa begitu? Karena pak Harto dulu menggunakan metode yang sangat operesif,
sehingga memang orang tidak bisa mengeluarkan isi hatinya dan kebutuhannya,
karena dia memang takut kepada pak Harto. Nah, begitu reformasi, kan tidak
ada lagi yang operesif, kebutuhan kelompok ini pun jadi muncul, dan akhirnya
menjadi primordial lagi. Inilah yang memunculkan gesekan yang lebih berat
yang dulu dikhawatirkan oleh Gus Dur. Gus Dur itu dulu nulis begini
“toleransi kita masih dipermukaan”, kita belum bisa melihat orang lain
benar-benar sebagai saudara. Kita punya PR di sini, yaitu mengimplimentasikan
apa yang diajarkan KH. Ahmad Shidiq yang Ukhuwah Islamiyah, Wathaniyah dan
Basyariyah, dan itu belum semuanya jalan. Baru Ukhuwah
Islamiyah, baru setelah itu asal tidak senggolan dengan yang lain adalah wathaniyah-nya
itu. Artinya begini, “ok, saya dan kamu memang berbeda, tapi kita kan sama-sama
orang Indonesia, berarti kalau kita berbicara Indonesia, kita bicara
bareng-bareng, tidak bisa saya saja yang menentukan”. Nah, itu yang selalu
didengungkan oleh Gus Dur. Menurut Gus Dur, kalau persaudaraannya itu tidak
tercapai, Indonesia akan kesulitan untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan
dalam UUD 45 yakni terciptanya keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran.
|
Pewawancara
|
:
|
Dalam salah
satu tulisannya saya temukan bahwa beliau sempat menyinggung tentang salah
satu adat yang ada di Ambon, yaitu Baku Bae. Gus Dur menyebutkan bahwa
anda sempat terlibat intens dalam perwujudan adat itu. Bisa anda jelaskan?
|
Narasumber
|
:
|
Baku Bae dan Pelagandong?
|
Pewawancara
|
:
|
Iya, tradisi seperti apakah itu?
|
Narasumber
|
:
|
Kalau pelagandong
itukan meskipun saya Islam dan kamu Kristen, tapi kitakan tetap satu
keturunan, satu nenek moyang. Karena itu kita tetap bersaudara. Karena itu,
kita perlu baku bae. Baku bae itu lawannya baku hantam. Jadi, baku
bae itu saling berbuat kebaikan. Kalau di Ambon, itu tradisinya kalau
yang Muslim bikin Masjid, yang Kristen bantuin. Bahkan atap masjid itu
diselesaikan oleh yang Kristen. Mengapa begitu? Karena, message/pesannya
adalah kami juga melindungi saudara kami. Nanti kalau yang Kristen bangun
Gereja, itu yang Muslim juga begitu. Jadi, itu tradisi banget. Jadi bukan
hanya sekedar ingin nggak ingin, tapi juga harus dipertahankan. Makanya,
ketika terjadi konflik itu timbul pertanyaan besar buat orang-orang sana “kok
bisa begini?” kita ketika ngomong dengan pengungsi dengan ketika ngomong
dengan pihak pemerintah itukan berbeda. Saya waktu itukan ke Ambon, saya
lompat-lompat itu dari pengungsi Muslim dan pengungsi Kristen. Itu ada satu
yang camp pengungsian Muslim ada satu orang muslim, ketika saya datang
mereka bilang kalau dia yang pengungsian yang ada di kota “tetangga saya itu
kristen mbak, dan sampai sekarang itu setiap sore mereka bertemu di
perbatasan, yang Kristen bawain apa yang dari rumahnya muslim tadi, karena
yang Muslim tidak berani balik di kampungnya itu. Itu pelagandong yang
asli. Jadi, kalau kita bicara di tingkat level yang bawah, maka seperti itu.
Sama halnya yang sekarang terjadi pada Syi’ah yang ada di Sampang itu. Kalau
kita jalan-jalan di sekitar rumah-rumahnya orang Syi’ah itu, mereka itu saudaranya.
Memang dikira yang mengungsi itu orang Syi’ah saja? itu banyak orang
Sunninya. Rumahnya di bakar. Karena dia tinggal dengan anaknya yang Syi’ah,
sama menantunya yang Syi’ah, itu banyak sekali orang Sunninya dari 65
keluarga itu. Itu lho, jadi di level bawah, yaitu level praktik sehari-hari
tidak ada masalah.
|
Pewawancara
|
:
|
Jadi, dari
penjelasan-penjelasan tadi dapat diambil kesimpulan bahwa jika konsep tadi
dibawa ke dalam ranah pendidikan, harusnya pendidikan itu mengacu pada
bagaimana agar pendidikan itu bisa melahirkan masyarakat yang selalu
berpegang pada prinsip-prinsip di atas?
|
Narasumber
|
:
|
Iya, jadi
bukannya mengadakan workshop, pelatihan-pelatihan, yang secara fisik ada.
Tapi itu menjadi cara pandang/paradigma, dan paradigma itu datangnya dari
prinsip-prinsip yang telah saya sebutkan tadi. Gus Dur tidak pernah itu
mengatakan “workshop keadilan jender untuk semua orang”, tapi yang dilihat
itu praktik-praktik sehari hari, dan bagaimana caranya agar bisa nembak itu
tadi. Jadi, kalau misalnya sakit “kencing batu” itu kan ditembak pakai laser,
supaya batunya bisa pecah. Nah, itulah yang diinginkan Gus Dur, langsung pada
sasaran. Gus Dur itu tidak pernah, kalau dalam istilah orang manajemen
menyebutnya “micro managing”. Micro managing itu yang ngurusin
kecil-kecilnya, kalau Gus Dur itu yang gedhe. Jadi, tidak ada itu prinsip
pendidikan pluralisme yang micro operational. Tapi, itu menjadi satu
hal yang menjadi concern, karena itu prakteknya terjadi di masyarakat
itu perlu dikelola. Karena apa? Pertimbangannya karena sampai saat ini,
kerukunan yang ada masih pada tingkat perifer saja, belum hidup
bersama, maunya itu lebih dari itu. Itu yang menjadi best practicis,
yang itu kearifan lokal yang memang terbantahkan di Indonesia, itu yang
diperlukan untuk negara yang majemuk ini mau tidak mau harus ada prinsip
hidup bersama.
|
Pewawancara
|
:
|
Terkait
kontroversi Gus Dur, bagaimana menurut anda?
|
Narasumber
|
:
|
Gus Dur itu
terkadang kurang sabaran.
|
Pewawancara
|
:
|
Kurang sabar
dalam arti?
|
Narasumber
|
:
|
Kurang sabar
dalam menjelaskan apa yang ia kerjakan atau apa yang ia utarakan, terlebih
yang menimbulkan kontroversi. Tapi, di balik kekontroversialannnya itu, ada
maksud untuk membangun critical thinking. Karena jika semuanya
dijelaskan, maka tidak akan ada itu critical thinking. Itulah kenapa,
anak-anak muda tahun 1990-an sangat kritis-kritis. Ya karena itu tadi, mereka
terdorong untuk menafsirkan pandangan-pandangan Gus Dur yang terkesan
kontroversi. Tapi setelah dilakukan telaah kritis, nampaklah itu maksud-maksud
dari ungkapan atau tindakan Gus Dur yang kontroversi. Coba waktu itu semuanya
dijelaskan, terima jadi itu orang-orang, maka nggak akan itu berpikir kritis.
Begitu. Ada lagi?
|
Pewawancara
|
:
|
Iya. Kemarin
saya sempat ke pondok pesantren Ciganjur, dan sempat juga berbincang dengan
mas Boni. Mungkin bisa anda ceritakan sekilas tentang pondok Ciganjur itu,
termasuk ketika ada orang non-muslim yang datang dan mengadakan acara di
situ?
|
Narasumber
|
:
|
Gus dur itu
kan selalu pandangannya adalah bagaimana untuk membangun masyarakat yang
seperti Madinah. Madinah itu kan kesadaraan akan keadilan dan persaudaraan
itu sangat tinggi, dan sangat substantif. Oleh karena itu, ketika ada orang
non-muslim datang ke situ ya silahkan, yang penting essensinya apa.
Nah, pondok
pesantren Ciganjur itu memang dari awal di desain bukan seperti pondok
pesantren biasa. Itu ponpesnya terkesan seperti padepokan, jadi nyantrik. Itu
seperti ada empu, terus punya cantrik. Tanpa ada pendidikan formal,
tanpa ada sistematika pengajaran. Jadi, tergantung cantrik nya itu
sendiri. Bagaimana kesiapannya untuk menerima materi yang ia ingini dan bebas
ingin belajar apa. Jadi, semuanya dibebaskan.
|
|
|
|
|
|
|
0 Response to "Pluralisme Gus Dur: Wawancara dengan Alissa Wahid"
Post a Comment