Gus Dur dan Al-Qur'an
Dalam tulisan saya sebelumnya (baca: Pendidikan Pluralisme Gus Dur dan Tipologi Buku), telah disebutkan akan
adanya kesamaan antara tulisan-tulisan Gus Dur – dan beberapa tokoh lainnya,
seperti Gus Mus – dengan al-Qur’an. Bahwa sebagian ayat-ayat al-Qur’an sengaja
diturunkan Allah untuk menjawab atau mengomentari permasalahan-permasalahan
yang terjadi saat itu. Misalnya dalam peristiwa fitnah yang ditujukan oleh kaum
munafik kepada istri nabi, Aisyah ra. Atau dalam QS. Al-Nur [24]: 11-19. Yang mengomentari tentang pernikahan
Nabi Muhammad saw. dengan Zainab binti Jahsy yang merupakan mantan istri dari
anak angkat Nabi, Zaid ibn Tsabit. Pernikahan Nabi saw. dengan Zainab ra. ini memang
menimbulkan polemik serius saat itu, karena bagaimana pun orang-orang Arab saat
itu menyamakan kedudukan anak tiri dengan anak kandung, sehingga menikahi
mantan istri anak angkat sama halnya menikahi mantan istri anak kandung dan itu
termasuk hal yang sangat tercela. Namun, polemik tersebut akahirnya berakhir setelah turun QS. Al-Ahzab [33]: 37. Tidak hanya menyelesaikan polemik, tapi dari ayat tersebut ditetapkan satu
ketetapan baru bahwa kedudukan anak angkat tidaklah sama dengan anak kandung,
sehingga untuk menikah dengan mantan istri anak angkat atau menikah dengan
mantan istri ayah angkat adalah diperbolehkan dalam Islam. Dari sini, saya pun
memiliki kesimpulan sementara bahwa sebagian ayat dalam al-Qur’an adalah
berangkat dari fakta yang terjadi saat itu.
Lantas apa hubungannya dengan tulisan-tulisan Gus Dur? Sejauh yang
saya ketahui, tulisan-tulisan Gus Dur senantiasa mengomentari keadaan-keadaan
yang terjadi di sekitarnya, di mana pijakan awal yang digunakan adalah
berdasarkan apa yang terjadi saat itu. Apakah itu terkait dengan situasi
politik, ekonomi, sosial, pendidikan atau apa saja. Bahkan saya memiliki buku
kumpulan tulisan Gus Dur tentang sepak bola yang saya dapatkan ketika
berkunjung ke Pondok Pesantren Ciganjur. Dalam buku tersebut memuat tulisan-tulisan
Gus Dur tentang sepak bola, baik itu tentang prediksi pertandingan atau
komentar beliau setelah adanya pertandingan bola.
Jadi, tulisan-tulisan Gus Dur sangatlah faktual. Sehingga, jika
kemudian disangkutpautkan dengan tulisan sebelumnya tentang tipologi buku, maka
buku-buku Gus Dur bukanlah “buku akademis”, dalam artian buku yang secara runtut
tersistematika bab per bab dengan tema yang – mungkin – sudah dirancang lebih
awal ketika menulis buku, melainkan – dalam buku-buku Gus Dur – justru temanya
yang belakangan. Kenapa saya berani menduga seperti itu? Ya, karena bisa jadi tulisan
dalam satu tema dengan tema lain sangat acak terkait waktu penulisannya. Katakanlah
dalam satu buku Gus Dur, bab pertama berbicara tentang pluralisme dan bab ke lima
tentang pribumisasi Islam. Sangatlah mungkin jika tulisan Gus Dur di bab lima
ditulis lebih dulu dibanding tulisan beliau di bab satu. Hal ini
mengindikasikan bahwa memang sejak awal Gus Dur tidak sengaja
mensistematisasikan tulisan-tulisannya untuk dibukukan sesuai tema-tema
tertentu.
Dari sini pun muncul kesamaan lagi dengan al-Qur’an – selain bahwa keduanya
sama-sama berangkat dari fakta – yaitu tentang ketidaksistematisan
penulisannya. Jadi jika boleh saya mengibaratkan, tulisan-tulisan Gus Dur yang
sama-sama faktual adalah ibarat ayat-ayat al-Qur’an, dan buku kumpulan-kumpulan
tulisan Gus Dur adalah mushaf al-Qur’an, maka kita akan dapati bahwa baik itu
buku-buku Gus Dur maupun mushaf al-Qur’an sama-sama tidak sistematis, minimal
dalam urutan waktu penulisan tulisan Gus Dur atau waktu turunnya ayat-ayat
dalam mushaf al-Qur’an. Seperti yang telah saya katakan di awal, bisa jadi
tulisan Gus Dur di tema yang pertama ditulis lebih akhir dari tulisan di bab
lima, bukankah ayat-ayat dalam mushaf al-Qur’an juga demikian? Apakah lantas Surat
pertama yang ada di mushaf al-Qur’an adalah QS. Al-‘Alaq, yang pertama kali diwahyukan
kepada Nabi? Tentu tidak, bahkan Surat pertama yang diwahyukan ini dalam mushaf
al-Qur’an ada di urutan Surat yang 96.
Lantas apakah dengan mengatakan bahwa baik itu mushaf al-Qur’an
sama dengan tulisan-tulisan Gus Dur yang sama-sama tidak sistematis saya
maksudkan untuk mengurangi perhomataan terhadap kedua. Apalagi khusus untuk al-Qur’an, terkait dengan sistematika penulisan dan penempatan Surat
maupun ayat dalam al-Qur’an adalah suatu keistimewaan dan keunikan tersendiri. Namun
di sini saya tidak akan memaparkan terkait dengan keistimewaan penempatan
ayat-ayat al-Qur’an dalam mushaf, setidaknya karena pertimbangan
kekurangmaksimalan pengetahuan yang saya miliki. Akan tetapi, yang pasti saya tetap meyakini
bahwa ketidaksistematisan yang ada dalam al-Qur’an mengandung keistimewaan yang
sangat agung. Kemudian, terkait dengan ketidaksistematisan – minimal penulisan –
dalam buku-buku kumpulan tulisan Gus Dur tentu tidak bisa dilepaskan dari aspek
kefaktualan yang melatarbelakangi tulisan-tulisan Gus Dur. Karena bagaimana pun
juga, tentu tidaklah mungkin manusia bisa mengadegankan apa yang akan terjadi.
Kefaktualan tulisan-tulisan Gus Dur, kemudian Gus Mus, Nurcholis
Madjid dan tokoh-tokoh lainnya yang mungkin untuk kita bisa menemukan
karya-karayanya amatlah mudah, namun ketika kita diminta untuk mencari “buku
akademis” beliau-beliau ini tentu amatlah sulit. Namun ini adalah penilaian
sementara saya, karena tidak menutup kemungkinan sebenarnya beliau-beliau
memiliki buku yang memuat konten bab per bab yang sistematis, hanya saja saya
belum menemukannya.
Demikian tulisan ini saya akhiri dengan penegasan bahwa tulisan yang
mencoba mempersamakan tulisan-tulisan Gus Dur dengan al-Qur’an mengandung
pengertian bahwa saya meninggikan tulisan-tulisan Gus Dur hingga mencapai pada
derajat letinggian al-Qur’an. Pun sebaliknya, ketika saya menyamakan al-Qur’an
dengan tulisan Gus Dur menjadikan saya menurunkan keagungan al-Qur’an yang
merupakan Kalam Ilahi dengan tulisan karya hamba-Nya. Wallaahu A’lamu bish-Shawaab.
Malang, 04 Juni 2016, 07.18 WIB
0 Response to "Gus Dur dan Al-Qur'an"
Post a Comment