Agama Berpikir, Berpikir Agama
“Bagaimana agar kita bisa memeluk agama yang kita yakini ini dengan
tidak hanya didasarkan bahwa inilah yang sudah orang tua kita ajarkan?”
Pertanyaan tersebut memang terbilang sederhana dan mungkin saja
tanpa kita sadari sebenarnya dalam hati masing-masing kita juga sempat terbesit
pertanyaan yang sederhana itu. Namun jika kita renungkan dengan seksama, kita akan menemukan makna yang begitu mendalam.
Menurut Harun Nasution, salah satu makna agama adalah “turun temurun”. Artinya
agama itu adalah – jika boleh saya menyebutnya – doktrin atau keyakinan yang
diturunkan oleh orang tua kepada anaknya, oleh orang dewasa kepada anak-anak.
Jika memang demikian, lantas kenapa kita harus dipusingkan untuk menjawab
pertanyaan layaknya pertanyaan di atas?
Setidaknya, secara garis besar jawaban yang penulis berikan adalah dengan
kita senantiasa aktif menggunakan akal pikiran yang telah dianugerah Sang Maha
Pencipta kepada kita. Aktif di sini
dalam artian kita tidak hanya berhenti pada meyakini saja apa yang telah
disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadist secara mentah-mentah. Tapi mencoba
mempertanyakan lebih dalam kenapa agama memerintahkan yang demikian dan kenapa
juga melarang demikian.
Kembali penulis teringat dalam salah satu sesi diskusi di dalam
kelas perkuliahan. Salah seorang pemakalah saat itu menyampaikan materi tentang
kesunnahan untuk membunuh beberapa hewan yang didasarkan pada Hadist-hadist Nabi.
Kemudian salah satu audiens bertanya, “apakah ada alasan lain yang
mengungkapkan kenapa Nabi memerintahkan untuk membunuh hewan tersebut?”.
Pemakalah pun kemudian memberikan jawaban yang kurang lebih menegaskan bahwa
Islam itu memiliki arti ketundukan, artinya jika memang ajaran Islam (Al-Qur’an
dan Hadist) itu mengatakan demikian, ya sudah kita sebagai orang Islam harus
menerimanya dengan penuh kepatuhan saja, tanpa perlu mempertanyakan kenapa
demikian dan kenapa tidak demikian?”
Apakah jawaban tersebut salah? tentu tidak. Karena bagaimana pun juga
kita sebagai orang yang beragama Islam memang sudah selayaknya meyakini bahwa
segala perintah dan larangan yang ditujukan kepada kita yang terdapat dapat
Al-Qur’an dan Hadist itu tidaklah diragukan lagi aspek kebaikannya. Karena
bagaimana pun juga keduanya sama-sama berasal dari Dzat yang telah menciptakan manusia
yang sudah pasti tahu betul tentang apa yang baik dan buruk bagi manusia.
Akan tetapi, pertanyaan selanjutnya adalah apakah salah jika kita
mencoba untuk mempertanyakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam dua sumber ajaran Islam
tersebut lebih dalam? Tidak ada jawaban pasti untuk pertanyaan terakhir ini.
karena pada kenyataannya, ada sebagian orang yang sangat tidak suka jika ada pihak
yang mempertanyakan keotentikan ajaran suatu agama, apalagi jika orang tersebut
juga dari Islam sendiri. Sehingga, ada yang benar-benar berpikir, kemudian
dituduh kafir. Ada yang benar-benar mencinta Tuhannya dituduh sedang
menyukutukan-Nya. Ada yang benar-benar menyayangi agamanya dan Tuhan-Nya
dituduh mendurhakai-Nya.
Semua tuduhan itu ditujukan hanya karena mereka-mereka mencoba
mendekat kepada-Nya melalui akal pikiran. Mereka seakan lupa, bahwa beberapa
Nabi atau bahkan semua Nabi juga menggunakan akal ketika mencoba mendekat
kepada Ilahi Rabbi. Al-Qur’an sendiri merekam betapa rasionalnya Nabi Ibrahim
ketika mencoba menemukan Allah. Kemudian, Nabi Muhammad saw. pun demikian.
Beliau menyendiri dan merenungkan semua yang ia temui di sekitarnya.
Lebih dari itu, menyandarkan diri pada kepasrahan menerima apa yang
sudah dititahkan oleh-Nya pada dasarnya sama dengan membatasi diri untuk bisa
menerima karunia yang lebih banyak dari-Nya. Mengapa demikian? Karena bagaimana
pun juga, mempertanyakan ketentuan-ketentuan yang telah ada, bukan selamanya
mengantung arti sebuah pertentangan. Jika saja bertanya – semisal mempertanyakan
ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadist – selalu diidentikkan
dengan sikap menentang, lantas apakah kita akan menghakimi malaikat sebagai
penentang Allah ketika mencoba mempertanyakan kebijakan Allah saat penciptaan Adam
as.? Apakah kita juga akan menghakimi Nabi Ibrahim as. telah menentang Allah
saat ia bertanya dan meminta kepada Allah untuk diperlihatkan bagaimana caranya
Allah membangkitkan orang-orang yang telah meninggal kelak di hari kiamat?
Tulisan ini penulis akhiri dengan satu analogi. Ada si A dan B yang
sama-sama datang ke restoran yang sangat mewah. Kemudian keduanya disuguhi
makanan yang sama dan merupakan makanan yang baru mereka temui, dan karena itu
adalah restoran yang mewah maka tidak diragukan lagi akan kelezatan makanan
yang dihidangkan. Hanya saja, ada yang berbeda dari sikap A dan B yang
sama-sama disuguhi makkanan yang lezat itu. Mendapatkan makanan yang enak
tersebut, si A hanya menyantapnya dengan begitu saja, ia hanya yakin bahwa
karena memang tempat ia makan adalah restoran ternama, maka pantas jika
makanannya enak. Sementara si B, mendapat makanan yang begitu enak itu menjadi
penasaran tentang apa saja bahan dan bagaimana cara membuat makanan tersebut.
Akhirnya, dari rasa penasaran itulah, ia memberanikan diri untuk bertanya
kepada koki yang ada di restoran itu, dan anggap saja pada akhirnya B berhasil
mendapatkan resep dari makanan yang enak tersebut. Pertanyaannya kemudian, manakah
yang lebih beruntung? Apakah A yang hanya dapat mencicipi makanan yang lezat?
Ataukah B yang di samping mencicipi makanan yang lezat juga pulang dengan
membawa resep makanan yang telah ia nikmati? Karena si B mau berpikir dan
bertanya perihal makan itu, maka ia pun mendapatkan resep makan itu. Berbeda dengan
si B, untuk si A, dia hanya mendapatkan makanan yang lezat saja, namun pulang
tanpa membawa resep makanan yang lezat tadi.
Kiranya, penulis memiliki pemikiran yang kurang lebih sama dengan
si B dalam analogi di atas. Bahwa berpikir, bertanya dan perihal lain yang itu
dimaksudkan untuk menggali informasi yang lebih dalam lagi terkait dengan apa
yang dalam Al-Qur’an dan Hadist akan mendatangkan keuntungan tersendiri dari
hanya sekedar menerima mentah-mentah ketentuan yang ada di dalam kedua sumber
ajaran Islam itu. Sudah banyak contoh yang membuktikan betapa Al-Qur’an dan
Hadist itu mengandung berbagai macam ilmu, hikmah, atau apa pun itu jika memang
kita mau benar-benar menggunakan akal kita. Sebut saja dalam perintah sholat,
bukankah saat ini sudah banyak hasil penelitian yang menunjukkan betapa
gerakan-gerakan dalam sholat itu memiliki hikmah dalam hal kesehatan. Kemudian dalam
hal puasa, juga telah ada hasil penelitian medisnya yang menginformasikan
kepada kita betapa bermanfaatnya puasa bagi tubuh kita, di samping tentunya
mengandung aspek ibadah. Keduanya itu dalam hal perintah. Dalam hal larangan
pun sebenarnya tidak jauh berbeda. Misalnya larangan bagi umat Islam untuk
memakan babi. Jika pada analogi di atas, terkait dengan larangan memakan babi
ini, si A ya hanya tidak mau memakan daging babi. Tapi untuk si B, mendapat
larangan itu, menimbulkan pertanyaan kenapa makan daging babi diharamkan dalam Islam?
Rasa keingintahuan kemudian mengantarkannya untuk meneliti babi. Dan bukankah
kini kita bisa dengan mudah mencari tahu perihal babi yang diharamkan dalam
Islam dilihat dari sudut pandang medis, yang ternyata di dalam tubuh babi itu
ada cacing pita yang jika masuk ke dalam tubuh manusia akan mendatangkan
berbagai macam penyakit, dan cacing pita tersebut ternyata tidak mati meskipun
daging tersebut telah dimasak.
Masih banyak lagi fakta-fakta empiris yang membuktikan betapa agung
dan menakjubkannya Al-Qur’an dan Hadist, di mana keagungan dan kemenakjubannya
itu hanya bisa ditemukan melalui proses berpikir. Dari proses berpikir inilah
kita akan bisa lebih meyakini akan kebenaran dan keotentikan agama Islam,
sehingga keberagamaan kita ini tidak lagi berlandaskan pada agama turunan saja,
melainkan karena kita memang benar-benar yakin akan agama Islam ini. Wallaahu
A’lamu bish-Shawaab.
Malang, 20 Mei 2016, 20.56 WIB
0 Response to "Agama Berpikir, Berpikir Agama"
Post a Comment