Pendidikan Pluralisme Gus Dur dan Kekinian
Saya masih ingat betul ketika sedang sidang Skripsi beberapa tahun
yang lalu. Kebetulan saat itu saya mengambil judul skripsi “Konsep Pendidikan
Pluralisme Abdurrahman Wahid”. Pertanyaan pertama yang diajukan oleh penguji
pertama saat itu kurang lebihnya adalah “Kamu kog ambil judul pendidikan
pluralisme Gus Dur itu sumber utamanya apa? Apa Gus Dur pernah itu menulis buku
tentang pendidikan pluralisme?” sejenak saya sempat terpaku dengan pertanyaan
yang memang sebelumnya tidak pernah saya duga. Tapi, keterpakuan saya itu tak
berlangsung lama. Saya pun menjawab bahwa memang benar jika Gus Dur tidak
pernah menulis buku tentang pendidikan pluralisme. Namun, bukan berarti dalam
banya tulisan Gus Dur yang ada tidak memuat unsur-unsur pendidikan pluralisme.
Karena dari penelitian pustaka yang saya lakuka saat itu memeberikan kesimpulan
bahwa dalam konsep pendidikan pluralisme Gus Dur itu adalah pendidikan tanpa
batas. Tanpa batas dalam tiga hal, yaitu sumber, ruang dan waktu. Tak terbatas
pada sumber maksudnya adalah dalam mencari ilmu tidak harus dibatasi hanya
dalam satu sumber, sekolah misalnya. Atau jika dibawa ke dalam konteks
pluralisme, adalah tidak membatasi diri kita untuk be;ajar kepada yang seagama,
sealiran atau sepaham dengan kita. Tapi kita bisa memperoleh pelajaran dari
siapa saja, bahkan kepada yang tak seagama dengan kita pun kita tidak perlu
membatasi itu.
Kemudian tak terbatas pada ruang. Tidak jauh berbeda dengan poin
pertama, ketidakterbatasan yang kedua ini pun ketika dikontekstualisasikan dalam
isu pluralisme mengandung pemahaman bahwa dalam proses pendidikan itu, kita
bisa melaksanakannya di dalam ruang mana pun. Atau lebih sederhanyanya, kita
sebagai orang Islam tidak perlu kemudian berfanatik untuk hanya sekolah, atau
menimba ilmu di temoat yang beridentitaskan Islam saja, tidak. Gus Dur, melalui
beberapa tulisannya, kemudian di dukung dengan beberapa informan yang dekat
dengan beliau, salah satunya putri bungsunya, Alissa Wahid, menandaskan bahwa
Gus Dur itu tidak fanatik harus belajar di tempat yang bernuansa Islam. Bahkan
dalam biografi Gus Dur yang ditulis oleh Greg Barton disebutkan bahwa Gus Dur
pernah sekolah di Sekolah Katholik, kemudian juga pernah diajar bahasa Belanda
oleh orang yang notabene-nya bukan orang Islam.
Ketiga adalah tidak terbatas dalam waktu. Hal ini tentu sangat
identik dengan konsep pendidikan yang ada di UNESCO, yang lebih dikenal dengan long-life
education. Yaitu pendidikan sepanjang hayat. Ada yang menarik dari Kata
Pengantar yang ada di buku kumpulan tulisan-tulisan Gus Dur yang berjudul
Islamku, Islam Anda dan Islam Kita (untuk nama penulis kata pengantarnya saya
kurang ingat). Di dalam kata pengantar itu diceritakan betapa hasrat Gus Dur
dalam hal belajar tidak pernah surut, bahkan di saat kondisi fisiknya yang sangat
memprihatinkan, yakni ketika beliau terbaring di RSCM, Gus Dur tetap antusias
mendengarkan audio-book yang dibawakan oleh si penulis kata pengantar.
Dari kejadian itu, ada pelajaran yang sangat berharga yang bisa kita petik,
bahwa keterbatasan apa pun, baik itu fisik, materi dan sebagainya tidak
selayaknya menjadikan kita untuk berhenti belajar.
Itulah kesimpulan akhir yang saya dapatkan dari penelitian
kepustakaan saya tentang konsep pendidikan pluralisme Gus Dur yang saya rasa
masih sangat relevan – bahkan kalau mengutip pernyataan Inayah Wahid dalam
acara Mata Najwa “Belajar dari Gus Dur”, memunculkan gagasan Gus Dur untuk saat
ini bukan lagi relevan, tapi urgent – untuk saat ini. kenapa saya
katakan demikian? Iya, karena sudah banyak saya temukan di sekitar saya sendiri
bahwa dalam hal pendidikan, kita serba membatasi diri kita. Kita terlalu
fanatik, terlalu tertutup. Apakah itu buruk? Tentu bukan kapasitas saya menilai
itu baik atau buuruk. Hanya saja, ketika kita hanya membatasi diri kita sedemikian
sempit, menjadikan kita serasa hidup dalam dunia, serta rahmat Tuhan yang
begitu sempit.
Kenapa saya katakan ketertutupan diri kita ini akan menjadikan
dunia dan rahmat Tuhan yang begitu luas itu terasa sempit? Kita ambil contoh
saja terkait dengan sumber ilmu. Seperti dalam tulisan saya yang sebelumnya
tentang “Puzzle Keilmuan Allah”, bahwa keluasan ilmu yang Allah limpahkan untuk
manusia amatlah luas, bahkan samudra pun jika dijadikan tinta untuk menulis
ilmu-ilmu Allah tidak akan cukup menuliskannya. Apakah kita pernah bertanya
pada diri kita, apakah ilmu yang sebegitu luas itu hanya diberikan kepada orang
Islam saja? Silahkan anda berhenti di sini jika anda menjawaba iya, bahwa ilmu
yang seluas itu hanya diberikan kepada umat Islam saja. Tapi, jika anda dengan
yakin menjawab tidak, maka pertanyaannya kemudian adalah jika anda yakin bahwa
ilmu Allah itu juga diberikan kepada manusia-manusia yang tidak mendeklarasikan
dirinya sebagai orang Islam, lantas apakah kita akan tetap bersikukuh untuk
enggan mencari ilmu-ilmu yang mereka miliki?
Beberapa kali saya bertemu dengan orang yang mengatakan takut untuk
membaca buku-buku karya orang-orang liberal, atheis dan sebagainya itu. Saya
tidak mengatakan itu salah, karena memang itu adalah hak setiap orang untuk
memiliki prinsip yang ia pegang. Tapi, jika saya dipaksa untuk menanggapi, maka
saya akan katakan bahwa keengganan tersebut yang didasarkan pada kehati-hatian
akidah adalah telalu berlebihan. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah
saya meyakini bahwa “Bahwa adakalanya ketika kita ingin melihat betapa indahnya
rumah yang kita huni ini (Islam), kita harus keluar sebentar dan menyaksikan
sendiri betapa memang rumah kita ini sangat indah dan begitu kokoh.” Keluar
bukan berarti kita harus murtad dari Islam, tapi bisa dengan menengok apa
pendapat orang yang ada di luar. Melihat rumah kita dari sisi terluarnya itu
penting, karena barangkali ada satu bagian dari rumah kita yang rusak dan
kerusakan itu tidak bisa dilihat dari dalam. Maka dengan kita melihat dari
luar, kita akan tahu bahwa ada bagian yang perlu dibenahi. Itulah sebenarnya
yang saya yakini akan pentingnya melihat agama ini dari sisi terluarnya, yaitu
dengan membuka diri selebar-lebarnya pada sumber-sumber ilmu yang ada di
sekitar kita, tanpa membatasi diri dengan identitas kefanatikan.
Lantas, apa maksud dari saya menceritakan tentang pertanyaan dosen
penguji saya di awal paragraf? Silahkan baca: Pendidikan Gus Dur dan Tipologi Buku.
Malang,
25 April 2016, 14.52 WIB
0 Response to "Pendidikan Pluralisme Gus Dur dan Kekinian"
Post a Comment