Kalam-Kalam Langit: Sebuah Refleksi
Ada yang menarik dari film “Kalam-kalam Langit” yang sekarang sedang
diputar di bioskop-bioskop. Di awal film tersebut ada seorang ayah yang
melarang keras anaknya untuk ikut lomba-lomba Tilawah Al-Qur’an, ayah tersebut mewanti-wanti
anaknya agar tidak menjual kalam-kalam langit yang agung itu hanya demi
hadiah, baik itu hadiah berupa uang atau pujian.
Film tersebut kemudian mengingatkan saya pada pengalaman beberapa
tahun silam saat saya masih kuliah. Kebetulan saat itu sedang gencar-gencarnya
beasiswa Tahfidz. Salah seorang dosen berkata kepada saya, “ini lho, ada
beasiswa Tahfidz. Kuotanya banyak tapi yang mengambil sedikit. Kalau kamu mau
bisa ikut. Tapi ya itu mulai sekarang harus mau ,menghafal al-Qur’an”. Sempat terbesit
keinginan tersebut, apalagi melihat beasiswa yang cukup besar itu. Tapi kemudian
saya tersadar bahwa tidak seharusnya – jika memang ingin menghafal Al-Qur’an –
itu berangkat dari keinginan mendapatkan beasiswa.
Memang, saat ini di beberapa perguruan tinggi di Indonesia,
beasiswa-beasiswa tahfidz diberikan kepada para mahasiswa yang sudah hafal
Al-Qur’an atau sedang dalam proses menghafal, dan dari cerita salah seorang
teman jumlahnya lumayan besar. Ini adalah sebuah kemajuan, dimana para
penghafal Al-Qur’an semakin diakui dan dimuliakan. Tapi, apakah memang benar
demikian? Saya teringat ada salah satu pondok pesantren tahfidz yang melarang
para santrinya untuk mengambil beasiswa atas nama Al-Qur’an. Untuk alasan
jelasnya kenapa hal itu dilarang saya kurang tahu, tapi dari beberapa informasi
yang saya dapatkan, dilarangnya santri-santri tahfidz dari pondok pesantren itu
untuk menerima beasiswa-beasiswa tahfidz yang diberikan oleh beberapa perguruan
tinggi agar tidak terjerumus pada menjual Al-Qur’an.
Kemudian, saya teringat bahwa salah satu tanda kiamat telah dekat
adalah banyaknya para penghafal Al-Qur’an. Barusan saya coba cek itu di google
(semoga pembaca tidak hanya berhenti mempercayai informasi saya ini), jika
memang ada salah satu Hadist Nabi yang meginformasikan demikian, meskipun
disebutkan hadost tersebut dloif, dan ada kata dalam kurung yang
menjelaskan kalau maksud banyaknya penghafal Al-Qur’an yang menjadi tanda hari
kiamat adalah penghafal yang tidak tahu mkasud isi kandungannya. Nah, jika
demikian, saya kadang berpikir kalau banyaknya beasiswa Al-Qur’an di
perguruan-perguruan tinggi saat ini akan meningkatkan kuantitas para penghafal
Al-Qur’an, dan parahnya jika kemudian niat awal menghafal itu adalah untuk
mendapatkan beasiswa. Jika memang demikian, berarti adanya beasiswa-beasiswa
ini dalam rangka mendorong percepatan hari kiamat.
Apakah memang demikian? Entahlah, bukan kapasitas saya untuk
membenarsalahkan tentang hal itu. Tapi yang pasti, saat ini telah banyak itu
beasiswa-beasiswa untuk para mahasiswa yang hafal atau sedang menghafal Al-Qur’an.
Selain itu, saya juga pernah mendengar salah satu pengasuh pondok pesantren
yang justru memotivasi para santrinya yang hafal Al-Qur’an untuk mengambil
beasiswa itu. Karena bagaimana pun itu adalah kesempatan bagus untuk bisa
mengembangkan diri.
Jadi, kesimpulan akhirnya? Tidak begitu jelas apa yang ingin saya
simpulkan. Tapi yang pasti, ada pelajaran berharga dari film “kalam-kalam
langit” yang disutradarai Tarmizi Abka ini, yakni agar kita lebih hati-hati
dalam memperlakukan Kalam-kalam Langit yang Agung itu. Jangan sampai kita
menggadaikannya hanya demi hadiah-hadiah keduniawiaan, apalagi menjadikannya sebagai
alat untuk mencari dunia.
Menutup tulisan ini, saya ingin mengutip pesan salah satu Kyai khos,
yang juga sering dipesankan orangtua saya terkait dengan Al-Qur’an, bahwa:
Al-Qur’an iku keramat, openono ben uripmu kerumat. Tapi yen gak
mbok rumat, iso-iso uripmu bakal temporat (Al-Qur’an
itu adalah keramat, jaga dan peliharalah, maka hidupmu jug akan terjaga. Tapi jika
tidak kau jaga, maka hidupmu akan berantakan).
Wallaahu
A’lamu bish Showab.
0 Response to "Kalam-Kalam Langit: Sebuah Refleksi"
Post a Comment