Refleksi "The Tao of Islam" Sachiko Murata (Part-1)
Sementara, ada yang menarik dari buku “The Tao of Islam” yang
ditulis oleh Sachiko Murata, seorang Muslimah Jepang, merupakan murid dari Toshihiku Izutsu baca: Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu), yang juga menjabat sebagai
Profesor Studi-studi Agama di State University of New York, . Kenapa saya katakan
sementara? Karena apa yang akan saya tulis ini baru secuil dari apa yang
diungkapkan Sachiko Murata dalam karyanya tersebut, dan tulisan ini bukan saya
maksudkan untuk mengulas isi buku tersebut, termasuk dalam segi judulnya. Misalnya
untuk menjawab apa maksudnya Tao Islam itu, atau apa hubungannya dengan Tao atau
yang dalam filsafat China disebut yin/yang. Bukan itu, melainkan lebih
kepada – bisa dikatakan – catatan kecil yang bersifat refleksi.
Dalam bab 2, Sachiko Murata membahas tentang dualitas Allah, yang
dari pembahasan tersebut, beberapa pertanyaan saya tentang realitas rasa
keberagamaan manusia (muslim) itu bisa terjawab. Sebagian ada komunitas orang
yang dalam ketaatan agamanya itu terkesan sangat kaku. Sehingga secara tidak
langsung, kelompok ini mengesankan bahwa Tuhan itu mudah marah dan mudah
tersinggung. Sehingga, apa saja yang tidak benar-benar dijelaskan dalam SOI
(standar operasional ibadah) nya tidak jelas, maka enggan melaksanakan. Kemudian
lagi, karena tidak mau membuat Tuhan itu marah, akhirnya apa saja yang
diperintahkan ya dikerjakan, tanpa ada proses mempertanyakan atau setidaknya
menggali makna terdalam kenapa ini diperintahkan dan itu dilarang. Intinya,
kelompok pertama ini memandang Tuhan itu – ya seperti tadi – mudah tersinggung
dan mudah marah.
Kemudian kelompok lainnya dalam melaksanakan ibadah ituterkesan
santai, santai bukan dalam arti nggegampang. Tapi lebih kepada sikap
moderat dalam menerima sesuatu yang memang secara SOI nya itu tidak begitu
jelas. Singkat kata, kelompok satu ini mengesankan bahwa Tuhan itu Maha nerimakne,
Tuhan itu santai, friendly dan istilah-istilah lainnya yang
menggambarkan kebalikan dari sikap yang cenderung keras dan kaku.
Pertanyaannya? Dari kedua kelompok ini, manakah yang bisa dikatakan
lebih baik, atau setidaknya lebih mencerminkan tingkat yang lebih tinggi dari
setiap kelompok? Jika memakai konsep The Tao of Islam nya Sachiko Murata, maka
jawaban dari pertanyaan itu adalah semua baik, semuanya juga sama juga benar. Kenapa
benar semua? Ya, semuanya benar karena penyikapan kelompok-kelompok tersebut
terhadap diri Tuhan itu berangkat dari sesuatu yang berbeda.
Dualitas Allah yang ditunjukkan Sachiko Murata dalam bukunya itu
menyinggung salah satu bab tentang dualitas antara “keagungan” dan “keakraban”.
Keagungan adalah yang, sedangkan keakraban adalah yin. Yang itu
lebih bersifat menuntut, berkuasa, dan superior. Sementara yin itu lebih
bersifat represif, menerima dan pasif. Bagi kelompok yang pertama tadi,
menunjukkan bahwa mereka lebih mengedepankan pemaknaan Tuhan sebagai yang, yaitu
merasa takjub akan kebesarannya dan kekuasaannya. Ketika mereka menempatkan
konsep yang itu, maka mereka enggan melakukan sesuatu yang bisa jadi itu
membuat Tuhan murka. Jadi, manusia di sini bertindak sebagai pihak yin, yang
pasif, represif dan menerima apa adanya.
Kemudian, ketika dalam memandang Tuhan sebagai yin, yaitu
yang bersifat represif dan menerima, berarti kelompok ini bukan melihat Allah
dalam wujud “keagungan”, tapi “keakraban”. Sehingga, manusia berada pada posisi
yang. Tentu karena berlaku sebagai yang, maka manusia ini bisa
akrab dengan Tuhan.
Lebih mudahnya seperti ini, dijelaskan bahwa ada perbedaan yang
mendasar ketika kita melihat Allah dalam jubah keagungan-Nya, dengan ketika
kita melihat-Nya dalam jubah keakraban. Jubah Keagungan, menjadikan Allah dalam
posisi yang, dan manusia dalamm posisi yin. Sementara jubah Keakraban”
memposisikan Allah sebagai yin, dan manusia sebagai yang. Sachiko
Murata menganalogikan, bahwa bentuk yang pertama itu ibarat seorang hamba yang
sedang menghadap Rajanya. Karena dia takjub dengan kekuasaan sang raja, maka
dia bersikap dengan sangat hati-hati, jangan sampai sikap yang ditunjukkan
ketika menghadap raja itu menjadikan raja tidak suka. Sementara, untuk
keakraban, ibarat – ini menurut analogi saya sendiri – Abu Nawas, Nasrudin Hoja
atau tokoh-tokoh yang berada di samping raja. Kalau kita pernah baca
kisah-kisah Abu Nawas atau Nasrudin Hoja, nampak karena kedekatan dan
keakrabannya dengan Rajanya, mereka berdua dalam sekali waktu terkesan berani
bertindak yang jika itu dilakukan oleh rakyat biasa, mungkin akan berbuah
hukuman mati.
Atau lebih jelasnya untuk yang “keakraban” ini diilustrasikan oleh
Sachiko Murata dengan kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Musa. Dikisahkan bahwa Nabi
Ibrahim pernah meminta kepada Allah agar diperlihatkan kepadanya bagaimana Allah
akan menghidupkan orang-orang yang telah meninggal, kelak di hari akhir. Kemudian,
Nabi Musa yang meminta pada Allah untuk menampakkan diri-Nya. Kedua permintaan
tersebut, tidak akan berani dilontarkan oleh hamba yang tidak benar-benar akrab
dengan Allah. Tapi, karena Nabi Musa dan Nabi Ibrahim itu memanglah
kekasih-kekasih-Nya, maka ketika mereka berdua menuntut sesuatu yang sebenarnya
tidak bisa begitu saja diminta, Allah tidaklah marah. Kenapa? Jawabannya adalah
karena Allah tampil dengan jubah “keakraban-Nya”.
Sebenarnya masih banyak lagi dualitas-dualitas Allah yang di situ dapat
menjelaskan pada kita dengan sangat detail tentang apa yang mungkin menjadi
pertanyaan yang tak pernah terjawabkan, seperti dalam hal wujud ketaatan yang
saya bahas dalam tulisan ini. Kemudian, kemarin saya sempat memperbincangkan
ini dengan teman saya, dia mengingatkan bahwa dalam perkuliahan yang pernah
kita terima, dosen kami juga menjelaskan tentang The Tao of Islam-nya Sachiko
Murata ini. Teman saya itu mengingatkan kembali bahwa yang paling bisa membawa
perubahan itu, dianatara yin dan yang, adalah pihak yin. Yaitu
yang represif, menerima dan pasif. Misalnya dalam sikap membaca Al-Qur’an,
dosen saya itu menjelaskan bahwa ketika kita membaca A-Qur’an, ketika kita
memposisikan diri sebagai yang, maka apa yang akan kita dapatkan dari
Al-Qur’an lebih sedikit dibanding jika kita memposisikan diri sebagai yin. Kalau
kita di posisi diri kita sebagai yang saat membaca Al-Qur’an, maka ya Al-Qur’an yang akan menjadi yin, artinya
AL-Qur’an ya hanya menerima apa pemaknaan yang kita punyai saja, tidak lebih. Sebaliknya,
ketika kita memposisikan diri sebagai yin, dan Al-Qur’an sebagai yang,
maka yang berkuasa, yang memililki otoritas penuh adalah Al-Qur’an. Otoritas
atas apa? Ya atas diri kita yang di posisi yin, yaitu posisi yang menerima
dan represif itu tadi. Atau dengan kata lain “biarkan Al-Qur’an yang memiliki
otoritas penuh terhadap diri kita, bukan sebaliknya kita yang memiliki otoritas
akan Al-Qur’an.
Saya cukupkan sekian. Catatan akhir, bisa jadi apa yang saya
sampaikan ini tidak sesuai dengan apa yang ada dalam karya Sachiko Murata itu. Karenanya,
akan lebih afdlol jika membaca langsung karya tersebut. Karena memang
seperti yang saya sebutkan di awal, ini bukan mengulas atau meresensi isi buku
tersebut, melainkan hanya sebentuk refleksi yang semoga bisa memberikan
manfaat, walau hanya sedikit.
Malang, 18
Maret 2016, 18.33 WIB
0 Response to "Refleksi "The Tao of Islam" Sachiko Murata (Part-1)"
Post a Comment