Catatan Kecil: Gerhana dan Cara Menyikapinya
Siang ini, kultum di masjid Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim
membahas tentang fenomena Gerhana Matahari yang terjadi pada hari Rabu (9 Maret
2016) kemarin. Materi disampaikan oleh bapak Dr. Abu (lengkapnya penulis kurang
begitu ingat, karena memang ketika dipersilahkan, penyebutan nama beliau kurang
jelas).
Dalam materi yang beliau sampaikan, ada tiga poin penting yang
berkaitan dengan Gerhana Matahari yang terjadi sehari sebelumnhya. Pertama,
tentang ketentuan syariat kesunnahan sholat gerhana; kedua, penyikapan terhadap
fenomena gerhana; dan ketiga adalah penyebutan fenomena alam terhadap gerhana
matahari yang terjadi.
Pertama, tentang ketentuan syariat deari kesunnahan sholat gerhana.
Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa matahari dan bulan adalah dua tanda dari
beberapa tanda kekuasaan Allah, yang lanjutannya seingat penulis jika ada yang
melihat gerhana, maka perbanyaklah takbir, istighfar dan melaknakan sholat
(untuk lebih jelas terkait hadist dimaksud, silahkan klik di sini). Pemateri kemudian
menceritakan, pada pagi hari tadi, ada jama’ah beliau yang mempertanyakan
terkait ketentuan sholat gerhana tersebut. jama’ah tersebut menceritakan jika
ia mendengarkan dari radio ada ustadz yang menyebutkan jika kesunahan sholat
gerhana itu hanya bagi orang yang menyaksikan/melihat gerhana matahari, sesuai
dengan redaksi hadistnya. Artinya, jika kita tidak melihat gerhana tersebut,
maka kita tidak terkena ketentuan kesunahan sholat gerhana. Jama’ah tersebut
kemudian meminta penjelasan dari pemateri. Singkat kata, jawaban pemateri
terhadap jama’ah yang bertanya adalah pemahaman tersebut, yang menyatakan jika
kesunahan sholat gerhana itu khusus untuk yang melihat saja, atau dengan kata
lain tidak dianjurkan bagi yang tidak melihat gerhana itu untuk melakukan
sholat gerhana adalah kurang tepat. Kemudian pemateri menyebutkan beberapa
dalil pendukung yang tidak bisa penulis sampaikan di sini. Tapi, yang sangat
penulis ingat adalah bahwa argumen atas jawaban pemateri adalah ketentuan
syariat sholat gerhana tersebut di-qiyas-kan pada penentuan awal bulan Ramadhan
dan Syawal. Di mana tidak diharuskan semua orang yang hendak puasa Ramadhan dan
ber-Idul Fitri harus melihat hilal. Jika memang di suatu daerah tersebut sudah
dipastikan hilal nampak, maka umat Islam sudah bisa melaksanakan puasa atau
merayakan Idul Fitri tanpa harus melihat hilal. Hal ini juga berlaku pada
gerhana matahari. Jika memang di suatu daerah sudah ditetapkan akan terjadi
gerhana, maka ketentuan syariat tentang kesunah-muakkadah-an sholat gerhana
berlaku pada semua umat Islam yang berada di daerah tersebut.
Kedua, tentang penyikapan terhadap fenomena gerhana matahari
kemarin yang menurut pemateri banyak yang dalam penyikapannya sudah keluar dari ketentuan syar’i. Pemateri menjelaskan
– dengan mengutip Hadist Nabi kembali – bahwa gerhana matahari ini bukanlah
suatu kejadian yang harus disikapi dengan ekspresi-ekspersi gembira. Dalam hadist-hadist
Nabi tentang gerhana diekspresikan bahwa tidak seharusnya kita saat menyaksikan
kejadian menakjubkan ini dengan bersorak ria. Seharusnya gerhana yang kita
saksikan menjadikan kita semakin takut pada Allah, takut dalam arti kita
semakin ingat akan kuasa-Nya. Ada pernyataan pemateri yang menarik, bahwa kita
harus merenung, bukan malah bersorak ria, “Jika untuk menjajarkan tiga benda
langit saja mudah bagi Allah, apalagi untuk membenturkannya satu sama lain saat
kiamat tiba, tentu akan sangat mudah”. Sehingga, sudah selayaknya fenomena
gerhana kita sikapi dengan banyak mengintrospeksi diri. Dan jika dilihat dari
beberapa Hadist Nabi, termasuk bagaimana kaifiyah sholat gerhana yang serba
panjang itu, termasuk rukuk yang dua kali dalam satu rakaat menandakan bahwa
ini adalah kejadian yang seharusnya menjadikan kita takut hingga mengharuskan
kita memperbanyak takbir, istighfar dan sebagainya, bukan malah menjadikan
fenomena ini sebagai ajang ber-euforia.
Ketiga, terkait dengan penyebutan “fenoma alam” pada gerhana
matahari atau pun bulan. Menyebutnya dengan fenomena alam saja, tanpa
mengaitkannya dengan kuasa Ilahi dikhawatairkan akan menumbuhkan pemahaman
terhadap anak-anak, bahwa gerhana yang terjadi itu memang sudah menjadi hukum
alam. Memang, terdengar agak berlebihan, tapi tidak jika kita merenungkannya
kembali. Bukankah ada satu golongan filsafat (lagi-lagi penulis tidak begitu
jelas menangkap infromasi yang disampaikan pemateri terkait golongan filsafat)
yang menyatakan bahwa alam semesta ini berjalan sesuai dengan ketentuannya
sendiri tanpa ada campur tangan Dzat (baca: Tuhan) di dalamnya. Jika kemudian
fenomena gerhana ini hanya disebut sebagai fenomena alam saja, tanpa
mengaitkannya dengan Kuasa Ilahi, bagaimana gerhana ini merupakan tanda-tanda
kekuasaan Allah, terutama ketika mengajarkan pada anak-anak. Dikhawatirkan lama
kelamaan, para anak didik akan semakin jauh dari Allah, Yang Maha Pencipta, dan
Maha Mengatur segala yang ada di alam semesta ini.
Semoga ini bisa menjadi bahan renungan kita bersama dan semoga yang
sedikit ini bermanfaat. Amiiin
Malang, 10 Maret 2016, 18.00 WIB
0 Response to "Catatan Kecil: Gerhana dan Cara Menyikapinya"
Post a Comment