Kematian: Kucing dan Manusia



Kucing, adalah salah satu hewan yang disukai oleh Baginda Rasul Muhammad saw. Entah ini kebetulan atau tidak, dalam tradisi (semoga tidak salah sebut istilah) Jawa, kucing juga dianggap sebagai hewan yang istimewa, diceritakan jika kucing memiliki banyak nyawa, kemudian juga ada yang meyakini bahwa kucing bisa menunjukkan pertanda kematian, dan lagi kucing juga dianggap bisa membawa kemudlaratan bagi siapa yang membunuhnya. Oleh karena itu, ada yang percaya bahwa ketika seseorang secara tidak sengaja membunuh kucing, misalnya ketika kita sedang mengendarai motor kemudian menabrak kucing hingga kucing tersebut mati, maka agar kita tidak mendapat keburukan, maka mayat kucing tersebut harus kita kuburkan dengan baik.
Penulis masih ingat, beberapa kali menguburkan kucing, baik yang mati karena kecelakaan atau karena sakit. Dan setiap kali menguburkan kucing, selalu mayat kucing itu penulis bungkus kain berwarna putih, kemudian kucing itu pun penulis kuburkan menghadap ke barat (kiblat). Dan jika kebetulan ada bunga yang sedang bersemi di sekitar penulis akan penulis taburkan di atas kuburan kucing tersebut. Mungkin sebagian akan menganggap apa yang penulis lakukan ini berlebihan, dan bahkan bisa jadi mengandung sesuatu yang bertentangan dengan agama. Tapi, terlepas apakah itu benar atau salah menurut pandangan agama, jika saat ini pun ada kucing yang mati, dan sangat memungkinkan bagi penulis untuk memperlakukan mayatnya seperti itu tetap penulis akan memperlakukannya sedemekian itu.
Kemudian, beberapa waktu yang lalu, penulis sempat mendengarkan sebuah kajian agama di radio, kebetulan memang kajian ini sudah cukup terkenal. Dalam salah satu sesi, ustadz yang memberikan materi keagamaan sempat menyinggung tentang orang yang sudah meninggal. Bahwa dikatakan kewajiban kita yang masih hidup terhadap orang yang meninggal adalah memandikan, mengkafani, dan menguburkan. Setelah itu sudah, tidak ada yang perlu dilakukan oleh orang hidup terhadap orang yang telah meninggal. Tak perlu diadakan itu selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari dan seterusnya, termasuk tidak perlu berziarah kubur, karena di samping tidak ada tuntunan dalam Islam, juga disinyalir mengandung kemusyrikan, karena meminta-minta pada orang yang sudah meninggal.
Sekilas, apa yang disampaikan ustadz tersebut memang benar, tentunya terkait kewajiban orang muslim terhadap saudaranya yang telah meningg adalah memandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkan. Tapi, jika kemudian hanya berhenti di situ saja, tentu – menurut penilaian pribadi – tidak ada bedanya antara kucing dan orang yang telah mati. Bagaimana tidak berbeda? Lha kalau orang yang meninggal begitu dikuburkan terus sudah, tidak perlu diziarahi, tidak perlu diperingati kematiannya dan sebagainya, ya sama saja dengan kucing yang penulis kuburkan tadi.
Berkali-kali penulis renungkan tentang hal ini, bahwa ziarah kubur, mendoakan orang mati, memperingati hari kematian dan sebagainya dikatakan sebagai bid’ah. Dan ini ternyata sudah mulai diterima oleh beberapa orang di sekitar penulis. Apakah ini salah? apakah salah jika meyakini bahwa ziarah kubur, mengirim doa, memperingati kematian seseorang adalah bid’ah? Tentu bukan kapasitas penulis untuk menilai hal tersebut, namun yang pasti penulis cukup merasa ngeri saja menyaksikan hal tersebut. Menyaksikan orang-orang yang awalnya rajin mengunjungi makam kakek-neneknya, orang tuanya, suadaranya, para kiyai dan sebagainya kini sudah tidak lagi melakukan itu. Alasannya tidak lain karena tidak ada tuntunannya. Dan jujur saja, pemahaman seperti ini masih belum bisa penulis pahami.
Khusus untuk ziarah kubur, penulis merasakan sendiri bagaimana anggapan kelompok yang meyakini ziarah kubur itu bid’ah karena mengandung kesyirikan, yakni meminta-minta pada orang yang sudah meninggal adalah salah besar. Penulis, dan mungkin banyak orang yang masih melakukan ziarah kubur tentu sangat tahu bahwa maksud menziarahi makam saudara atau para leluhur kami bukanlah untuk meminta kepada mereka. Tapi, lebih kepada bentuk kasih sayang kami pada mereka. Kami meyakini bahwa mereka yang telah meninggal itu tidaklah benar-benar meninggalkan kita. Mereka hanya pindah alam, tapi bukan hilang. Kakek penulis pernah mengibaratkan bahwa perumpamaan alam kita dengan alam orang yang telah meninggal adalah seperti ibarat dipisahkan oleh tirai bambu. Bagi yang berada di posisi luar, ia tidak bisa melihat yang ada di bagian dalam, sementara yang di dalam bisa melihat yang di luar. Yang di dalam adalah orang yang telah meninggal, sementara yang di luar adalah orang yang masih hidup. Sehingga, keluarga kita yang telah meninggal sudah barang tentu bisa menyaksikan keseharian kita, termasuk apakah kita sering mengunjungi makamnya atau tidak.
Anggapan bahwa ziarah itu meminta pada orang telah meninggal adalah kesalahpahaman yang dipaksakaprahkan. Dari sejak penulis mengenal ziarah kubur sampai sekarang, tidak pernah itu sekalipun punya keyakinan untuk meminta-minta pada kuburan atau orang yang sudah meninggal. Kalau minta didoakan iya, tapi itu kan bukan berarti meyakini bahwa orang mati bisa memberi apa yang kita minta. Permintaan itu tetap ditujukan pada Allah Yang Maha Memberi, bukan makhluknya yang telah mati.
Tapi ya sudahlah, penulis sekali lagi tidak ingin menganggap mereka yang membid’ahkan ziarah kubur dan mengirim doa atau memperingati hari kematian salah. Hanya saja, penulis ingin mengajak merenung, kita lepaskan keyakinan ada tau tidaknya dalil yang shorikh tentang ziarah kubur. Pertama, apakah kita yakin jika orang yang telah meninggal benar-benar meninggalkan kita? Jika jawabannya iya, dalam arti kita yakin mereka benar-benar meninggalkan dunia ini dan tidak bisa menyaksikan kita, maka berhenti saja sampai. Tapi, kalau kita tidak yakin, dalam artian kita yakin bahwa orang yang meninggal itu hanya pindah alam tapi masih bisa menyaksikan kita, maka kita lanjutkan ke bagian selanjutnya. Kedua, jika orang yang sudah meninggal dapat menyaksikan kita yang masih hidup, apakah kita pernah berpikir bagaimana perasaan mereka yang telah meninggal melihat kita, anak turunnya tidak pernah sekalipun menengoknya, tak pernah sekalipun mengunjungi makamnya, sampai-sampai mereka yang masih hidup tak ingat di mana orang tua, anak, saudara mereka pernah dikubur. Parahnya lagi, mengunjungi makam tidak pernah, mengirim doa tidak pernah. Coba kita bayangkan sendiri ketika kelak kita mati, betapa kesepiannya kita ketika tak ada satu pun anak cucu dan suadara kita yang mengunjungi atau mengirim kita doa. Atas semua yang telah mereka lakukan pada kita semasa hidup, kasih sayang, cinta, pengorbanan dan sebagainya, tapi setelah mereka meninggal, kita melupakan begitu saja dengan dalih tidak ada dalilnya, tidak ada tuntunannya dan sebagainya.
Bagi pembaca yang pernah tinggal di pondok pesantren atau asrama, pasti tahu betul bagaimana bahagianya ketika ada orang tua kita yang mengunjungi kita di pondok, tidak hanya itu, ketika mereka balik pun kita diberi uang jajan. Atau minimal jika tidak dikunjungi, biasanya kita dikirimi uang melalui wesel atau ditransfer melalu bank tertentu. Seperti inilah yang penulis yakini, bahwa orang yang telah meninggal itu ibarat kita yang sedang di pondok atau asrama. Penulis ingat salah satu ceramah seorang kyai, bahwa ‘sudahlah, biarkan saja yang tidak mau ziarah kubur, tidak mau mengirim do’a yang katanya tidak akan sampai itu nanti biar merasakan sendiri ketika mereka sudah meninggal. Tetangga-tetangga di makam setiap malam Jum’at selalu mendapat kiriman paket do’a dan dikunjungi makamnya, dia tidak ada yang mengunjungi dan mengiriminya do’a.”
Beberapa hari yang lalu, adalah acar haul kakek penulis yang ke-22. Paginya, beberapa keluarga bersama-sama mengunjungi makam beliau. Di sana, kami tidak hanya mengirim do’a, tapi juga bersama-sama membersihkan makamnya. Dalam hati, penulis bergumam, “lha tradisi apik e koyok ngene kog di bid’ahke”, bagaimana bisa tradisi sebagus ini dikatakan mengandung syirik? Bukankah dengan berziarah seperti ini kita bisa ingat mati, selain itu kita juga bisa mengingat jasa-jasa beliau yang telah lebih dulu berpulang ke pangkuan Ilahi Rabbi. Memori-memori tentang beliau tentu akan kembali teringat jika kita menyaksikan kubur beliau, bahwa di bawah gundukan tanah ini terbaring sosok yang sangat berjasa buat kita dan sebagainya. Tapi, yang paling inti adalah itu tadi, ziarah kubur dan mengirim do’a itu adalah salah satu bentuk bakti kita, serta bentuk betapa kita berterimakasih kepada para pendahulu kita, karena tanpa adanya beliau-beliau dan jasa-jasa beliau itu tentu kita tidak bisa sampai seperti ini. sedih rasanya ketika melihat ada orang sukses yang tak pernah sekalipun mengunjungi makam orang tuanya, atau tak pernah mengunjungi makam kakek-neneknya, hingga mereka lupa di mana makam orang tua mereka itu, tak pernah mengirim do’a, tak pernah menghadiahi shodaqoh dan sebagainya hanya karena bertendensikan itu semuanya tidak ada dalilnya.
Selain itu, apakah kita akan menyamakan keluarga kita yang meninggal itu dengan kucing? “Sudahlah, kalau sudah dikubur ya sudah, itu kewajiban kita sebagai orang yang masih hidup sudah terpenuhi”, tak bisa dibayangkan betapa meyakitkannya pernyataan seperti ini.
“Tuhan, jika niatan baik kami untuk mengunjungi makam dan mendoakan para saudara, para leluhur, dan para kekasihmu ini Engkau anggap sebagai perbuatan syirik dan bid’ah hanya karena engkau tidak secara terang-terangan memberikan S.O.P yang jelas, maka anggap saja perbuatan kami ini sebagai bentuk bakti kami, bentuk kasih sayang kami, bentuk cinta kami pada para leluhur kami, pada saudara-saudara kami, dan para kekasih-kekasihmu yang telah Engkau panggil terlebih dulu. Kami yakin jika Engkau paling tahu apa yang ada dalam hati kami melebihi mereka yang menuduh kami menetang-Mu dan menyekutukan-Mu”

0 Response to "Kematian: Kucing dan Manusia"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel