Refleksi Sejarah Hidup Muhammad: Nabi dan Atheis
Untuk kesekian kalinya, saya jatuh
cinta pada buku “Sejarah Hidup Muhammad” karya Muhammad Husain Haekal.
Perjumpaan pertama kali saya dengan buku ini sekitar 7-8 tahun yang lalu, yang
sekali baca nampak ada dorongan untuk senantiasa membuka lembar demi lembar
halaman buku ini. Buku yang telah dialihbahasakan oleh Ali Audah ke dalam
bahasa Indonesia ini benar-benar – menurut penulis – memuat ibarat magnet yang
menjadikan enggan untuk berlama-lama menjeda waktu bacanya. Bukan bermaksud
melebih-lebihkan penilaian penulis, namun memang apa yang penulis rasakan
ketika membaca buku ini adalah seakan-akan penulis di bawa masuk ke dalam
suasana di mana Nabi saat masih hidup. Bagaimana ketika beliau tumbuh,
bagaimana beliau berinteraksi dengan orang-orang Makkah, kemudian bagaimana
ketika beliau pertama kali menerima wahyu, saya serasa dibawa ke dalam suasana
14 abad silam tersebut. Bahkan sampai ketika dikisahkan betapa Umar merasa
teramat sedih mendengar berita wafatnya Nabi, bagaimana ia menantang siapa saja
yang mengatakan Nabi telah wafat, akan berhadapan dengannya. Di mana sikap itu
menandakan betapa mencintainya Umar terhadap Nabi Muhammad SAW. Kesedihan itu
begitu terasa ketika saya sampai di bagian itu.
Kemudian, beberapa minggu yang
lalu saat mengunjungi toko buku, perhatian penulis tertuju pada buku tebal
dengan judul yang sudah amat familiar dan penulis buku tersebut yang juga masih
sangat saya ingat. Ya, buku “Sejarah Hidup Muhammad” karya Muhammad Husain
Haekal. Hanya saja, buku tersebut dengan penampilan baru, berbeda dengan buku
yang telah saya baca sebelumnya. Selain itu, penerjemahnya serta penerbitnya
pun berbeda. Setelah beberapa saat menimbang, akhirnya saya putuskan untuk
memiliki buku ini.
Setelah beberapa minggu tak
tersentuh sama sekali, akhirnya beberapa hari ini saya bisa membaca buku
setebal 850 an halaman ini. Dan dari 31 bab yang ada, baru 5 bab yang saya baca.
Tapi, dari 5 bab yang telah terbaca, ada dua hal yang terbesit yang saya rasa
perlu penulis bagikan di sini. Yakni kisah saat Nabi Muhammad merenungkan Sang
Pencipta di gua Hira. Disebutkan di dalam buku tersebut:
“... Tidak! Langit dengan seluruh bintang
hanyalah benda-benda yang tidak bisa mencipta atau memberi manfaat dan mudarat
kepada manusia. Langit dengan segenap keluasan dan kebesarannya hanyalah benda
seperti juga bumi. Atau, mungkinkah kebenaran itu ada pada eter yang tidak
terbatas dan tidak berkesudahan? Lantas, apakah eter itu? Apa hidup yang kita
alami sekarang dan besok akan berkesudahan? Dari manakah asal hidup itu dan
dari mana pula sumbernya? Apakah bumi dan para penghuninya tercipta secara
kebetulan? Apabila bumi dan hidup ini sudah memiliki kekuatan yang pasti dan
tidak berubah-ubah, tidak mungkin bila hukum dasarnya adalah kebetulan..”
Dan entah mengapa, saat saya membaca
paragraf ini, pikiran saya langsung tertuju pada Stephen Hawking, ilmuwan yang
sangat populer dengan teori kosmologi,
gravitasi
kuantum, lubang hitam, dan radiasi Hawking yang juga dikenal luas sebagai orang Atheis.
Ada dua alasan kenapa sosok Hawking tiba-tiba muncul dalam pembacaan Sejarah
Hidup Muhammad. Pertama karena dalam kisah di atas, nampak bahwa Nabi Muhammad
menyangkal bahwa tidak mungkin bumi ini tidak tercipta begitu saja, pasti ada
Sang Maha Pencipta yang Maha Kuasa. Ini bertolak belakang dengan teori Hawking
yang mengatakan bahwa tidak ada campur tangan Tuhan dalam penciptaan alam
semesta, dan saya tidak akan membahas panjang lebar tentang ini.
Kedua, dalam benak saya pribadi
ketika membaca kisah Nabi Muhammad ketika beliau gelisah melihat kelakuan
masyarakat di sekitarnya yang suka maksiat, dan melihat kegemaran mereka
menyembah berhala, menjadikan Nabi Muhammad memutuskan untuk sering ber-tahannust
di Gua Hira. Dalam perenungannya, beliau bertanya-tanya tentang siapa yang
telah menciptakan kehidupan dan alam semesta, kemudian siapa yang pantas
disembah? Nabi merenungkan semua itu dalam kesendiriannya saat ber-tahannust.
Intinya, Nabi mencurahkan akal dan pikirannya untuk menemukan jawaban dari
kegundahan hati beliau. Kemudian, sosok Hawking yang dikatakan sebagai atheis
karena beberapa pernyataan dan teori yang nampak menafikan Tuhan dalam eskalasi
alam semesta ini.
Tapi entah mengapa, justru saya
mempunyai penilaian yang mungkin sedikit nyeleneh tentang Hawking ini. Saya
teringat video Dr. Zakir Naik ketika membahas tentang ateis, bahwa ia memberi
selamat kepada orang atheis, karena orang atheis ini sudah menggunakan akalnya
sehingga mereka berkesimpulan bahwa Tuhan tidak ada. Ya, jika melihat hal ini
kemudian mengingat proses Nabi Muhammad untuk menemukan Tuhan, yaitu dengan
berpikir dan merenung. Kog saya jadi berpikir kalau para atheis itu
malah sedang dalam proses menggapai derajat kenabian. Misal Hawking, dia
mencurahkan semua tenaga dan pikirannya untuk penelitian-penelitian, dikerahkan
semua itu ilmunya. Sama seperti Nabi yang mencari Tuhan dalam tahannust
nya.
Sebelum saya lanjutkan tulisan
ini, mungkin perlu untuk diperjelas bahwa di sini bukan berarti saya menyamakan
nabi Muhammad dengan para atheis bukan, sekali lagi bukan. Hanya saja ada
pikiran-pikiran nakal yang hinggap di benak penulis. Lanjut, bahwa bagaimana
Nabi mencari Tuhan atau dalam buku Sejarah Hidup Muhammad disebutkan sebagai
persiapan Nabi untuk menerima tugas agung sebagai Rasul akhir zaman, tidak jauh
berbeda dengan Hawking ketika melakukan eksperimen-eksperimen. Keduanya
sama-sama menggunakan kemampuan yang dimiliki semaksimal mungkin. Hanya saja,
takdir Tuhan memang berbeda, karena Nabi Muhammad telah ditakdirkan (bahkan sebelum
alam semesta ini diciptakan) menjadi kekasih Allah, maka tidak dengan Hawking
yang ditakdirkan sebagai seorang yang “dicap”
atheis.
Penulis dicap dalam tanda kutip di
atas karena memang bukankah cap itu adalah kesimpulan yang dibuat manusia? Seperti
pada tulisan sebelumnya (baca: Kita, Atheis dan Murtad), bahwa orang atheis itu
telah menggunakan akalnya semaksimal mungkin untuk sampai pada kesimpulan tidak
ada Tuhan. Tapi bukankah pengakuan itu tinggal ditambah bahwa “Tidak ada Tuhan
Selain Aillah”, tinggal ditambah selain Allah saja maka mereka akan mengimani
adanya Tuhan. Berbeda dengan – mungkin – kita yang dengan mudahnya mengucapkan “Laa
ilaaha illa Allaah”. Tapi, tak pernah memaksimalkan potensi akal pikiran yang
telah Allah berikan pada kita untuk sampai pada pengakuan Tiada Tuhan Selain
Allah.
Jujur saja, saya saat ini tidak berpikir
bahwa atheis itu buruk. Meskipun juga tidak mengatakan mereka baik. karena –
belajar dari Cak Nun - hidup jangan selalu dipandang hitam-putih. Tapi kita
perlu melihat semua ini secara makro. Iya, Tuhan memang telah menakdirkan ada
Nabi, ada Rasul, ada juga orang yang seperti Stephen Hawking yang ditakdirkan
pula dicap atheis dan sebagainya. Semua itu memang sudah ditakdirkan oleh-Nya,
dan bukan tugas kita untuk menghakimi mereka yang kedudukannya sama dengan kita
yaitu sama-sama makhluk ciptaan-Nya. Sampai sekarang saya masih memegang sebuah
adagium, yang entah ini berasal dari mana, tapi yang pasti terakhir saya
mengingatnya dari mbah Sudjiwo Tejo. Bahwa ketika kita mengatakan tidak ada,
secara tidak langsung kita meyakini bahwa kemungkinan ada itu mungkin. Sebaliknya,
ketika kita mengatakan bahwa Tuhan ada, maka bisa jadi saat yang sama kita
meniadakan Tuhan. Itulah kenapa, bisa jadi orang-orang seperti Stephen Hawking
ini, ketika mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada campur tangan-Nya dalam
penciptaan alam semesta, di saat yang sama justru sangat meyakini bahwa alam
semesta ini adalag karya agung Tuhan Yang Maha Kuasa.
Bagaimana dengan kita? Atau agar
tidak menyinggung siapa pun, penulis ubah pertanyaannya bagaimana dengan saya? Yes,
saya sangat meyakini bahwa Tidak ada Tuhan Selain Allah. Tapi apa benar
demikian? Jangan-jangan dibalik keyakinan tersebut terkandung penyangsian atas
Allah? Kenapa demikian? Penulis sangat menyadari bahwa ada saat di mana penulis
merasa bahwa apa yang penulis kerjakan bukanlah wujud dari laku seseorang yang
telah bertauhid. Ada kalanya penulis menggunjing, memfitnah, mengumpat dan
sebagainya yang itu tidak seharusnya dilakukan bagi seseorang yang telah
mengikrarkan bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT.
Tulisan yang entah apa maksudnya
ini (karena memang saat menulis ini entah mengapa ada semacam perasaan yang tak
terdefinisikan, bahkan untuk sampai pada kalimat ini, penulis perlu jeda
beberapa kali), penulis tutup dengan:
“Ada saat di mana saya berpikir
jika orang seperti Stephen Hawking ini, atau atheis lainnya adalah sosok-sosok
yang hendak meniru laku para Nabi dan Rasul. Hanya saja, Tuhan mempunyai alur
ceritanya sendiri, bahwa Stephen Hawking dan kawan-kawan itu memang di-plot
sebagai pemeran yang mendapat julukan atheis di muka bumi ini, dan bukan sebagai
Nabi/Rasul.” Wallâhu A’lamu bish-Shawâb
Malang, 16/12/2015, 18:57 WIB.
0 Response to "Refleksi Sejarah Hidup Muhammad: Nabi dan Atheis"
Post a Comment