Refleksi dari "S2 atau Angon Wedhus?"
Seperti hari-hari biasa, seusai sholat jamaah dluhur di masjid
Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim, selalu ada kultum yang disampaikan oleh
dosen-dosen. Kebetulan siang itu, dosen yang diminta mengisi kultum adalah Dr.
Agus Mulyono. Sebelumnya, saya pernah menulis kultum beliau di majlis yang
sama, yang kala itu beliau mengkritik tentang tertumpuknya skripsi-skripsi yang
ada di perguruan-perguruan tinggi (baca: Bagaimana Nasibmu Duhai Skripsi?). Siang itu pun beliau kembali
melakukan kritik, atau lebih halusnya mengoreksi praktek
perkuliahan-perkuliahan di kampus-kampus, tak terkecuali juga dalam perkuliahan
pascasarjana.
Dengan tanpa ba-bi-bu, setelah salam dan memanjatkan
hamdalah serta shalawat, pak Agus Mulyono langsung bercerita tentang tulisan
yang beliau buat dan cukup banyak menyita perhatian pembacanya. Tulisan itu
beliau beri judul “S2 atau Angon Wedus?”. Iya, judul tulisan ini pun
terinspirasi dari cerita beliau. Beliau kemudian bercerita, bahwa ada
mahasiswanya yang minta rekomendasinya untuk mendaftar S2 di salah satu
perguruan tinggi. Kemudian pak Agus bertanya pada mahasiswanya, “persemesternya
berapa itu kuliah S2?”. “Delapan juta pak”, jawab mahasiswa. “Lantas berapa
tahun bisa lulus?”, “empat tahun pak”. Artinya, untuk biaya pendidikannya saja
butuh 32 juta. Kemudian beliau bertanya pada mahasiswanya lagi, “untuk kosnya
dua tahun?”. “Sekitar 6-7 juta pak”. Oke, katakanlah kosnya 5 juta, berarti
total 37 juta. Kemudian, untuk makannya? Dua tahun, katakanlah 15 juta. Jadi,
total keseleuruhan adalah 52 juta.
(Baca: Mengenal Konsep Opportunity Cost)
(Baca: Mengenal Konsep Opportunity Cost)
Nah, jadi ini katakanlah ada si A dan si B. Si A kuliah S2 dengan
perhitungan biayanya 52 juta. Kemudian si B setelah lulus S1 bermodalkan uang
30 juta membeli 20 ekor kambing betina dan 3 kambing jantan. Singkat cerita,
setahun setelah keduanya memulai start, si B yang angon wedus (memlihara
kambing) sudah bisa menjual minimal 1 kambing perbulannya. Sedangkan si A masih
duduk di bangku kuliah. Sementara di perkuliahan, si A tidak jelas mendapatkan
apa, karena memang di perkuliahan itu isinya selalu begitu dan begitu. Dosen datang,
memberikan tema untuk dijadikan tugas makalah mahasiswanya. Kemudian pada saat
yang telah ditentukan, ada itu mahasiswa-mahasiswa yang berjejer di depan papan
tulis untuk presentasi.
Di sinilah pak Agus Mulyono mulai mengkritisi sistem perkuliahan
yang cuma meminta mahasiswa presentasi. Beliau bercerita pernah itu mengajar di
pascasarjana, kemudian di absensinya terlihat kehadiran beliau banyak yang
kosong dibanding dosen-dosen lainnya. Karena efektifnya 16 kali pertemuan, tapi
beliau hanya 12 kali, dan yang empat kosong. Kemudian beliau meminta maaf
kepada mahasiswanya karena masih banyak yang kosong dibanding dosen lainnya. Tapi
apa yang dikatakan mahasiswanya? “Gak pak, justru bapaklah yang paling rajin
masuk”, pak Agus kemudian bertanya, “lha ini absensinya penuh semua gitu kog?”,
“iya pak, absen penuh karena memang biasa digabung, sekali masuk absen 2-3 kali
pertemuan”. Inilah fenomena yang tidak sulit untuk ditemukan di beberapa
kampus, termasuk di pascasarjananya. Kuliah hanya pembagian tema, presentasi
yang tak jarang tanpa ada dosen pengampunya. Atau pun ada, tidak ada tindak
lanjutnya. Begitu selesai ya sudah selesai. Itulah kenapa ketika kuliah, begitu
masuk semester 2, materi di semester 1 lupa; masuk semester 3, materi semester
2 lupa; masuk semester 4, materi semester 3 lupa; dan ketika wisuda semua
materi terlupakan. Itu, menurut pak Agus Mulyono (dan ini juga saya ditemukan
di beberapa literatur) karena pembelajaran yang dilaksanakan tidak sesuai
kebutuhan peserta didik. Artinya, meminjam istilah Paulo Freire, pembelajaran
model “bank” masih sangat kuat mengakar di dunia pendidikan kita. Secara halus
peserta didik dipaksa untuk menerima materi yang sementara menurut pendidik
adalah penting, tapi belum tentu peserta didik itu punya kepentingan dengan
materi tersebut. Konsekuensinya, ya itu tadi, begitu masuk semester 2 materi di
semester 1 lupa dan seterusnya.
Menurut pribadi, hal ini bukan hal yang sepele. Apa yang dinyatakan
oleh pak Agus tersebut memang saya rasakan sendiri. Bagaimana materi
diperkuliahan yang telah penulis tempuh selama 4 tahun, terasa banyak yang
menguap begitu saja. Dalam suatu kesempatan, di grup WA, penulis bertanya
kepada teman-teman tentang materi apa yang masih diingat saat kuliah? Saat itu
hanya beberapa yang menjawab, itu pun menurut penulis hanya secara umum. Kalau
diperbolehkan memprosentase, paling-paling tidak lebih dari 10% yang masih
diingat. Dan anehnya, secara pribadi, materi yang penulis ingat kebanyakan
justru materi yang sebenarnya bukan bagian dari kurikulum saat itu, melainkan
materi yang secara tak sengaja dimunculkan teman penulis saat diskusi atau tak
sengaja diceritakan oleh para dosen. Dan sebagian yang masih penulis ingat itu
secara tidak langsung mempunyai signifikansi langsung dengan penulis.
Para jamaah yang hadir saat itu terlihat begitu antusias mendengar
ceramah pak Agus Mulyono. Antusias di sini bisa mengandung dua makna, pertama
karena yang disampaikan adalah sesuatu yang baru atau karena bisa jadi yang disampaikan
itu adalah sesuatu yang sebenarnya kita juga tahu tapi kita tidak berani mengungkapkan
itu, dan di saat ada yang berani menyampaikan hal itu, maka kita dibuatnya
memperhatikan dan akhirnya kita ikut manggut-manggut. Yang kedua inilah yang
menurut penulis yang menjadikan jamaah saat itu serasa dihipnotis dengan
ceramah pak Agus Mulyono. Penulis sendiri mengakui, bahwa apa yang disampaikan
beliau itu bukan hal yang baru, karena penulis juga pernah mengalami itu,
bertemu dengan dosen yang kehadirannya jarang-jarang tapi absensinya penuh. Ada
juga ya yang disebutkan sebagai pembelajaran sistem “bank”, dan seterusnya. Penulis
rasa jamaah sekalian juga mengalami langsung pengalaman yang diceritakan pak
Agus, hanya saja mereka dan juga penulis pribadi tidak berani atau enggan
mengungkapkannya di depan publik saja, sedangkan pak Agus berani.
Di akhir ceramahnya, beliau kemudian menceritakan keinginannya
memiliki sebuah lembaga pendidikan yang desainnya di luar pendidikan saat ini. Artinya,
beliau ciptakan sendiri kurikulumnya. Dan beliau yakin bahwa sekolah yang
didesain itu bisa lebih siap untuk mencetak manusia-manusia yang bisa terjun ke
masyarakat dan memberikan kemanfaatan. Karena sekarang ini, lulus S1 saja
ketika disuruh terjun ke masyarakat maka akan canggung. Salah satu faktor yang
menjadikan kecanggungan itu karena sistem pendidikan yang tidak mempersiapkan
peserta didik untuk mengenal dan nantinya bisa terjun di masyarakat. Dalam
desain pendidikannya, pak Agus mencontohkan, ketika musim pisang, maka yang
hendak diajarkan adalah semua tentang pisang, baik itu bilogi pisang, fisika
pisang, matematika pisang dan seterusnya. Sekilas, penulis teringat sekolah “Qoriyah
Thoyibah” di Salatiga.
Jujur saja, penulis tertarik dengan konsep pendidikan yang beliau
siapkan. Semoga cita-cita beliau bisa tercapai, dan pada akhirnya bangsa ini
bisa memiliki konsep pendidikan yang efektif dan efisien. Termasuk jika kembali
ke cerita mahasiswanya pak Agus yang meminta rekomendasi, pendidikan yang
sebegitu mahalnya jika kemudian di kelas hanya presentasi, kemudian dosennya
jarang masuk tapi penuh absensinya, bukankah ini ironi di atas ironi? Maka tidak
heran jika kemudian dikatakan adanya “kapitalisasi pendidikan”, bahkan
belakangan penulis mendapatkan istilah baru tentang adanya istiliah di atas
kapitalisasi, yaitu “anarki pendidikan”. Salah satu bentuk anarki pendidikan ya
itu tadi, memaksakan peserta didik memakan apa yang sebenarnya tidak disukainya.
Wallâhu a’lamu bish-shawâb.
Semoga yang sedikit ini bermanfaat, dan kurang lebihnya penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya. []
Malang, 14/12/2015, 11.33 WIB
0 Response to "Refleksi dari "S2 atau Angon Wedhus?""
Post a Comment