Puzzle Keilmuan Allah SWT (Part 2): Pendidik dan Da'i
Dalam tulisan sebelumnya, penulis telah sedikit membicarakan
tentang keluasan ilmu Allah yang penulis ibaratkan sebagai puzzle (baca:
Puzzle Keilmuan Allah SWT.). Maka, dalam tulisan ini penulis akan mencoba memberikan contoh atau
bisa jadi menjadi alasan penulis untuk kemudian mengatakan bahwa keluasan keilmuan
Allah yang kemudian dianugerahkan kepada manusia adalah ibarat
potongan-potongan puzzle yang jika saja kita mau merangkai tiap potongan
puzzle ini maka niscaya kita akan merasakan dua hal, yaitu takjub dan
pada saat yang sama kita akan merasa “bodoh”, bodoh dalam arti ingin senantiasa
mencari potongan-potongan puzzle lainnya untuk melengkapi potongan puzzle
yang telah kita miliki saat ini. Dari sini setidaknya penulis menemukan
titik temu dari apa yang pernah penulis dengar dari guru-guru penulis, bahwa semakin
kita belajar (membaca buku) maka kita bukan justru merasa pintar, tapi malah
menjadikan kita merasa bodoh. Tentu bodoh di sini bukan berarti negatif,
melainkan bodoh yang mendorong kita untuk semakin mencari ilmu.
Dalam salah satu perkuliahan, seorang Profesor mengkritik para
guru-guru di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi terkait dengan
ketidaksesuaian apa yang disampaikan dengan apa yang dikerjakan oleh seorang
guru ini. Seorang guru yang beragama Islam, setiap masuk kelas dan mengawali
pembelajaan biasanya mengucapkan “assalamualaikum” kepada para siswa. Secara
sederhana, salam tersebut mengandung arti menyebarkan kedamaian, kedamaian yang
juga bisa dimaknai sebagai mencipta rasa aman dan nyaman, yang dalam konteks
ini berarti menjadikan peserta didik merasa aman dan nyaman. Akan tetapi, tidak
sedikit guru-guru yang ketika mengajar diawali dengan salam, tapi begitu
melihat siswanya nakal, entah itu membuat kegaduhan di kelas atau ada siswa
yang tidak mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR), guru ini lantas memarh-marahi
siswanya. Belum lagi jika kemudian guru ini memperlakukan siswanya sedemikian
rupa sehingga siswa-siswinya menjadi takut pada si guru.
Pemaparan Profesor di atas membuka spektrum baru dalam benak
penulis. Hal yang nampaknya sederhana tapi sekian lama luput dalam pengawasan
penulis. Bahwa jika kita renungkan dalam-dalam fenomena ini, yakni guru yang
selalu marah-marah di kelas karena melihat tingkah laku siswanya yang – mungkin
– nakal akan sangat berbanding dengan semangat ucapan “assalamualaikum”.
Dalam kesempatan lain, penulis kemudian menyadari bahwa hal semacam
ini juga terjadi di mimbar-mimbar masjid atau majlis keilmuan. Selain mengucapkan
salam, biasanya para da’i juga membaca basmalah, kemudian mengutip ayat-ayat
Al-Qur’an, termasuk hadist-hadist Nabi dalam mengawali ceramahnya. Namun, apa
yang disampaikan kemudian dalam ceramahnya tidak mencerminkan apa yang
disampaikan diawal. Katakanlah bacaan basmalah, dengan jelas disebutkan bahwa “dengan
menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”, tapi melafadzkannya
itu ternyata tidak sampai di hati pembacanya. Karena ternyata dalam
ceramah-ceramahnya, para da’i ini justru bukan menyebarkan semangat kasih
sayang, melainkan menyebarkan kebencian-kebencian para jama’ah terhadap pihak
lain.
Beberapa kali penulis menemukan para da’i yang seperti ini. Lantas,
apakah isi ceramah mereka salah? Tentu bukan kapasitas penulis untuk menyatakan
salah atau benar. hanya saja, menurut pribadi penulis, didasarkan apa yang
disampaikan oleh Profesor di atas, bahwasanya sudah sepatutnya kita benar-benar
bisa memaknai setiap ucapan kita. Seperti ucapan salam yang mengandung semangat
damai, maka sudah selayaknya di setiap perkataan dan tindakan kita itu dalam
rangka menciptakan kedamaian bagi siapa saja yang kita hadapi, termasuk bagi
guru kepada murid. Kemudian bacaan basmalah, tercantum pengagungan sifat Allah
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, maka sudah sepantasnya juga tindakan
dan ucapan yang disampaikan sesudah membaca basmalah itu adalah semangat
mengasihi dan menyayangi, bukan malah menghina, mencaci, kemudian menimbulkan
rasa benci. Terlepas dari benar atau tidaknya yang disampaikan, cara-cara
menumbuhkan rasa benci dan memusuhi, bahkan kepada pihak yang memang patut
dibenci dan dimusuhi adalah tindakan kurang terpuji.
Ini penulis maknai sebagai satu potongan puzzle yang
sementara penulis simpan. Kemudian, penulis menemukan tautan dalam Facebook,
yang di disitu menampilkan kutipan dawuh KH. Maimun Zubair, yang dalam
nasehatnya menyatakan: “Jadi guru itu tidak usah punya niat bikin pintar.
Ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik yang
baik. Masalah muridmu kelak jadi pintar atau tidak, serahkan pada Allah.
Didoakan saja terus menerus agar muridnya mendapat hidayah.”(Jadi Guru jangan Niat Bikn Pintar Orang)
Nasihat di atas ternyata menjadi satu potongan puzzle yang
jika dicocokkan dengan potongan puzzle di atas – bisa dikatakan – cocok.
Iya, kesimpulan sementara yang penulis dapatkan adalah – bisa jadi – faktor yang
menjadikan para guru itu mudah memarahi siswanya karena guru tersebut tertanam
dama mind-set nya bahwa ia harus menjadikan siswanya pintar, pastinya
pintar dalam standar guru tersebut. Sehingga, ketika ia melihat siswanya tidak
bisa menjadi apa yang diinginkan guru ini, sang guru akan memarah-marahi
siswanya, “kenapa kamu ndak bisa-bisa? Kenapa kamu ndak mengerjakan PR? Kenapa kamu
bengini saja tidak bisa?” dan contoh-contoh kemarahan lainnya. Ini karena pola
pikir awalnya ingin menjadikan anak
pintar. Tapi, kalau niat awal bukan seperti itu, bahwa kita menyadari betul
bahwa pintar itu merupakan hidayah tersendiri, kita yang mungkin berada di
posisi seorang guru tentu akan bisa menyadari jika ada anak yang berperilaku
atau berkeilmuan tidak seperti apa yang kita inginkan.
Sebagian
tentu akan mengatakan, jika pola pikir semacam ini malah menjadikan seorang
guru tidak berusaha semaksimal mungkin, karena percuma beruasaha
semaksimal mungkin jika kita sadar bahwa pintar itu hidayah. Jika ada pemikiran
semacam ini, penulis akan menolaknya. Karena mengatakan bahwa kepintaran itu
hidayah bukan berarti menjadikan peran guru itu tidak penting. Sama halnya
ketika beberapa hari yang lalu, penulis mendapat tanggapan yang negatif ketika
mengomentari bahwa Islam itu akan tetap berjaya selama di mimbar-mimbar Jum’at,
para khotib selalu mendoakan kejayaan Islam. Yang kemudian dikomentari salah
sorang teman bahwa hal semacam itu sama dengan kita tidak perlu bekerja keras
karena rezeki sudah diatur oleh Tuhan. Tentu bukan itu yang penulis maksudkan,
bahwa ketika mengatakan selama do’a-do’a masih dipanjatkan dalam mimbar-mimbar
Jum’at untuk kejayaan Islam, maka kekhawatiran untuk Islam akan hilang itu
amatlah berlebih-lebihan.
Sama halnya, ketika penulis mengamini dawuh KH. Maimun Zubair di
atas, bahwa pintar itu hidayah, bukan berarti kemudian usaha-usaha para guru
itu sia-sia, lha wong pintar itu hidayah, mengapa harus susah-susah
mengajar? Penulis amat tidak sependapt jika dawuh di atas dimaknai demikian. Meskipun
hasil akhir adalah Allah yang menentukan, manusia tetap diharuskan untuk selalu
berusaha. Secara pribadi, penulis memaknai dawuh di atas sebagai sikap rendah
diri di hadapan Allah SWT. Kita menyadari bahwa kita – yang meskipun menyandang
status sebagai guru atau da’i – hanyalah manusia biasa yang tidak bisa
menjadikan seseorang itu pintar, karena semuanya itu adalah hidayah dari Sang
Maha Pencipta. Tapi, bukan berarti pemahaman ini menjadikan kita fatalis, yakni
menerima apa adanya bahwa ya sudah, kita tunggu saja, kita doakan saja murid
kita biar dapat hidayah, itu berarti sombong.
Sama halnya dengan para da’i yang di mimbar-mimbar menebarkan
kebencian dan mencaci-maki pihak lain. Terlepas benar atau tidaknya yang
disampaikan, penyampain materi dengan mencaci-maki itu – menurut penulis –
tidak lebih dari sikap yang berlebih-lebihan. Mungkin, sekali lagi mungkin,
beliau-beliau ini niatan dakwahnya ingin menjadi orang-orang itu sama dengan
beliau, yaitu yang mendapat hidayah. Sehingga, ketika melihat orang lain yang tidak
sama dengannya berarti melihat orang tersebut tidak mendapat hidayah. Seakan-akan
mereka yakin hidayah telah mereka terima, dan mereka berkewajiban menyampaikan
itu pada orang lain. Sementara yang didapati banyak orang yang tidak sesuai
dirinya, akhirnya marah-marahlah itu. Seakan mereka lupa bahwa ceramahnya itu
dibuka dengan salam kedamaian dan bacaan basmalah yang mengagungkan Dzat Yang
Maha Pengasih dan Penyayang.
Jadi, dua potongan puzzle di atas bisa menggambarkan bahwa –
bisa jadi – fenomena guru-guru yang marah pada siswanya, kemudian para da’i
yang menghina dan mencaci-maki di atas mimbar, meskipun keduanya sama-sama
menyampaikan salam yang mengajak damai, kemudian mengagungkan Allah Yang Maha
pengasih dan Penyanyang di awal pembicaraannya. Itu karena – mungkin – niatnya yang
kurang tepat dari awal.
Kemudian, penulis baru menyadari dari gambar puzzle yang
baru penulis dapatkan ini. bahwa guru-guru penulis di Madrasah Aliyah (MA) yang
notabene nya juga para kyai-kyai dan gus, dalam memperlakukan siswa itu
sangat halus. Bahkan saking halusnya itu ada para guru yang membiarkan saja
siswanya tidur saat di kelas. Iya, beliau tidak marah-marah, paling cuma
menyindir. Belakangan baru penulis sadari bahwa seakan-akan para kyai ini
memahami betul bahwa kepintaran itu hidayah, guru hanya mempunyai tugas
menyampaikan ilmu. Terlepas apakah nantinya murid-muridnya pintar atau tidak
itu merupakan ketentuan Allah.
Tapi, di balik sikap beliau-beliau itu yang membiarkan
murid-muridnya tidur saat di kelas, atau tidak pernah marah-marah. Beliau-beliau
ini juga senantiasa mendoakan para siswanya. Para kyai-kyai ini senantiasa
men-tirakat-i murid-muridnya. Jadi, puasa beliau, sholat malam beliau dan
amalan-amalan lainnya itu juga dalam rangka mendoakan para santrinya. Dan terbukti,
para santri dan muridnya, meskipun di kelas terlihat cuma tidur, tidak bisa
apa-apa, sekolah ya asal berangkat, tapi ketika lulus itu bisa bermanfaat bagi
masyarakatnya. Inilah pentingnya mendoakan anak didik. Jadi, pada dasarnya
kekuatan doa itulah yang sangat berpengaruh, dan mungkin inilah yang mulai
tidak disadari oleh kebanyakan guru-guru kita. Apalagi dengan kemajuan media
pembelajaran, kemudian semakin beragamnya strategi-strategi modern yang bisa
jadi menjadikan kita terlena, dan melupakan aspek do’a. Kemajuan teknologi,
khususnya teknologi pembelajaran menjadikan kita – sebagai pendidik – secara
tidak sadar menyombongkan diri. Berbagai seminar tentang pendidikan diadakan dalam
rangka peningkatan mutu pendidikan, tapi sejauh yang penulis ikuti tidak pernah
itu dibahas pentingnya kekuatan doa dan tirakat seorang guru. Yang dibahas
hanya bagaimana strategi dan semacamnya.
Demikian yang bisa penulis sampaikan. Penulis yakin banyak
kesalahan yang terdapat dalam tulisan ini. Karenanya penulis mohon maaf jika
dalam tulisan ini penulis menyampaikan sesuatu yang salah, terutama dalam hal
guru dan dai yang penulis singgung di atas. Semoga yang sedikit ini bermanfaat,
dan akhir kata penulis ucapkan wallâhu a’lamu bish-shawâb.
Malang,
02/12/2015, 10.14 WIB
0 Response to "Puzzle Keilmuan Allah SWT (Part 2): Pendidik dan Da'i "
Post a Comment