Puzzle Keilmuan Allah SWT. (Part 1)



“Dan seandainya pohon-pohon di muka bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan lagi, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”
(QS. Luqman: 27)

Terjemah firman Allah SWT. di atas bisa secara tidak langsung mengingatkan pada kita tentang keluasan ilmu yang dimiliki Allah SWT. Bahwa dikatakan kalimat-kalimat Allah ini jika ditulis dengan pena yang terbuat dari semua pohon, dengan tinta tujuh kali volume air di bumi ini, niscaya belum sepenuhnya dapat tertuliskan. Tentu, kita sebagai orang Islam tidak menyangsikan firman tersebut. Namun, pernahkah kita bertanya, terutama dalam diri kita sendiri, dari sekian luasnya ilmu Allah tersebut, sudah berapakah yang kita miliki? atau kita pertanyakan keluasan ilmu tersebut apakah diturunkan semuanya kepada manusia atau sebagian? Dan jika sebagian, seberapakah yang diberikan kepada orang Islam dan berapa yang diberikan kepada non-Islam?
Bahwa kita sekalian meyakini jika kita sebagai manusia adalah makhluk yang terbatas, yang keterbatasan itu juga menyangkut ilmu Allah. Lama, penulis mencoba merenungkan pertanyaan-pertanyaan di atas, hinga pada akhirnya penulis menemukan jawaban sementara yang setidaknya dapat menjawab pertanyaa-pertanyaan tersebut. Penulis meyakini bahwa semua ilmu Allah diberikan kepada semua makhluknya. Iya, tidak terkecuali pada tumbuhan, hewan atau benda-benda mati lainnya. Hanya saja, dari sekian banyak makhluk yang Allah ciptakan, adalah manusia yang dibekali akal, yang dengannya manusia bisa memikirkan segala sesuatu yang ada di muka bumi, sehingga dengan berpikir ini manusia senantiasa menemukan ilmu-ilmu atau pengetahuan baru. Lebih dari itu, karena Allah juga menganugerahkan ilmu pada makhluk-makhluk lainnya, maka dari makhluk-makhluk lainnya itu pula kita sebagai manusia dapat memperoleh ilmu darinya, dengan catatan kita mau untuk menggunakan akal kita untuk berpikir. Seperti yang sering kali penulis sebutkan dalam permisalan pohon, kita bisa mengambil berbagai macam ilmu dari pohon yang nampaknya jika kita memandangnya dengan biasa, maka ia tak lain dari suatu benda yang nampak ada batang, ranting dan daun. Namun, jika cara pandang kita terhadap pohon ini kita ubah, artinya kita mencoba menggali dari pertumbuhan pohon misalnya, dan kita renungkan, maka kita bisa mendapatkan hikmah dari pohon ini. (Baca: Belajar dari Pohon: Sebuah Refleksi Kematian)
Pohon, adalah satu contoh terkecil dari betapa memang ilmu Allah amatlah luas. Itu baru berbicara tentang pertumbuhannya, belum lagi kalau kita mencari lebih dalam lagi, akan ada hal-hal menakjubkan lainnya yang bisa kita temukan, dengan catatan kita mau menggunakan akal yang kita punya. Sebut saja Isaac Newton yang menemukan Hukum Gravitasi, bukankah penemuan hukum tersebut dari perenungannya tentang buah apel yang jatuh dari pohonnya. Pertanyaannya adalah apakah buah apel itu ada bersamaan dengan lahirnya Newton atau jauh sebelum kelahiran Newton? Penulis rasa, pohon apel itu ada lebih dulu dari kehadiran Newton. Jika demikian, setelah sekian lama hadirnya buah apel di muka bumi, kenapa baru Newton yang bisa menemukan Hukum Gravitasi? Jawaban yang paling masuk akal adalah karena Newton mau berpikir lebih dari kebanyakan orang ketika melihat fenomena jatuhnya apel dari pohonnya. Dan inilah yang – sekali lagi – menegaskan bahwa memang ilmu Allah SWT. itu sangatlah luas.
Menerima apa yang termaktub dalam Al-Qur’an adalah keharusan bagi setiap umat islam. Pun demikian, nampaknya untuk menerima begitu saja apa yang terdapat di dalam Al-Qur’an tanpa mencoba mempertanyakan lebih dalam tentang kandungannya adalah sesuatu yang sedikit sia-sia. Sebagian menganggap bahwa mempertanyakan isi Al-Qur’an, atau tepatnya kandungan Al-Qur’an adalah sama halnya dengan meragukan Al-Qur’an. Padahal pada ayat kedua QS. Al-Baqarah disebutkan tidak ada keraguan di dalam Al-Qur’an. Menganggap mempertanyakan isi Al-Qur’an sebagai suatu bentuk keraguan bukanlah sesuatu yang salah, jika memang maksud mempertanyakan itu adalah untuk menggungat atau mencari kelemahannya. Tapi tidak demikian jika mempertanyakan di sini sebagai bentuk ekspresi kecintaan dan keyakinan mendalam akan kemukjizatan Al-Qur’an. Jika pohon saja bisa memberikan keilmuan yang begitu menakjubkan, lantas bagaimana dengan Al-Qur’an yang dikatakan sebagai mukjizat teragung Nabi Muhammad SAW.?
Jika kita hanya menerima secara tekstual apa yang ada dalam Al-Qur’an, sama halnya kita hanya melihat pohon itu hanya terdiri dari batang, daun, ranting dan akar. Kita tidak mencoba memikirkan lebih dalam, kenapa pohon itu ada batangnya, kenapa juga harus ada akarnya, kenapa ada daun, kenapa ada ranting? Tidak berhenti sampai di disitu, ketika kemudian berbicara pada akar, kenapa ada pohon yang berakar tunggal dan ada yang bercabang, atau ada yang berakar gantung. Daun, kenapa daun itu berwarna hijau, lantas berubah menjadi kuning dan gugur? Jadi, dari satu pohon saja kita bisa memperoleh berbagai macam ilmu. Al-Qur’an pun demikian, jika kita hanya berhenti pada meyakini apa yang terdapat di dalamnya sebatas tekstual saja, tanpa berani mencoba mempertanyakan atau menggali kenapa Al-Qur’an menyatakan demikian, ada apa sebenarnya di balik bunyi teks yang demikian. Maka, ilmu yang bisa kita dapat ya sebatas teks itu tadi, sama halnya ketika kita hanya melihat pohon sebatas batang, daun, ranting dan akar.
Selain itu, ilmu yang tak terbatas ini yang kemudian bersinggungan dengan manusia yang terbatas – seakan-akan – menjelma menjadi potongan-potongan puzzle yang berserakan di sana-sini. Jadi, penulis melihat keluasan ilmu Allah sebagai – ibarat – satu gambaran utuh dalam susunan puzzle. Kemudian potongan-potongan puzzle ini berserakan di alam semesta. Dan manusia, sebagai makhluk yang berakal dan mempunyai hati, sangat dimungkinkan untuk menemukan potongan-potongan puzzle ini. Dan karena salah satu sifat Allah adalah Al-Rahmân, yang sebagian ulama menafsirkannya sebagai kasih sayang yang diberikan di dunia, yang tidak terbatas pada hambanya yang taat saja. Maka, implikasinya adalah puzzle keilmuan Allah SWT. juga dibagikan pada manusia yang kebetulan – nampak – tidak taat. Akan sangat merugikan diri sendiri, jika kemudian kita sebagai manusia membatasi diri dalam mencari puzzle kelimuan ini, karena jika Allah SWT. saja tidk membatasi diri dalam memberi nikmat, lantas mengapa kita malah menutup diri dalam mencari ilmu yang dengannya Allah menjanjikan pada manusia akan diangkat derajatnya? Wallâhu A’lamu bish-Shawâb. 
Baca juga Puzzle Keilmuan Allah (Part 2) dan Belajar Tanpa Batas
Malang, 28/11/2015, 17.53 WIB

0 Response to "Puzzle Keilmuan Allah SWT. (Part 1)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel