Paulo Freire dan Nelson Mandela



... Salah satu rintangan terberat untuk mencapai kebebasan adalah bahwa realitas yang menindas dapat memukau mereka yang berada di dalamnya dan karena itu menundukkan alam pikiran mereka...” (Paulo Freire)
Kebebasan, menjadi salah satu isu yang cukup hangat dibicarakan dalam beberapoa dekade ini. di Indonesia khususnya, pasca runtuhnya rezim Orde Baru dan dengan lahirnya reformasi menjadi salah satu isu ini mencuat ke permukaan. 32 tahun Indonesia di bawah kepemimpinan yang sangat otoriter menjadikan negeri ini ibarat “mengurung ribuan singa” yang diyakini oleh penguasa akan mengancam kekuasaannya.
Kutipan dari Paulo Freire di atas nampaknya bisa dibawa untuk kembali membahas apa yang terjadi di Indonesia – setidaknya – pada kisaran era 30 tahun silam. Bahwa dalam terminilogi Freire, ia menggunakan istilah “pendidikan kaum tertindas” (pedagogy of the oppressed) untuk menyebut adanya suatu perangkat yang dengannya menjadikan manusia itu mengetahui secara kritis bahwa baik diri mereka sendiri (masyarakat tertindas, pen.) maupun kaum penindasnya adalah pengejawantahan dari dehumanisasi. (Freire, 2013: 19). Artinya, adanya ketidakbebasan ini memunculkan dua kelompok yang ini merupakan dampak darinya, yaitu kelompok penindas dan tertindas.
Kata kunci dari penindasan itu sendiri adalah ketika ada seseorang atau kelompok yang ia terhalang untuk bisa menjadikan dirinya sebagai manusia seutuhnya. Reaksi dari ketidakmampuan untuk menjadi manusia yang seutuhnya ini bisa berupa dua hal yang berbda: pertama, orang itu tidak tahu bahwa ia sedang dalam penindasan, sehingga karena ketidaktahuannya itu ia tidak akan mempertanyakan atau menuntut haknya sebagai manusia yang bebas; kedua, orang itu tahu bahwa dia sedang ditindas, tapi juga enggan untuk menyuarakan bahwa ia hendak menuntut kebebasan; dan ketiga, orang itu tahu dan ia berusaha untuk menuntut haknya untuk bebas.
Untuk kelompok yang pertama tidak akan akan dibahas lebih lanjut. Sementara untuk kelompok dua dan tiga, perlu dilihat lebih lanjut kenapa kelompok kedua bisa tetap bertahan padahal ia tahu dirinya sedang ditindas. Jika kita kembali memperhatikan kutipan dari Freire yang penulis tampilkan di awal tulisan, maka jawaban kenapa ada orang yang ditindas dan dia tahu sedang ditindas lebih memilih untuk diam dalam penindasan adalah karena ada beberapa hal yang ditampilkan oleh penguasa yang mana hal itu secara kasat mata sangat memukau. Jadi, di satu sisi ia tahu bahwa di sekitarnya terjadi penindasan, tapi karena di satu sisi lainnya penindas mereka menampilkan sesuatu yang memukau menjadikna diri yang tertindas memilih untuk diam. Diam ini bisa berarti dia bingung antara apakah pemimpin mereka itu baik atau tidak, penindas atau tidak, jika penindas kenapa di satu sisi menampilak kebaikan, jika tidak menindas lantas kenapa suatu ketika mereka yang tertindas merasa ada sesuatu yang menghalangi dirinya untuk menjadi manusia seutuhnya? Dalam Orde baru misalnya, di samping adanya kebijakan-kebijakan yang menindas, penguasa juga mengeluarkan kebijakan yang secara pragmatis dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas. Inilah yang menjadikan adanya “kebingungan massal” dalam masyarakat Orde baru. Sementara, dalam kebijakan yang melenakan itu menjadikan masyarakat serasa dininabobokkan dalam lingkaran penindasan, inilah yang oleh Freire disebut sebagai “kebudayaan bisu”.
Kemudian untuk kelompok yang ketiga, adalah kelompok yang sadar betul bahwa dirinya ditindas, dan dari kesadaran ini mereka bertekad untuk merebut kemerdekaan mereka. hanya saja, dalam rangka merebut kebebasn ini, Freire memberikan catatan bahwa jangan sampai upaya merebut kemerdekaan atau meruntuhkan kelompok penindas dan tertindas cendrung menampilkan kelompok penindas baru. Artinya, upaya keluar dari lingakarn penindas dan tertindas ini bukan semata-mata untuk mengubah peran siapa yang menindas dan siapa yang ditindas. Jika demikian, maka upaya yang dilakukan hanya semata-mata perjuangan yang palsu.
Sedikit penulis hendak menganalisis keadaan bangsa dewasa ini. jika kita bersama menyaksikan keadaan bangsa Indonesia saat ini, dilihat dari perspektik “pendidikan kaum tertindas”nya Paulo Freire, kita akan melihat bahwa meskipun reformasi bangsa ini sudah berusia 17 tahun, bangsa ini masih saja berada dalam lingkaran penindas-tertindas. Itu terlihat dalam segala aspek kehidupan bangsa, ekonomi, sosial, politik, hukum, bahkan pendidikan, semuanya berada dalam lingkaran penindasan. Kapitalisasi dalam bidang ekonomi, dekadensi moral, politik menguasai, payung hukum yang tajam ke bawah; tumpul ke atas, serta pendidikan yang masih cenderung menganak-emaskan golongan menengah ke atas, adalah potret bahwa 75 tahun setelah bangsa ini merdeka, dan 17 tahun pasca Indonesia ini reformasi, bangsa ini belum bisa lepas dari belenggu menindas-tertindas. Ini dikarenakan budaya menggugat kaum penindas oleh kaum tertindas bukan demi menghilangkan ketertindasan itu, melainkan memunculkan penindas-penindas baru.
Sebut saja, dalam hal korupsi. Beberapa tahun yang lalu, banyak aktivis-aktivis yang dengan kerasnya menolak korupsi dan bahkan sampai mengutuk para koruptor saat itu. Akan tetapi, beberapa tahun  kemudian ketiak aktivis ini berkuasa, justru ia juga melakukan korupsi, hal yang beberapa tahun lalu ia benci. Inilah kenapa bangsa ini tidak bisa benar-benar lepas dari lingkaran penindasan. Karena upaya lepas dari penindasan selama ini hanya untuk menciptakan penindas-penindas baru.
Lantas, bagaimana agar bangsa ini bisa lepas dari belenggu ketertindasan? Freire, setidaknya memberikan dua syarat agar kebebasan itu dapat diraih. Pertama, adalah mau mengambil resiko. Resiko dari apa? Resiko perlawanan dari mereka yang berkuasa yang notabene-nya sebagai kaum penindas, yang merasa kenyamanannya diganggu, dan resiko dari kelompoknya sendiri yang tertindas, yang merasa lebih nyaman dalam “kebudayaan bisu” demi melawan para penguasa. Kelompok ini lebih nyaman tidak “ambil pusing” dengan para penindas itu. Karenanya, syarat kedua yang diajukan Freire adalah kekompakan dengan teman senasib untuk mau menanggung resiko dari perlawanan yang hendak diambil. Jadi, kebebasan itu bisa diraih jika baik itu secara individu atau kelompok yang tertindas mau untuk menanggung resiko bersama. Menarik ilustrasi yang digunakan oleh Freire dalam menggambrakan upaya merebut kebebasan ini, yaitu Freire mengilustrasikan sakitnya seorang ibu yang melahirkan untuk memberikan kebebasan pada anaknya. Jadi, resiko yang diambil ketikan kaum tertindas melakukan perlawanan adalah kesakitan yang ditanggung untuk mengambil kebebasannya, sama halnya seorang ibu yang rela berkorban dan merasakan sakit yang sangat demi memberi kebebasan pada sang buah hati.
Artinya, perjuangan meraih kebebasan itu bukanlah tanpa resiko, ia sangat beresiko, apalagi ketika berhadapan dengan penguasa yang otoriter. Tapi itu menjadi tidak berarti jika resiko yang berat itu dihadapi bersama-sama. Kita tengok saja pada reformasi 1998. Berapa banyak mahasiswa yang harus meregang nyawa ketika mereka bersatu-padu untuk menumbangkan rezim penindas? Semua itu adalah resiko yang memang mau tidak mau harus dihadapi. Dan terbukti bahwa adanya kemauan bersama dari teman senasib inilah yang mengantarkan Indonesia keluar dari era Orde Baru dan masuk pada era Reformasi. Hanya saja, yang menjadi masalah kemudian adalah upaya ini bukan benar-benar mengeluarkan bangsa ini dari lingkaran menindas-tertindas, melainkan hanya pergantian peran kaum penindas dan kaum tertindas.
Lantas bagaimana bentuk dari “pendidikan kaum tertindas” Paulo Freire yang tidak menciptakan penindas-penindas baru dalam upaya menggulingkan penindas sebelumnya? Mungkin gambaran yang bisa penulis berikan saat ini adalah kisah perjuangan Nelson Mandela dalam melawan Apartheid. Ada banyak kisah yang menarik dan bisa dijadikan pelajaran dari pembebasan Afrika Selatan ini, salah satunya adalah ketika Nelson Mandela berhasil menghilangkan praktik apartheid di Afrika Selatan dan ia terpilih sebagai presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan. Saat itu di kantor pemerintahannya, masih banyak bangsa kulit putih di sana, dan mereka merasa khawatir jika pasca terpilihnya Nelson Mandela sebagai presiden, mereka akan terancam dikeluarkan karena merasa dulu mereka (bangsa kulit putih) menindas kaum kulit hitam. Tapi apa yang dilakukan oleh Nelson Mandela? Apakah benar ia mengeluarkan para pejabat pemerintahan yang berkulit putih dan menggantinya dengan yang berkulit hitam? Nyatanya hal itu tidak pernah terjadi, karena Nelson Mandela sadar bahwa jika itu dilakukan, yaitu mengganti bawahannya yang berkulit putih dengan yang berkulit hitam, maka perjuangannya selama ini untuk memperjuangkan kebebasan bisa jatuh pada perjuangan palsu, dan itu artinya ia menciptakan penindas baru saat berupaya menjatuhkan penindas terdahulu. Wallâhu A’lam bish-Shawâb.
Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Amiiiiin []
Malang, 02/11/2015, 06.21 WIB

0 Response to "Paulo Freire dan Nelson Mandela"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel