Kita, Atheis, dan Murtad



“God is Dead” Tuhan telah mati, mungki sebagian di antara kita tidak asing dengan istilah tersebut. Adalah FW. Nietzsche, seorang filsuf Jerman dan ahli ilmu filologi yang juga seorang filsuf, kritikus budaya dan komposer yang mempopoulerkan istilah “Tuhan Telah Mati”. Penulis tidak akan membahas panjang lebar terkait pemikiran filsuf ini tentang konsep “Tuhan Telah Mati”nya. Melainkan pengutipan istilah tersebut hanya sebagai pengantar tulisan ini.
Penulis kurang begitu paham kenapa Nietzsche sampai mempunyai kesimpulan bahwa Tuhan telah mati. Tapi, dugaan penulis adalah bahwa ia melihat peran agama dalam lingkungan tempat tinggalnya gagal memainkan peran agama sebagaimana mestinya, misal agama mengajarkan kasih sayang, namun yang didapati justru agama sebagai alat legitimasi adanya kekerasan; agama yang seharusnya menjadikan pemeluknya sejahtera, justru tampil sebagai alat penindas rakyat; agama yang seharusnya mengajarkan tentang pentingnya persaudaraan, justru tampil dalam jubah penuh permusuhan. Ekspresi keagaman yang jauh dari nilai ideal suatu agama inilah yang – bisa jadi – menjadikan Nietzshe berkesimpulan bahwa Tuhan telah mati. Mengapa harus mengatakan Tuhan telah mati? Karena Tuhan bisa dikatakan sebagai representasi paling tinggi dari suatu keagamaan. Karena mustahil berbicara tentang agama jika tidak mengikutsertakan konsep ketuhanannya. Jadi, kesimpulan sementara yang penulis ambil adalah mungkin saja Nietzsche merasa kecewa dengan agama yang tidak memperlihatkan wajahnya yang damai, yang menyejahterakan dan mempersatukan.
Dari sini kemudian penulis teringat tentang konsep “murtad” dalam Islam, yang secara sederhana diartikan sebagai keluarnya seorang muslim dari agama Islam, bisa jadi keluarnya ini karena berpindah agama atau tak beragama. Dan jika tidak salah ingat, ada yang mengatakan bahwa konsekuensi dari murtad ini adalah hukuman mati. Tapi terlepas dari itu semua, yang menarik bukanlah konsekunsi murtad itu sendiri, melainkan sebab yang melatarbelakangi seorang muslim lebih memilih agama lain atau memilih tak beragama. Sebagian orang akan merasa marah atau minimal menyalahkan orang yang murtad. Iya, karena mereka ini memandang orang murtad dari satu sisi saja, yaitu sisi dirinya sendiri, tanpa mencoba melihat dari sisi orang murtad.
Suatu ketika, penulis menyampaikan hal ini – yakni melihat orang murtad dari sudut pandang orang yang murtad – kepada salah satu teman, bahwa penulis memiliki pemikiran bahwa mereka yang murtad tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Bahwa kita tidak mempunyai hak untuk menghakimi atas pilihan mereka yang memilih meninggalkan Islam. Melainkan – bisa jadi – kita juga memiliki andil dalam kemurtadan orang tersebut. Bagaimana ceritanya penulis bisa berkesimpulan kita ikut andil dalam proses kemurtadan seseorang tersebut? Coba kita renungkan sendiri, jika memang Islam adalah agama yang paling sempurna, lantas kenapa ada orang yang justru lebih meninggalkan sesuatu yang paling sempurna menuju sesuatu yang sebaliknya (sebenarnya untuk mengatakan selain Islam tidak sempurna bukanlah sesuatu yang bijak, karena bagaimana pun juga semua agama memiliki sisi kesempurnaannya di dalam komunitas keagamaannya).
Kemudian, bagi beberapa di antara kita sangat mengecam atau setidaknya memandang sebelah mata orang-orang yang mengaku tidak percaya pada Tuhan (atheis), termasuk Nietzsche di atas, dan orang-orang semacam Nietzsche ini sampai sekarang juga masih ada, yakni mengaku tidak percaya adanya Tuhan. Menghadapi fenomena ini, kemudian kita yang mengakui adanya Tuhan dengan segala kuasa-Nya merasa berhak menghakimi mereka atas keatheisan mereka. Apakah itu salah? tentu tidak ketika penghakiman kita itu tidak memprovokasi, dalam arti tidak mengajak yang lain untuk membenci atau mencaci mereka yang atheis. Sedikit meng-qiyas-kan atheis dan murtad ini dengan apa yang disampaikan Sudjiwo Tejo tentang korupsi, bahwa dosa terbesar seorang atheis dan orang yang murtad adalah “menjadikan diri kita merasa suci”. Iya, mereka yang tidak mengakui keberadaan Tuhan, atau keluar dari Islam menjadikan kita merasa suci dan paling benar, kemudian berbekal itu kita merasa berhak menghakimi pilihan mereka.
Dalam kesempatan lain, dalam pembahasan yang hampir sama, penulis mengibaratkan dalam beragama ini dengan warung makan dan restoran. Islam adalah ibarat restoran yang begitu mewah, semuanya sempurna, dari segi bangunannya, pelayanannya dan sampai menunya pun sangat lengkap. Iya, Islam adalah representasi dari restoran yang sangat sempurna, sekali lagi ini adalah pengibaratan, dan bukan bermaksud menyamakannya dengan restoran. Kemudian katakanlah agama yang lain itu warung makan sederhana, dari segi bangunan biasa-biasa saja. Pelayannya juga terbatas, menu makanannya pun terbatas. Dari keduanya ini, semua makanannya digratiskan. Jika kita kemudian diminta memilih antara keduanya, tentu adalah restoran yang mewah itu yang kemungkinan terbesar akan kita pilih, dibanding dengan warung makan yang kedua.
Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua yang memilih restoran pertama itu. Melainkan ada yang lebih memilih warung makan yang sederhana, dan sebagian lagi justru enggan memilih memasuki kedua tempat makan tersebut dan lebih memilih memenuhi kebutuhan rasa laparnya dengan cara lain. Apakah ini aneh? Tentu tidak, karena bagaimana pun manusia diciptakan memang sudah diskenario sebagai makhluk yang berbeda satu sama lain, sehingga dalam segala pilihan-pilihan yang ada manusia akan sangat tidak mungkin untuk disatukan satu sama lain dalam pilihan-pilihan yang ada.
Selain itu, pada kenyataannya, ada pula orang yang sudah ada di restoran mewah namun pada akhirnya justru memilih keluar dari restoran dan memilih pindah ke warung makan yang sederhana itu, inilah yang penulis ibaratkan dengan orang yang keluar dari Islam (murtad). Di luar konsep hidayah yang diberikan oleh Allah, sedikit penulis ingin mengajak merenung sejenak, apakah benar kita berhak menghakimi mereka yang tak bertuhan? Apakah benar kita diperbolehkan menghakimi mereka yang keluar dari Islam? Kenapa kita lebih menyibukkan diri dengan menyalahkan atas pilihan-pilihan mereka? Kenapa kita tidak mencoba mengoreksi diri kita sendiri? Kenapa harus mengoreksi diri kita atas keatheisan dan kemurtadan mereka? Iya, karena bisa jadi kemurtadan dan keatheisan mereka berawal dari tingkah kita yang salah menampilkan sikap keagamaan kita. Sekali lagi, jangan-jangan mereka murtad, mereka atheis disebabkan oleh tingkah kita yang tidak mencerminkan hakikat agama kita? Sederhananya, bagaimana mereka lebih memilih warung makan sederhana dibanding restoran yang begitu sempurna? Sekali lagi, penulis tidak berbicara tentang hidayah, bahwa mereka yang murtad hidayahnya telah diambil Allah kembali atau yang atheis tidak mendapat hidayah, penulis tidak mencoba membawa konsep hidayah ini dalam menganalisis fenomena murtad dan atheis ini. Kemungkinan yang paling dekat adalah bahwa mereka yang murtad dalam satu saat melihat ada sesuatu yang sangat menarik perhatiannya dari warung sederhana yang ada di seberang, atau kemungkinan kedua adalah ia melihat sesuatu yang menurut hati nuraninya tidak benar jika itu ada dalam restoran yang megah itu. Misalnya, di warung sederhana tersebut ia melihat kesederhanaan dan kedamaian, berbalik dengan itu, ternyata di restoran yang ia tempati, ia melihat sesuatu yang salah yang menjadikan ia mempertanyakan kualitas restoran tersebut. Akhirnya, melihat dua kontradiksi ini, ia memutuskan lebih memilih warung makan sederhana daripada tetap tinggal di restoran.
Kesimpulan yang penulis ambil adalah bahwa jangan terlalu buru-buru bagi kita untuk mudah menghakimi orang murtad atau atheis. Karena belum tentu kita yang mengaku Islam dan bertuhan lebih baik dari mereka yang murtad dan atheis. Dalam salah satu video Dr. Zakir Naik yang membahas tentang atheis, dikatakan bahwa ia memberi selamat kepada orang atheis, karena mereka yang atheis telah benar-benar menggunakan akalnya hingga mereka sampai pada pernyataan “tidak ada Tuhan”. Dr Zakir Naik menyatakan bahwa atheis secara tidak langsung telah 50% mengucapkan kalimat Tauhid “لآإله إلا الله”, mereka hanya sampai pada kalimat “لآإله”, tinggal meyakinkan mereka bahwa memang benar bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah dan dijadikan sandaran kecuali Allah SWT. Pertanyaannya, bagi kita yang mengaku bertuhan, sudah berapa kalikah kita menggunakan akal kita untuk bisa bertemu dengan Tuhan? Dan ada satu hal yang terlintas dalam benak penulis, bahwa ketika kita mengatakan tidak ada akan sesuatu, maka pada alam bawah sadar kita kita telah meyakini akan eksistensi sesuatu yang kita anggap tidak ada. Karena tidak mungkin adana “tidak ada” jika sesuatu yang “ada itu tidak ada. Pemahaman terbaliknya (mafhum mukhâlafah) adalah ketika kita mengatakan ada, maka bisa jadi dalam alam bawah sadar kita justru kita malah meniadakn sesuatu itu. Lantas bagaimana dengan kita yang mengakui keberadaan Tuhan? Apa mungkin dalam alam bawah sadar kita, kita mengingkari Tuhan? Bisa jadi demikian, bisa jadi kita tidak menyadari bahwa ada saat di mana kita mengingkari keberadaan Tuhan yang secara lisan selalu kita katakan bahwa Tuhan itu ada. Inilah mengapa kemudian penulis sangat menyadari bahwa kita harus belajar bahwa kebenaran itu tidak ada. Kebenaran sejati adalah milik Allah, dan manusia ketika di dunia hanya bisa mencari, mencari dan mencari (baca: Sudjiwo Tejo: Mengajarkan Kebenaran itu Tidak Ada). Ada saat kita bertemu dengan kebenaran, namun jangan sampai kita lalai dengan kebenaran semu itu, sehingga kita kemudian berhenti mencari. Kita tidak akan benar-benar mengetahui bahwa kebenaran yang kita miliki saat ini adalah kebenaran hakiki yang Tuhan kehendaki sampai kita bertemu dengan-Nya. Ini penting, karena jika kita semua menyadari bahwa kita semua sedang dalam pencarian kebenaran hakiki itu, kita tidak akan mudah menghakimi jalan-jalan mereka yang barangkali berbeda dengan jalan yang kita tempuh. Perjalanan kita masih jauh untuk mencapai tujuan, jangan sampai kita menghakimi jalan orang lain sementara bisa jadi kita sendiri justru akan tersesat di tengah jalan, dan mereka yang kita anggap salah jalan, bisa jadi justru mereka yang sampai pada tujuan.
Demikian, jika ada kesalahan atau sesuatu yang kurang tepat yang pembaca ketahui, mohon berkenan memberikan masukan dan saran. Kurang lebihnya penulis mohon maaf, dan terimakasih.[]
Malang, 18/11/2015, 06.17 WIB

0 Response to "Kita, Atheis, dan Murtad"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel