Belajar Tanpa Batas: Refleksi Kunjungan di Budhis Center
Tulisan ini akan penulis
awali dengan kesimpulan dari penelitian yang penulis lakukan dalam
rangka Tugas Akhir saat kuliah Strata 1 di IAIN Surakarta. Saat itu tema yang
penulis ambil adalah terkait Konsep Pendidikan Pluralisme Abdurrahman Wahid
(Gus Dur). Dari sekian banyak tulisan Gus Dur (meskipun memang penulis akui
tidak semua tulisan Gus Dur penulis baca, karena di samping faktor teramat
banyaknya tulisan beliau juga karena keterbatasan dalam melacak di mana saja
tulisan-tulisan beliau. Karena memang saking banyaknya tulisan beliau, sebagian
memang sudah terbukukan, namun sebagian juga tersebar di berbagai tempat. Bisa
jadi tulisan beliau dalam kata pengantar-kata pengantar yang memang amat sulit
untuk melacaknya), ditambah dari berbagai wawancara baik terhadap orang yang
sangat dekat dengan beliau atau pun yang pernah mengkaji pemikiran Gus Dur.
Dari semua kajian itu, penulis memberikan kesimpulan bahwa konsep Pendidikan
Pluralisme adalah: belajar di mana saja, kapan saja dan kepada siapa saja.
Pertama, belajar di mana saja. Iya,
Gus Dur menekankan itu. Belajar tidak dibatasi dalam satu tempat saja. Tidak di
sekolah, tidak hanya di Perguruan Tinggi, tidak hanya di Pondok Pesantren atau
lembaga-lembaga pendidikan. Tapi, belajar bisa dilakukan di warung-warung kopi,
di tempat-tempat nongkorong. Atau, belajar juga bisa dilaksanakan dengan
membaca dan membaca, dan juga kita bisa belajar kepada alam, karena semua yang
ada di sekitar kita adalah sarana yang disediakan oleh Tuhan yang jika kita mau
merenungkan setiap fenomena yang ada di sekjitar kita, maka akan kita temukan
hikmah-hikmah yang sangat berharga (baca: Belajar dari Pohon: Sebuah Refleksi Kematian). Dalam beberapa biografinya dan
dari cerita-cerita orang-orang dekat Gus Dur, kita tahu bahwa ternyata ketika
Gus Dur di Mesir, ia lebih menghabiskan waktu di luar perkuliahan. Pun
demikian, apakah Gus Dur lantas tidak belajar atau sekedar main-main saja? Ternyata
Gus Dur juga tetap belajar, meskipun itu melalui perbincangan-perbincangan di
kedai kopi, atau menonton film-film. Semua itu seakan menegaskan bahwa memang
belajar itu tak mengenal tempat.
Kedua, kapan saja.
Artinya, jika pada poin pertama belajar tidak dibatasi dimensi ruang, maka
untuk poin kedua ini belajar tidak terbatas pada dimensi waktu. Tidak ada
istilah berhenti atau selesai belajar. Lulus dari satu jenjang pendidikan bukan
berarti selesai pula masa belajar. Bahkan ketika pulang dari sekolah pun bukan
berarti kita lantas berhenti belajar. Kembali pada poin pertama, bahwa belajar
itu bisa di mana-mana dan karena di mana-mana itu maka juga bisa kapan saja.
Misal ketika pulang sekolah, kita menyaksikan fenomena-fenomena tertentu yang
mana jika kita pikirkan itu sangatlah menakjubkan. Misal, ketika pulang sekolah
kita melihat bangunan gedung yang sangat megah yang membuat kita takjub. Ketakjuban
ini akhirnya menjadikan reaksi keingintahuan dalam diri kita, bagaimana caranya
membangun gedung semegah itu? Kemudian aspek lain yang bisa kita tangkap adalah
kesadaran akan kemahakuasaan Tuhan. Kog bisa? Iya, jika manusia saja bisa
membuat bangunan yang begitu megah, maka bagaimana yang menciptakan manusia?
Itu ada satu contoh dari bagaimana kita tidak membatasi diri kita pada satu
waktu untuk belajar, karena belajar tidak mengenal batasan waktu, Rasulullah
saja bersabda demikian: “Belajarlah dari sejak lahir hingga mati”, dan
nampaknya inilah yang sangat dipahami oleh Gus Dur. Penulis pernah menemukan
tulisan, jika tidak salah ingat dalam pengantar buku “Islamku, Islam Anda dan
Islam Kita” (penulis lupa siapa nama yang memberikan kata pengantar dalam buku
tersebut), bahwa disebutkan bahwa Gus Dur tetap saja belajar meskipun Gus Dur
sedang dirawat di Rumah Sakit. Diceritakan bahwa dalam keterbatasannya yang
begitu lemah dan terbaring di Rumah Sakit, Gus Dur tetap antusias mendengarkan
“audiobook” yang dibawakan oleh orang yang menulis kata pengantar tersebut.
Jadi, Gus Dur tak pernah sekalipun membiarkan keterbatasannya yang sedang
tergolek di Rumah Sakit untuk tetap belajar.
Ketiga, belajar kepada siapa saja. Poin terakhir ini cukup menarik, bahwa tidak seharusnya kita
membatasi diri kita dalam belajar. Tidak hanya dalam dimensi ruang dan waktu,
tapi juga pada dimensi – saya menyebutnya – “subyek pembelajar”. Dari wawancara
yang penulis lakukan dengan ketua Pondok Pesantren Ciganjur yang diasuh oleh
Gus Dur, penulis dapatkan keterangan bahwa dalam pondok pesantren itu, beberapa
materi yang diajarkan Gus Dur tidak saja berkutat dalam sumber Syafi’iyah saja,
atau bahkan tidak hanya dari kitab-kitab Sunni. Gus Dur juga mengajarkan
kitab-kitab Syiah, semisal tafsir Al-Qur’annya Thabathobai, Gus Dur mengajarkan
itu. Dan yang cukup menarik adalah – masih menurut ketua pondok – selalu
diakhir pembelajaran tentang Syiah ini, Gus Dur selalu meminta refleksi dari
para santri, yang kemudian Gus Dur juga memberikan kesimpulan yang menarik,
bagaimana? Apakah Syiah banyak perbedaan atau lebih banyak kesamaan dengan
kita? Kita terkadang memang lebih suka terfokus pada perbedaan, padahal jika
kita mau mempelajari lebih dalam maka antara persamaan dan perbedaan itu akan
lebih banyak persamaannya. Lha kenapa kalau seperti itu kog kita selalu ribut
dalam perbedaan?
Kemudian ada juga fakta yang menarik di Pondok pesantren Ciganjur
ini. bahwa ada agenda rutin pertukaran santri yang dilakukan tiap tahunnya
(penulis lupa setiap bulan apa). Yang menarik dalam pertukaran santri ini
adalah bukan bertukar dengan sesama santri dari pondok pesantren Islam,
melainkan santri pondok pesantren Ciganjur ini bertukar dengan santri dari
komunitas non-Islam. Jadi, ada santri dari komunitas non-Islam yang berminat
nyantri di Podok Pesantren Ciganjur, kemudian respon Gus Dur bukan menolak
santri non-Islam ini, justru sebaliknya Gus Dur malah meminta santri dari
Ciganjur untuk juga menimba ilmu di asrama non-Islam itu. Menurut penulis ini adalah
sesuatu yang sangat luar biasa, di mana Gus Dur mengajarkan kepada para
santrinya untuk bisa belajar kepada siapa saja. Dan sekali lagi, jika menegok
sejarah Gus Dur, emmang bisa ditemukan bahwa beliau tidak pilih-pilih dalam
menuntuk ilmu. Dari kecil, beliau sudah baca buku-buku orang asing, termasuk
buku Das Kapital Karlmark, dan kebiasaan membaca ini terus ditekuni beliau
dan tanpa pandang siapa penulisnya, beragama apa dia tak menjadi hal yang
dipertimbangkan, belum lagi ketika beliau belajar di Belanda, tentu tidak
sedikit ilmu dari orang-orang non-Islam yang beliau serap. Dan ini juga coba
ditanamkan kepada santri-santri beliau, dan apakah dari pengalaman belajar di
komunitas non-Islam itu santri-santrinya menjadi pindah agama? Tidak! Justru
dari belajar di komunitas non-Islam itulah para santrinya menjadi lebih tahu
tentang keimanannya dan bisa memahami tentang agama lain. Lantas apa dampaknya?
Banyak, tapi yang pasti dengan kita mengenal dan memahami agama lain, maka kita
akan bisa lebih toleran dan lebih bisa bersahabat.
Poin yang terakhir ini cukup menarik, penulis teringat pada salah
seorang teman yang ia takut ketika saya meminjamkan buku tentang Islam Liberal.
Tak sampai selesai membaca, ia sudah kembalikan buku itu ke penulis, dan
alasannya yang diberikan karena ia takut jika membaca buku itu akidahnya akan
melenceng. Terus ada lagi yang enggan membaca buku tulisan non-Islam, katanya
itu menghancurkan akidah dan sebagainya, yang semua itu jika boleh penulis
simpulkan adalah membatasi diri dalam belajar kepada “subyek pembelajaran” yang
non-Islam. Apakah itu salah? tentu tidak, itu adalah hak-hak mereka dan
pastinya itu punya argumen yang jelas. Tapi, jika kemudian ditanya bagaimana
pendapat penulis tentang itu, maka akan penulis jawab kalau hal seperti itu
berlebih-lebihan. Iya, bagaimana tidak berlebihan? Enggan membaca karena yang
nulis orang non-Islam? Dan bukan bermaksud merendahkan, jika hanya dengan
membaca buku saja bisa merusak akidah kita, maka seperti apakah akidah yang
kita miliki? kog, hanya dengan membaca saja bisa goyah? Terus lagi, mau
kita bawa kemana perintah Nabi SAW., yang memerintahkan untuk belajar sampai ke
negeri China? Apakah saat itu China sudah banyak orang Islam? Ada yang
menyangkal bahwa perintah menuntut ke negeri China ini adalah untuk ilmu dunia
saja, dan mereka yang menyangkal ini juga mengatakan baik-baik saja jika mereka
harus mengambil ilmu dari non-Islam dengan catatan itu ilmu dunia.
Pertanyaannya kemudian? Sejak kapan ada syarah bahwa Hadist Nabi itu
berkenaan ilmu dunia dan bukan terkait ilmu yang menyangkut akidah? Apakah
benar kita sedang mensyarahi hadist Nabi dan menganggap kedudukannya sama
dengan Hadist?
Penilaian penulis, justru dengan membaca karya-karya non-Islam itu,
kita akan menemukan gambaran agama Islam ini dari luar, tidak selalu melihat
Islam dari dalam saja. Dan ada saat di mana penulis menemukan bahwa Islam
nampak sangat indah jika dilihat dari luar, juga sebaliknya kita akan melihat
betapa Islam saat ini sangat terbelakang dan kolot. Saya mengatakan Islam
terbelakang dan kolot, bukan berarti merendahkan agama ini lho ya. Agar tidak
terdapat kesalahpahaman pembaca yang sangat sensitif kalau Islam ini dihina,
penulis akan menegaskan bahwa orang-orang Islamnya yang sekarang ini nampak
terbelakang dan kolot, dan tentu mohon jangan dipahami kalimat tersebut
mengeneralisasikan semuanya. Okelah, saya tegaskan kembali, bahwa sebagian,
sekali lagi, sebagian orang Islam nampak terbelakang dan kolot termasuk penulis
sendiri mengakui kalau penulis ini masih terbelakang dan kolot. Dan itu bisa
penulis temukan dari orang luar yang bisa jadi mereka secara obyektif menilai
pemeluk-pemeluk Islam. Penulis lebih suka ada yang dengan tegas mengatakan kita
salah, dari pada harus menghibur diri sendiri bahwa kita benar dan selalu
benar. biarkan orang lain mengoreksi kita, yang dari situ kita akan tahu
kesalahan kita dan dari tahu itu kita akan ada usaha untuk memperbaiki diri.
Jadi, belajar tidak seharusnya terbatas pada orang yang seiman
saja. Karena bisa jadi kita akan menemukan sesuatu yang baru dari orang lain
itu, atau setidknya kita akan diingatkan olehnya ketika kita lupa bahwa kita
seharusnya tidak berlaku seperti ini dan itu. Sedikit penulis ceritakan, bahwa
beberapa hari yang lalu, penulis dan beberapa teman penulis berkunjung ke
Budhis Center dan Vihara di kota Batu, Jawa Timur.

Kesimpulannya, marilah kita bersama-sama belajar
tanpa membatasi diri kita pada ruang dan waktu. Serta yang tak kalah penting
adalah ilmu jangan kita batasi pada siapa kita mendapatkannya. Jika kita
membatasi itu, maka secara tidak langsung kita mengingkari sifat Ar-Rahmân
Allah. Bagaimana bisa? Ya bisa, bukankah kasih sayang Allah di dunia itu tidak
terbatas? Artinya Allah juga memberikan ilmu pada non-Islam yang bisa jadi
tidak diberikan kepada kita yang Islam. Kalau yang non-Islam mengambil ilmu
kita dengan bebas, kenapa kita malah membatasi diri kita dari ilmu mereka? Apakah
ini tidak aneh? Wallâhu A’lamu bish-Shawâb
Demikian, semoga yang sedikit ini bermanfaat. Amîn
Malang, 12/11/2015, 07.45 WIB
0 Response to "Belajar Tanpa Batas: Refleksi Kunjungan di Budhis Center"
Post a Comment