Angeline dan Kekerasan Pada Anak: Refleksi Seminar (Part 1)
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang, pada hari Kamis (12/11/2015) mengadakan Seminar Nasional
bertemakan “Rekonseptualisasi Perlindungan Terhadap Anak Korban Kejahatan
Perspektif Pendekatan Kognitif”. Dalam seminar ini didatangkan dua narasumber,
yaitu Siti Safura, SH., yang terdaftar sebagai anggota P2TP2A (Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) Bali; dan narasumber satunya adalah
Reni Kusumowardhani, M.Psi., selaku Ketua Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor).
Kemudian, satu minggu kemudian, Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim juga mengadakan Seminar Nasional dengan tema yang juga
mengangkat kekerasan anak, yaitu “Mengungkap Fakta Kekerasan pada Anak: Peran
Psikologi Forensik dalam Penegakan Hukum” yang mendatangkan empat narasumber
dengan keahlian yang berbeda-beda, yaitu: 1) Dr. Fathul Lubabin Nuqul, M.Si
(Praktisi Psikologi Hukum); 2) Dr. Lucky Endrawati, MH. (Praktisi Hukum
Universitas Brawijaya Malang); 3) AKBP Cucuk Trihono (Kabag Psikologi Polda
Jatim); dan 4) dr. Bambang Widhiatmoko, SpF. (Dokter Forensik).
Yang menarik dalam seminar pertama adalah bahwa kedua narasumbernya
merupakan praktisi yang sudah berkali-kali berhadapan dengan kasus kekerasan
pada anak. Bahkan bu Ipung (nama panggilan bu Siti Safura) juga pernah
mengalami kekerasan pada anak secara pribadi, yakni ketika beliau harus
memberontak dalam keluarganya dan harus kabur untuk dapat bersekolah dan
kuliah. Karena memang culture di Bali yang tidak membolehkan anak perempuan
bersekolah tinggi-tinggi. Mendengar kisah perjuangan beliau yang sampai harus kabur dari rumah dan sempat menjadi pembantu rumah tangga demi bisa sekolah, mengingatkan penulis pada kisah perjuangan R.A. Kartini (baca: Kartini: Simbol Perlawanan). Tidak hanya di situ bu Ipunk berhadapan dengan
kasus kekerasan pada anak secara langsung, karena putrinya pada usia 22 bulan
juga mengalami kekerasan seksua, yaitu dicabuli oleh tetangganya. Sebenarnya untuk
menceritakan kisah ini bisa teramat panjang, yaitu bagaimana kemudian bu Ipung
berjuang untuk mencari keadilan putrinya yang mendapat kekerasan seksual di
usia 22 bulan. Namun, inti dari kasus dihadapi bu Ipung ini sangat panjang,
bahkan meskipun pelakunya itu bisa ditangkap, ternyata beberapa waktu kemudian
bisa bebas dengan hanya menggunakan uang 35 juta. Namun, bu Ipung tetap gigih
memperjuangkan keadilan bagi putrinya, yang pada akhirnya pelaku kekerasan
seksual pada putrinya bisa ditangkap dan diadili sesuai dengan hukum yang
berlaku.
Setelah hampir satu jam bercerita tentang perjuangannya dalam
mendapatkan keadilan bagi putrinya, bu Ipung kemudian menceritakan kasus Angeline,
yang pada bulan Juni lalu menjadi trending topic di semua media. Untuk menceritakan
kasus ini pun membutuhkan waktu yang lama, karena saking lamanya sampai-sampai
moderator berkali-kali memberikan kode. Tapi intinya, ternyata kasus Angeline
adalah sebuah konspirasi tingkat tinggi yang hingga Kapolda Bali pun dibuat
tidak berkutik untuk bisa menyentuh TKP. Dan ibu Ipunk ini adalah – kalau boleh
penulis menyebutnya – sebagai “pahlawan sebenarnya” yang berhasil menemukan dan
mengungkap kasus Angeline. Kenapa penulis mengatakan ini konspirasi besar? Karena
dari pemaparan ibu Ipung, ia sampai-sampai jhampir putus asa ketika semua
jajaran kepolisian yang ada di daerah itu tidak berani untuk masuk dan menyisir
TKP, padahal ibu Ipunk sangat yakin bahwa Angeline tidak hilang, tapi sengaja
dihilangkan. Saking yakinnya ibu Ipung ini, ia sempat berani mempertaruhkan
nyawanya untuk membuktikan bahwa dugaannya itu tidak salah, ia sempat
mengatakan pada Kapolres setempat bahwa “jika Angeline tidak ditemukan sudah
menjadi mayat di dalam TKP, maka silahkan potong lehernya”, dan itu diualngi
kembali saat ia bertemu salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang datang
ke rumah Margareth, meskipun akhirnya ia dan beberapa pejabat tidak berhasil
masuk ke TKP. Jadi, dari polisi sampai anggota DPRD tidak bisa masuk ke TKP.
Saat ibu Ipunk sudah mulai kehabisan amunisi, tiba-tiba ia
dihubungi asisten ibu Yohana Yembise (Menteri Perlindungan Perempuan dan
Perlindungan Anak) yang menanyakan perkembangan kasus Angeline, saat itulah
kemudian bu Ipung menceritakan bahwa kasus tersebut menemui jalan buntuk karena
TKP belum sekali pun disisir. Mendengar penjelasan itu, maka bu Yohana langsung
mengeluarkan perintah untuk menahan Margareth (ibu tiri Angeline), dan
memerintahkan untuk menyisir TKP. Saat itu pula kemudian Mabes Polri juga turun
tangan. Baru setelah ada perintah itu, Kapolda Bali pun mempersilahkan untuk
menyisir TKP, yaitu rumah Margareth. Dan perlu diketahui, bahwa sempat ada
perintah penangkapan untuk bu Ipunk ini karena begitu gigihnya ia mengatakan
bahwa Angeline sudah menjadi mayat di dalam rumah Margareth. Bahkan ia selalu standby
di depan TKP untuk memastikan agar tidak ada sesuatu yang dibawa keluar
dari rumah tersebut. Karena pada tanggal 25 Mei 2015, bu Ipung berhasil
menggagalkan putri Margareth mengeluarkan sebuah koper yang tidak diketahui apa
itu isinya. Yang pasti bu Ipunk memastikan agar tidak ada kesempatan
penghilangan barang bukti.
Setelah perintah penangkapan dan penyisiran lokasi, ternyata apa
yang diperkirakan oleh bu Ipunk memanglah benar. seperti yang diberitakan di
media-media, bahwa Angeline ditemukan dalam keadaan tewas dan dikubur di
belakang kandang ayam. Singkat cerita, bu Ipunk menyimpulkan bahwa kasus-kasus
kekerasan pada anak sangatlah rawan dan hukum pun seakan kurang tegas membela
hak-hak anak. Dari kasus putrinya, yang hanya dengan membayar sejumlah uang
pelaku kekerasan pada anaknya bisa bebas. Kemudian pada kasus Angeline, nampak
bahwa hukum nampak tidak berkutik jika berhadapan dengan uang. Ada kesaksian
dari satpam yang ada di TKP, bahwa ketika ia berhasil menghalau anggota DPRD
dan beberapa pejabat yang hendak masuk ke TKP, ia mendapat pujian dan bonus
dari Margareth atas keberhasilannya itu.
Belum lagi, ketika penulis mendengarkan pemaparan bagaimana
skenario yang dibuat untuk menutupi kasus Angeline ini ada perasaan yang sangat
miris. Ternyata konspirasi-konspirasi besar seperti dalam film-film juga
terjadi di dunia nyata. Kasus Angeline ini adalah salah satunya, bagaimana
kejahatan sedemikian keji hampir saja berlalu begitu saja. Mungkin memang
inilah skenario Tuhan Yang Maha Esa untuk mengirim bu Ipunk, yang telah
bersumpah jika ia berhasil memperjuangkan keadilan untuk putrinya, ia akan
membantu anak-anak di Indonesia yang mengalami kekerasan baik itu fisik,
psikis, seksual atau sebagainya. Dan kasus Angeline nampaknya menjadi salah
satu pembuktian akan sumpah bu Ipung tersebut. Dalam pemaparan kasus tersebut,
berkali-kali audiens merasa ngeri, dan benci. Ngeri mendengar betapa
kejamnya penyiksaan yang diterima Angeline dan benci melihat tingkah laku
Margareth, kemudian polisi yang bahkan sampai tidak berani masuk ke TKP dengan
alasan takut dicurigai. Bagaimana bisa seorang polisi takut untuk menyisir TKP?
Gambar di samping adalah beberapa foto yang menunjukkan TKP yang diambil oleh bu Ipung. Dari yangbagian kiri atas, nampak ada kandang ayam (sisi kanan). Di belakang kandang itulah mayat Angeline di kubur hanya dalam lubang sedalam setengah meter. Kemudian pada foto kanan atas, di samping agak ke belakang mobil biru adalah kamar Angeline yang di dalamnya juga ada 17 ekor kucing dan anjing yang kesemuanya makan dan berak di kamar itu. Jadi, Angeline tinggal dengan 17 ekor anjing dan kucing dalam satu kamar. Parahnya lagi makanan yang dimakan Angeline juga sama dengan apa yang dimakan oleh peliharaan tersebut. Kemudian pada foto yang bawah nampak ada tangga, dari keterangan saksi yang ditemui bu Ipung, Angeline pernah dijambak rambutnya dan kemudian diseret dari lantai 2 ke lantai 1 oleh Margareth. Itu adalah secuil kisah kekerasan fisik yang dialami Angeline. Jadi, kisah seperti yang ada di film-film tentang kekjaman ibu tiri ternyata memang nyata terjadi, meskipun memang tidak semua ibu tiri seperti itu. Dan dari hasil otopsi yang dikeluarkan oleh pihak
Rumah Sakit Sanglah yang mengatakan bahwa:
Artinya, bahwa dugaan adanya kekerasan seksual yang diterima Angeline adalah tidak benar. Alih-alih mendapat kekerasan seksual, Angeline justru mendapat perlakuan kekerasan yang teramat sadis, bahkan ibu Ipung menceritakan bahwa luka yang diderita Angeline rata-rata sepanjang 1 cm dan ada juga luka sayatan yang sampai 5 cm.
Bercermin pada dua kasus tersebut, ibu Ipunk berpesan agar kita tidak menganggap remeh pada kasus kekerasan pada anak. Dua kasus di atas bagian kecil kasus kekerasan pada anak yang berhasil diungkap, dan pastinya di luar sana masih teramat banyak kasus serupa yang berakhir dengan lepas dari hukum. Khusus pada kekerasan seksual, ibu Ipung meminta para audiens untuk lebih peduli pada memberikan pendidikan seks pada anak sejak dini, dan jangan takut untuk melaporkan tindak-tindak kekerasan pada anak ke pihak yang berwajib. Dan ibu Ipunk membuka lebar-lebar bagi siapa saja untuk bisa meminta bantuan jika di sekitarnya terjadi kasus kekerasan-kekerasan pada anak. Bu Ipung siap membantu secara hukum untuk memperjuangkan keadilan, dan karena ia sudah mempersilahkan, maka di sini penulis akan membagikan contact person beliau, dan beliau akan membantu semaksimal mungkin. Berikut adalah CP beliau: 081529021575 / 085238222803.
1. Ditemukannya
kekerasan benda tumpul di kepala bagian belakang Engeline hingga mengalami
pendarahan keras.
2.
Ditemukannya
luka lebam disekunjur tubuh Engeline
dari kepala, pelipis, punggung, pinggang, paha sampai kaki akibat benda tumpul.
3.
Diketemukan
sulutan rokok di punggung sebelah kanan tubuh Engeline.
4.
Tidak
diketemukannya akibat kekerasan seksual dihasil pemeriksaan terhadap jenasah
Engeline.
Artinya, bahwa dugaan adanya kekerasan seksual yang diterima Angeline adalah tidak benar. Alih-alih mendapat kekerasan seksual, Angeline justru mendapat perlakuan kekerasan yang teramat sadis, bahkan ibu Ipung menceritakan bahwa luka yang diderita Angeline rata-rata sepanjang 1 cm dan ada juga luka sayatan yang sampai 5 cm.
Bercermin pada dua kasus tersebut, ibu Ipunk berpesan agar kita tidak menganggap remeh pada kasus kekerasan pada anak. Dua kasus di atas bagian kecil kasus kekerasan pada anak yang berhasil diungkap, dan pastinya di luar sana masih teramat banyak kasus serupa yang berakhir dengan lepas dari hukum. Khusus pada kekerasan seksual, ibu Ipung meminta para audiens untuk lebih peduli pada memberikan pendidikan seks pada anak sejak dini, dan jangan takut untuk melaporkan tindak-tindak kekerasan pada anak ke pihak yang berwajib. Dan ibu Ipunk membuka lebar-lebar bagi siapa saja untuk bisa meminta bantuan jika di sekitarnya terjadi kasus kekerasan-kekerasan pada anak. Bu Ipung siap membantu secara hukum untuk memperjuangkan keadilan, dan karena ia sudah mempersilahkan, maka di sini penulis akan membagikan contact person beliau, dan beliau akan membantu semaksimal mungkin. Berikut adalah CP beliau: 081529021575 / 085238222803.
Sementara penulis cukupkan sampai di sini, untuk refleksi dari
narasumber lainnya akan penulis sampaikan pada tulisan selanjutnya. Demikian,
semoga bermanfaat. Amiiin.
Malang,
20/11/2015, 07:27 WIB
0 Response to "Angeline dan Kekerasan Pada Anak: Refleksi Seminar (Part 1)"
Post a Comment