4th International Conference of Islamic Scholars: Sebuah Refleksi



International Conference of Islamic Scholars (ICIS) keempat yang diselenggarakan di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang telah usai. Meskipun sempat kecewa karena tidak bisa menjadi peserta dalam perhelatan akbar yang melibatkan 32 negara tersebut dari hari pertama hingga hari terakhir, setidaknya penulis sempat mengikuti diskusi panel yang ketika, yang diselenggarakan pada hari Selasa (24 November 2015). Dalam panel sesi ketiga ini, terdapat beberapa narasumber, yaitu: Prof. Dr. KH. Abdul Hadi, MA. (Indonesia), Syeikh Jibril Al-Hadda (Brunei), Habib Zeid Abdurrahmad H. (Yaman), dan Prof. Dr. Sayid M. Fadil Al-Jailani (Turki) yang merupakan cicit dari Sulthanil Auliya’ Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, serta satu lagi narasumber yang tidak tercantum dalam selebaran, tapi penulis lupa mencatat nama beliau.
Panel ketiga ini terasa begitu istimewa, karena tema yang dibahas adalah terkait dengan kesufian, yaitu “The Challenge of International Sufi in The Global World Order”. Keistimewaan selanjutnya adalah salah satu narasumbernya adalah cicit dari Sulthanil Auliya” Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani yang sangat terasa keistimewaan beliau terpancar saat beliau menyampaikan materi. Memang, keempat narasumber dari luar negeri pada panel ini mayoritas memakai bahasa Arab dan Inggris,  sehingga – dengan tidak bermaksud meremehkan – nampaknya ketika beliau-beliau menyampaikan materi tidak banyak peserta yang mengerti apa yang disampaikan. Suasana terasa hening, bahkan nampak satu dua peserta yang terlihat terkantuk-kantuk. Tapi suasana ini berbeda ketika Prof. Dr. Sayid M. Fadil Al-Jailani menyampaikan materi, nampak ada semangat yang diekspresikan oleh para peserta ketika beliau naik ke atas mimbar, beberapa kali lantunan shalawat juga dielu-elukan para peserta. Lantas apa materi yang disampaikan? Secara garis besar, yang bisa penulis tangkap adalah seputar kesufian Syeikh Abdul Qadir Jailani, meskipun – karena keterbatasan bahasa penulis – secara detailnya memang penulis kurang memahami.
Seusai Prof. Dr. Sayid M. Fadil Al-Jailani menyampaikan materi, disambung oleh narasumber selanjutnya yang masih dari luar negeri. Di saat narasumber ini menyampaikan materi, tiba-tiba perhatian peserta diskusi panel – seakan-akan – dicuri oleh kehadiran Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya, mursyid thariqah dari Pekalongan yang kemasyhuran beliau sudah mendunia yang memakai jubah putih lengkap dengan imamahnya. Dan memang kehadiran beliau sangat dinanti-nantikan oleh para peserta panel, yang nampaknya dari pagi memang beliau belum hadir. Di sinilah kemudian penulis merasa masih beruntung, meskipun tidak bisa mengikuti acara ini dari awal, tapi tetap bisa menghadiri panel ketiga yang dihadiri oleh Habib Luthfi.
Saat narasumber keempat sore itu selesai menyampaikan materi, Habib Luthfi diperkenankan untuk menyampaikan sambutannya. Ada beberapa catatan yang perlu penulis sampaikan dalam tulisan ini. Pertama, bersyukur jika hanya dipahami dengan mengucapkan alhamdulillah saja itu semua orang bisa. Tapi untuk seseorang bisa benar-benar bersyukur dengan membelanjakan semua yang telah diberikan Allah SWT. dalam kepentingan menghamba itu bukanlah perkara yang mudah. Diadakannya acara semacam ini jangan sampai hanya menjadikan kita takjub saja, jangan hanya berhenti pada “masya Allah” saja sebagai ungkapan takjub, tapi bagaimana kita benar-benar bisa menjadi seseorang yang lebih baik seusai mengikuti acara ini. Kedua, beliau menegaskan bahwa thariqah bukan selalu berbicara tentang aspek dzikir saja, ia (thariqah) juga bisa berbicara dengan aspek eknomi, pertanian dan sebagainya. Ketiga, beliau mengingatkan bahwa kita umat Islam saat ini sudah tertinggal sangat jauh dengan umat agama lain, dan ketinggalan ini sulit bagi kita untuk mengejarnya jika kita hanya selalu meributkan masalah-masalah agama. Beliau – dengan suaranya yang tegas, yang seketika dalam benak penulis teringat sosok Umar bin Khattab yang dalam sejarah-sejarah diceritakan akan ketegasannya – bertanya pada para hadirin yuang ada, apakah hanya akan diam saja, diam dengan ketertinggalan umat Islam saat ini? Para hadirin pun menjawab tidak! Namun, jawaban itu terdengar lirih, kemudian Habib Luthfi pun mengulangi pertanyaannya yang kali ini dijawab dengan begitu keras oleh para hadirin, tidaaaaaaaak! Habib Luthfi melanjutkan, jika memang kita mengatakan tidak, maka buktikan itu, jangan hanya mengatakan tidak tapi tidak ada bukti, percuma itu. Sungguh, dalam sambutannya yang singkat itu terdapat pesan yang sangat agung untuk kita sebagai umat Islam dewasa ini renungkan.
Seusai Habib Luthfi menyampaikan sambutan, beliau kemudian di Bai’at oleh Prof. Dr. Sayid M. Fadil Al-Jailani. Nampak Prof. Dr. Sayid M. Fadil Al-Jailani melilitkan sorban hijau di imamah Habib Luthfi. Kemudian Prof. Dr. Sayid M. Fadil Al-Jailani memberikan 9 kitab karya Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani kepada Habib Luthfi. Lagi-lagi, lantunan shalawat berulangkali terlantun dari para hadirin sore itu. Dan sungguh, ada perasaan yang sangat menggemberikan menyaksikan pembai’atan sore itu, ada perasaan damai ketika menyaksikan keduanya (Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya dan Prof. Dr. Sayid M. Fadil Al-Jailani) saling berpelukan dan terlebih saat penyematan sorban hijau tersebut. Kemudian, usai pembai’atan tersebut diksusi panel dilanjutkan kembali.
(Terkait tentang pembai’atan ini, silahkan baca: Habib Luthfi dibai'at Langsung oleh Cucu Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani)
Diskusi panel ketiga ini usai tepat pukul 17.00 WIB. Panitia kemudian mengingatkan kepada para peserta untuk dapat menghadiri Dzikir Akbar yang diselenggarakan pada pukul 18.30 di Sport Center UIN Maliki Malang yang akan dihadiri para ulama dan sufi.
Dalam acara Dzikir Akbar ini, Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya dipersilahkan untuk menyampaikan sambutan. Sayangnya, penulis tidak bisa mendengarkan sambutan beliau secara lengkap, karena keterlambatan menghadiri acara tersebut.
Tapi, setidaknya penulis bisa menangkap kesimpulan di akhir sambutan beliau. Bahwa beliau mengingatkan kita sebagai generasi muda (karena memang nampak dalam acara ini para mahasiswa dan mahasiswi yang memenuhi ruangan, di samping para peserta ICIS) untuk bisa menumbuhkan semangat cinta pada tanah air, yaitu Indonesia. Beliau prihatin dengan upaya-upaya yang mencoba melunturkan semangat cinta Indonesia bagi generasi penerus bangsa. Beliau mengutip sebuah hadist yang kemudian beliau qiyaskan bahwa kita bisa menjadikan bangsa Indonesia ini kuat jika kita bisa memupuk semangat cinta negeri bagi masyarakatnya, dan sebaliknya negeri ini akan rapuh jika warganya kehilangan semangat mencintai bangsa ini. Namun beliau juga berpesan jangan hanya berhenti pada mengikrarkan bahwa “saya mencintai Indonesia”, tapi juga membuktikan bahwa kita memang benar-benar mencintai bangsa ini. Beliau yakin jika semua orang Indonesia memiliki semangat untuk mencintai bangsanya, maka bangsa ini tidak akan mudah dipecah-belah oleh pihak luar. Karena setiap warganya merasa berkewajiban untuk mempertahankan apa yang dicintainya, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, nampak isi tausiyah beliau adalah tausiyah kebangsaan yang juga dikolaborasikan dengan keislaman.
Catatan atau kesimpulan yang mungkin bisa penulis berikan dalam tulisan ini adalah bahwa acara ICIS keempat ini menegaskan kembali bahwa Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi alam semesta. Kemudian, dari apa yang disampaikan oleh Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya, secara tidak beliau mengingatkan pada kita bahwa Islam tidak hanya berbicara tentang ubudiyah saja, melainkan juga mu’amalah. Beliau mengungatkan pada kita bahwa saat ini kita tertinggal jauh dari pihak lain, jangan sampai ketertinggalan ini semakin jauh dengan kita hanya membicarakan agama saja. Bahwa thariqah bukan hanya urusan dzikir yang “melangit”, melainkan ia (thariqah) juga bisa menjadi sarana dzikir yang “membumi”. Artinya, mengingat bahwa Allah telah memberikan kenikmatan-kenikmatan pada kita yang harus kita syukuri, yaitu dengan membelanjakan kenikmatan-kenikmatan itu untuk sebenar-benarnya mengabdi pada Allah SWT. Wallâhu A’lamu bish-Shawâb.
Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Aamiiiin
Malang, 26/11/2015, 19.42 WIB

0 Response to "4th International Conference of Islamic Scholars: Sebuah Refleksi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel