Sudjiwo Tejo: Mengajarkan Kebenaran Itu Tidak Ada
Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya, yaitu tentang
kegiatan simposium pendidikan dengan tema “Meneropong Budaya Pendidikan
Indonesia” dengan dua narasumbernya, Agus Sunyoto dan Sudjiwo Tejo. Jika pada
tulisan sebelumnya (baca: Budaya Pendidikan Indonesia: Dulu dan Sekarang )
membahas sedikit tentang catatan-catatan dari Agus Sunyoto, maka untuk tulisan
ini saya akan sedikit menyampaikan beberapa catatan penting yang disampaikan
oleh Sudjiwo Tejo.
Dalam catatan saya, poin pertama yang disampaikan oleh mbah Djiwo (panggilan
akrab Sudjiwo Tejo) ini adalah “Belajar bahwa kebenaran itu tidak ada, karena
kebenaran itu adalah milik Tuhan”. Tentu ini menjadi hal asing, setidaknya bagi
saya pribadi. Di tengah-tengah masyarakat kita yang sering muncul apa yang
sering disebut sebagai truth claim (klaim kebenaran) justru mbah Djiwo
malah menganjurkan untuk belajar bahwa tidak ada kebenaran yang patut diklaim
oleh manusia.
Tentunya, apa yang disampaikan oleh mbah Djiwo ini perlu kita kaji
lebih jauh. Bukan karena ini keluar dari seorang budayawan kondang, lantas kita
percaya begitu saja. Atau sebaliknya, bukan karena ia bukan dari seorang
cendikiwan yang kredibiltas keagamaannya – mungkin – masih diragukan lantas kita
mengklaim salah atas apa yang disampaikan tersebut. Setidaknya kita harus
obyektif dalam menilai pernyataan tersebut. Sebelum kita menilainya apakah itu
salah atau benar, atau setidaknya kita anggap salah atau benar, kita harus tahu
terlebih dahulu apa dampak dari pernyataan tersebut. Bahwa kebenaran adalah
milik Tuhan semata, artinya setiap manusia ini yang hidup di dunia adalah
makhluk yang senantiasa mencari, mencari kebenaran yang pada dasarnya memang
hanya milik Sang Penciptanya.
Memang, agak sulit untuk mencerna ilmu yang satu ini, ilmu yang
mengajarkan bahwa kebenaran itu tidak ada, dan karena tidak ada kebenaran
selain kebenaran dari Tuhan, maka dari itu untuk mengetahui apakah kita benar
atas apa yang kita yakini adalah ketika kita sudah benar-benar berhadapan
dengan Tuhan, atau setidaknya dengan pengadilan Tuhan Yang Maha Adil. Sampai pada
saat nyawa kita telah keluar dari raga ini, barulah kita akan tahu apakah yang
kita yakini selama ini benar atau tidak (baca: Dalam Hidupku Aku Bertanya,Dalam Matiku Aku Menjawab) implikasi dari keyakinan bahwa kebenaran sejati
adalah milik Tuhan dengan diikuti proses pencarian kebenaran yang terus menerus
inilah kita akan menjadi pribadi yang tidak mudah menyalahkan orang lain yang
dari luar nampak berbeda dengan kita. Karena prinsip yang kita pegang adalah
kita semua sama-sama dalam proses pencarian tiada henti untuk mencari kebenaran
yang sejati itu. Dan meskipun kita sadari bahwa itu tidak akan kita dapatkan
sebelum kita raji’ (kembali) ke Hadirat Ilahi Rabbi, kita tidak
seharusnya berhenti pada keyakinan inilah bentuk kebenaran yang dikehendaki
Tuhan, karena jika kita sampai berhenti pada keyakinan kebenaran yang saya
yakini ini adalah benar-benar kehendak Ilahi, maka secara tidak langsung kita
telah mendahului dan melampaui Kuasa Sang Pencipta. Dan kita bisa lihat
bagaimana akhirnya jika seseorang mendengung-dengungkan truth claim kepada
pihak lain, minimal adalah kita mempunyai penilain negatif dengan menganggap
diri kita lebih suci dan lebih bersih dari orang lain yang dalam benak kita
keyakinan mereka tidak benar atau salah, dan lupakah kita atas kesombongan apa
yang ditampilkan oleh syetan sehingga ia diusir oleh Tuhan dari surga?
Berat bukan? Ya, apa yang disampaikan oleh mbah Djiwo ini saya
rasakan bukanlah ilmu ringan yang siapa saja bisa menerimanya. Apalagi jika
selama ini kita didoktrin untuk meyakini bahwa apa yang kita yakini adalah yang
paling benar. Pun demikian, tentu untuk mengajarkan bahwa kebenaran itu tidak
ada dalam dunia pendidikan amatlah tidak mungkin. Oleh karena itu, mabha Djiwo
juga memberi catatan dalam pernyataannya tersebut, bahwa memang iya kita harus
belajar bahwa kebenaran itu tidak ada, namun dalam mendidik, kita harus tetap
mengatakan bahwa kebenaran itu ada, bahkan ia mengatakan jika “Pendidik itu
harus menyatakan bahwa kebenaran itu ada”. Misalnya, ketika kita mengajarkan
pada anak-anak dalam berlalu lintas di jalan raya, di mana ketika kita
mengendarai entah sepeda, motor atau kendaraannya lainnya, kita harus berada di
lajur kiri sesuai dengan peraturan yang berlaku di negeri ini. bukan keran
meyakini kebenaran itu hanya milik Tuhan lantas kita seenaknya jalan di mana
saja bukan?
Jalan di lajur kiri ini adalah “acting” kebenaran. Kita meyakini
itu sebagai kebenaran sementara yang kita yakini bisa mendatangkan kebaikan,
meskipun dalam lubuk hati yang terdalam kebenaran itu tetap tidak ada. Jadi,
kita hanya bisa “acting” saja dalam meyakini kebenaran kita. Ibarat kita
hendak menuju ke tempat yang tidak kita ketahui sama sekali, katakanlah saya
hendak ke Banten, padahal sebelumnya saya belum pernah ke sana, kemudian saya
bertanya pada seseorang dan mendaptkan arahan darinya, jika saya tetap kukuh
pada pendirian bahwa kebenaran itu hanya milik Tuhan, maka saya tidak akan
memperhatikan petunjuk dari orang tersebut. Tapi, dalam hal ini saya tidak
seharusnya bersikeras mempertahankan prinsip itu, saya harus “acting”
menganggap petunjuk itu benar, karena bagaimana pun bisa jadi orang tersebut
memang benar-benar menunjukkan cara untuk saya agar bisa sampai di Banten.
Jadi, untuk semntara kita harus “acting” kebenaran dengan
tetap mencari kebenaran hakiki itu, meskipun dalam lubuk hati terdalam
keyakinan akan kebenaran sejati ini hanya bisa kita temukan dalam kematian
kita. Ini sama saja dengan kita sudah tahu jika kita tidak akan pernah bisa
sampai pada puncaknya langit, tapi kita tetap saja berusaha untuk bisa sampai
di puncaknya langit. Jika kita renungkan dengan seksama, maka inilah arti
sebenarnya dengan status manusia, yaitu hamba. Kita harus benar-benar
menghamba pada-Nya tanpa berpikir panjang kita akan dapat apa atau untuk apa
penghambaan itu.
Melanjutkan perumpaan yang disampaikan mbah Djiwo, bahwa “acting”
kebenaran dalam hal berlalu lintas adalah berjalan di lajur kiri. Kenapa di
kiri? Karena agar selamat. Ini adalah “acting”, karena menurut mbah
Djiwo memang apa salahnya ketika kita tidak di posisi kiri? Ada yang menjawab,
tidak akan selamat (tertabrak). Lantas apa salahnya dengan tertabrak? Bisa jadi
tertabrak itu adalah yang terbaik buat kita. Bisa jadi lebih baik mati
tertabrak dari pada hidup dengan menderita. Mbah Djiwo melanjutkan, seperti
halnya kejadian di Mina dalam musim haji tahun lalu, di media-media
memberitakan tragedi tersebut dengan musibah, dan semacamnya. Itu semua adalah acting,
karena bagaimana kita bisa mengklaim itu sebagai musibah? Bisa jadi itu
adalah berkah yang bersembunyi di balik peristiwa yang dalam pengetahuan
manusia yang terbatas disebut dengan musibah. Bukankah kita sering mengalami
kepayahan, namun pada masa depan kita menyadari bahwa kepayahan kita saat itu
adalah awal dari keberkahan yang diberikan Tuhan pada kita. Jadi, untuk kita
tetap bisa eksis di bumi ini, kita harus “acting” tentang suatu
kebenaran, namun tetap harus meyakini kebenaran yang kita yakini adalah sebuah “acting”,
karena kebenarakn sejati adalah milik Tuhan.
Jujur saja, ada perasaan yang membuncah saat mendengarkan ceramah
dari mbah Djiwo ini, apa yang disampaikan ini sebenarnya tidak jauh dari kita
dan amat sederhana. Sayangnya, karena sederhana inilah yang membuat kita lupa. Kita
terkadang memang menyibukkan diri pada sesuatu yang rumit dan terlalu jauh. Saya
yakin, jika setiap orang memegang prinsip ini maka kita akan benar-benar bisa
menangkap esensi dari firman-Nya yang menyuruh kita “berlomba-lomba dalam
kebaikan”. Yang penting berbuat baik, dan berbuat baik ini adalah salah satu
perantara untuk bisa memperoleh kebenaran yang Hakiki itu. Dan dari sini
kemudian saya menemukan titik temu dari apa yang telah saya tulis sebelumnya
(baca: Amal atau Iman?), bahwa kualitas seseorang itu adalah dari amal
(perbuatan)nya, dan ini tentu sangat pas ketika kita ingat sabda Nabi SAW., “sebaik-baiknya
di antara kalian adalah yang paling bermanfaat bagi manusia”. Yang perlu
digarisbawahi adalah bermanfaat bagi manusia, sekali lagi, bermanfaat bagi
manusia, manusia yang mana? Ya semua yang menyandang status manusia, entah itu
seagama, sekeyakinan, sesuku, seetnik dan sebagainya.
Intinya, semua masih dalam proses pencarian kebenaran. Bahkan apa
yang kita yakini sebagai kebanaran saat ini masih harus kita pertanyakan sampai
kita benar-benar bertemu dengan Sang Pemilik Kebenaran Sejati itu. Dengan demikian,
untuk menyibukkan diri pada mengurusi proses pencarian kebenaran pihak lain
adalah teramat sia-sia. Di saat yang lain telah menghibahkan dirinya pada
kemanfaatan manusia lainnya, akankah kita akan tetap bersikukuh dengan
mengatakan “akulah yang paling benar, dan yang bukan sepertiku adalah salah?”
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin menyampaikan apa yang dikisahkan
oleh Romo Agus Sunyoto, ketika berbicara tentang siapa mengetahui hakikat Tuhan
yang merupakan tanggapan atas pernyataan mbah Djiwo bahwa “ketika kita bisa
membayangkan siapa Tuhan itu, maka sejatinya itu bukanlah Tuhan”. Diceritakan ada
empat ekor Laron yang sedang membicarakan tentang apa itu api. Laron pertama
mengatakan jika “api itu warnanya merah dan panas”. Kemudian laron pertama ini
ditanya laron lainnya dari mana ia tahu kalu api itu merah dan panas? Ia pun
menjawab bahwa ia tahu kalau api itu merah dan panas dari ibunya. Romo Agus
Sunyoto ini mengatakan ini seperti kita yang mengenal Tuhan melaui orang tua
kita. Kemudian laron kedua mengatakan bahwa api itu bukan merah, tapi kuning
dan tidak panas. Ini karena ia melihat api dari kejauhan. Kemudian laron ketiga
mengatakan jika api itu bukan panas tapi hangat. Kemudian tiba giliran laron
keempat, jika ketiga laron lainnya bisa menggambarkan bagaimana api itu, maka
tidak dengan laron keempat ini, ia mengatakan bahwa “aku tidak tahu apa api
itu, tapi yang aku tahu saat ini sayapku telah terbakar”. Dari keempat laron
ini manakah laron yang benar-benar mengenal apa itu api? Ya, laron yang
keempatlah yang benar-benar mengenal hakikat dari api, meskipun ia tidak bisa
menggambarkan apa api itu, sekali lagi, “meskipun ia tidak bisa menggambarkan
apa api itu”. Sama halnya dengan Tuhan, ketika kita bisa menggambarkan tentang
Tuhan, maka seketika itu kita telah jatuh pada pemaknaan Tuhan yang palsu. Wallâhu
A’lamu bish-Shawâb
Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Amiiiiiiiiiin
Malang, 28/10/2015, 06:06 WIB
0 Response to "Sudjiwo Tejo: Mengajarkan Kebenaran Itu Tidak Ada"
Post a Comment