Pengemis dan Kesombongan Kita
Belakangan ini, muncul beberapa pemberitaan yang menyorot para
pengemis-pengemis kaya. Fenomena pengemis kaya ini terjadi baik di luar negeri
sana atau pun juga ada di Indonesia. Istilah “pengemis kaya” ini tentunya
menjadi istilah yang agak aneh, di mana seperti yang kita ketahui pengemis
adalah orang yang meminta-minta kepada orang lain karena keterbatasan materi
yang dipunyai. Ketidakpunyaan materi ini dan tidak adanya keterampilan bekerja
ini menjadikan seseorang ini meminta-minta kepada orang lain. Bentuknya pun
macam-macam, ada yang meminta-minta di rumah-rumah warga, di jalanan atau di
tempat-tempat umum. Tentu akan aneh jika kemudian istilah pengemis ini
disandingkan dengan istilah kaya, bagaimana bisa dua istilah yang saling
berlawanan digunakan untuk menyebut satu objek. Namun itulah yang terjadi
akhir-akhir ini.
Istilah “pengemis kaya” ini tentu bukan muncul tiba-tiba begitu
saja, karena – itu tadi – adanya pemberitaan-pemberitaan yang menayangkan dua
sisi kehidupan pengemis. Satu sisi menunjukkan sisi kemiskinan yang
dinampakkan, yakni ketika siang hari. Namun, ketika malam orang yang nampak
miskin ini berubah 180 derajat menjadi sosok yang kaya dengan lifestyle yang
glamour. Tidak hanya itu, faktanya juga sering kita dapati para pengemis itu
memiliki benda-benda dengan harga jual yang mahal, seperti smartphone, tablet,
bahkan memiliki rumah yang mewah lengkap dengan kendaraan-kendaraan mewahnya.
Terakhir, berita yang baca adalah adanya pengemis di Tiongkok yang satu
keluarga menjadi pengemis dengan penghasilan setiap orangnya 300 ribu perhari. Artinya,
penghasilan perbulan satu pengemis ini adalah 9 juta. Itu baru satu anggota
keluarga dan pendapatan itu adalah pendapatan minimal, bisa kita bayangkan jika
pendapatan pengmis ini mengalahkan gaji pegawai kantoran.
Lantas, apa maksud saya menulis tulisan ini? Dari pemberitaan yang
saya ikuti ini, ada beberapa komentar yang beberapa sedikit mengganggu saya. Ada
yang kemudian mengatakan jika harus lebih hati-hati untuk memberikan uang pada
pengemis. Ada juga yang karena pemberitaan ini kemudian menganggap tidak usah
lagi memberi uang pada para pengmis-pengemis semacam ini. Peribahasa yang bisa
saya kutip di sini adalah “karena nila setitik, rusak air susu sebelanga”. Ya,
karena ulah pengemis-pengemis kaya ini menjadikan kita berburuk sangka kepada
pengemis-pengemis lainnya yang kita temui, yang bisa jadi memang pengemis yang
rela meminta-minta karena ketidakpunyaan mereka. Kadang kita tidak sadar bahwa
diri kita sedang menyombongkan diri dengan menilai mereka itu hanya malas
bekerja, bisanya cuma minta-minta, di samping juga menganggap mereka berlagak
miskin dan sebagainya.
Apakah
karena uang seribu, atau dua ribu yang hendak kita sisihkan bagi para pengemis
ini menjadikan kita berhak dan pantas memberikan penilaian yang negatif untuk
para pengemis ini? Apakah memang penilaian kita itu benar? Dan diantara sekian
banyak alasan dan komentar, ada satu yang – bagi saya – sangat keterlaluan,
yaitu kita harus lebih pintar-pintar dan hati-hati dalam bersedekah. Ya,
maksudnya itu tadi jangan sampai bersedekah pada pengemis-pengemis kaya. Mungkin
untuk sebagian orang komentar itu biasa-biasa saja dan sebagian pasti juga
menyetujuinya. Tapi, sekali lagi menurut saya itu keterlaluan. Coba kita
renungkan, “kita harus lebih pintar-pintar dalam sedekah”, memang berapa
rupiahkah yang akan kita berikan untuk sedekah, apakah semua harta yang kita
miliki? atau setengah dari kekayaan kita sehingga perlu berpintar-pintar dalam
memberikan dalam rangka sedekah? Bukankah jika kita hanya akan memberikan
pecahan uang terkecil yang ada dalam dompet kita dengan berpintar-pintar dulu
memilih mana pengemis yang akan kita kasih itu menegasikan betapa kita ini
pelit dan iri? Kenapa iri? Ya, secara tidak langsung kita iri dengan
pengemis-pengemis kaya yang berhasil diekspos. Keirian ini akhirnya membuat
kita mempelitkan diri kita ketika bertemu pengemis. Kita iri bahwa mereka yang
hanya meminta-minta itu berpenghasilan banyak, akhirnya kita harus memikirkan
uang ribuan kita ketika bertemu mereka.
Apakah sikap semacam itu salah? tulisan saya ini tidak dimaksudkan
untuk menilai mana yang salah dan mana yang benar. Adalah hak kita untuk
memberi atau tidak pada pengemis yang kita temui. Hanya saja, marilah kita
bersama merenung, apakah Tuhan memberikan kenikamatan kepada manusia itu
pilih-pilih? Apakah Tuhan itu memberikan kenikmatan di dunia ini kepad manusia
yang bertakwa kepada-Nya saja? Apakah Tuhan pilih-pilih ketika hendak
memberikan kesehatan bagi makhluknya yang rajin sholat saja? Ataukah Tuhan
memberikan semua itu tanpa pilih-pilih? Apakah kita hendak mengatakan jika
Tuhan hanya memberikan kenikmatan dunia hanya kepada orang Islam saja? Memberikan
kesehatan bagi yang mengimani Rasulullah saja? Jika Tuhan saja tidak
pilih-pilih dalam memberi, kenapa kita yang hanya manusia biasa justru
pilih-pilih ketika hendak memberikan apa yang sebenarnya juga bukan milik kita?
Sudah berasa semulia apakah kita ini sampai-sampai kita – seakan – kehilangan rasa
malu melampaui batas, saya membayangkan ketika berkomentar “kita harus
pintar-pintar dalam bersedekah”, Tuhan sedang menertawakan kita.
Kita bisa bayangkan, jika ternyata Tuhan bersikap seperti kitam
yaitu memilih-milih ketika memberikan kenikmatan, apakah kita yakin akan
mendapat nikmat darinya, yang hanya diberikan bagi hanmba-Nya yang benar-benar
taat. Apakh kita sudah yakin bahwa ketaatan kita ini sudah memenuhi kriteria
untuk menerima nikmat dari-Nya? Untungnya, Tuhan tidak seperti itu. Karena jika
Tuhan pilih-pilih memberikan nikmat, saya pribadi takut jika saya belum masuk
kriteria yang dipantaskan mendapat nikmat. Tidak peduli apakah manusia yang
diberi nikmat itu mengabdikan hidup pada-Nya atau sebaliknya, mengingkari dan
bahkan menistakan-Nya. Semua diberi nikmat oleh-Nya. Dan nikmat itu bukan hanya
sebatas seribu dua ribu rupiah, melainkan nikmat hidup, nikmat sehat, nikmat
materi, dan nikmta-nikmat yang tak terkira. Itu semua diberikan pada kita cuma-Cuma.
Memang, kita dituntut mengabdi pada-Nya, tapi tentu banyak kita temui
orang-orang yang mengingkari Tuhan juga mendapat nikmat-nikmat tersebut.
Intinya, “Jika Tuhan saja tidak memilih-memilih dalam memberi,
lantas kenapa kita harus memilih-milih dalam memberi?”. Seperti dalam tulisan
saya sebelumnya, (baca kita dan pengemis) bahwa kita harusnya berterimakasih
pada pengemis-pengemis ini, karena mereka mendatangi kita dengan sendirinya
menawarkan pahala. Terlepas apakah mereka itu benar-benar miskin atau tidak itu
bukan urusan kita. Ketika kita niat bersedekah berarti itu urusan kita dengan
Tuhan. Dan jangan sampai kita merasa bahwa rezeki pengemis itu kita yang
memberi. Jangan sampai kita menyombongkan diri bahwa rezeki yang dimiliki
pengemis-pengemis itu dari kita. Kenapa kita harus repot-repot memilih mana
yang pantas kita beri? Jika memang sayang dengan seribu dua ribu itu ya sudah
disimpan saja, bisa jadi kita lebih membutuhkan dari orang yang hendak kita
beri, namun perlu kita pertimbangkan apakah dia pantas diberi atau tidak.
Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat dan bisa menjadi bahan
renungan kita bersama. Amiiin.
Malang, 18/10/2015, 19.29 WIB
0 Response to "Pengemis dan Kesombongan Kita"
Post a Comment