Pendidikan Moral dan K-13
Salah satu perhatian utama dunia pendidikan saat ini, khususnya di
Indonesia adalah terkait dengan moral. Ini setidaknya dapat diverifikasi dengan
adanya Kurikulum 2013 yang menitikberatkan pada upaya pembentukan moral peserta
didik. Dan seperti yang telah saya tulis sebelumnya, (baca: Galau K-13) karena
kurikulum ini adalah kurikulum yang muncul paling akhir, maka asumsinya
kurikulum ini adalah kurikulum yang paling sempurna – setidaknya untuk saat ini
– dari kurikulum-kurikulum sebelumnya. Pun demikian, pada kenyataannya
kurikulum ini sampai saat ini masih menimbulkan kontroversi-kontroversi baik
dalam tataran konseptual atau pun praktis. Akan tetapi, pada tulisan kali ini
saya tidak akan fokus pada kontroversi-kontroversi tersebut, melainkan hanya sekedar
memberikan analisis tentang apa yang kita sering sebut sebagai “moral, akhlak
atau pun etika”.
Jika ada yang bertanya pada kita, lebih mudah manakah menemukan
orang yang pintar dengan orang yang bermoral? Bukan bermaksud mewakili jawaban
dari para pembaca, namun secara pribadi saya katakan bahwa lebih mudah bagi
kita untuk menemukan orang pintar dari pada orang yang bermoral. Mudah saja
bagi kita menemukan orang pintar, kita bisa datangi sekolah-sekolah unggulan,
universitas-universitas tersohor dan kita datang ke bagian akademik, kemudian
melacak nilai-nilai peserta didik dan mahasiswa, maka kita akan dapat menemukan
beberapa anak pintar dari nilai-nilai yang mereka dapatkan. Tapi, bagaimana
jika kita diminta untuk mencari orang yang bermoral? Ke manakah tempat yang
akan kita datangi? Apakah sekolah-sekolah unggulan? Universitas-universitas
ternama? Atau ke pondok pesantren? Atau mungkinkah kita juga akan mendatangi
para anak-anak jalanan yang setiap hari dengan begitu gigih berjuang demi
sesuap nasi?
Lagi-lagi, bukan bermaksud sok tahu dan sok bijak, saya
katakan bahwa akan sulit bagi kita untuk menemukan orang-orang yang bermoral.
Setidaknya kesulitan ini bukan tanpa sebab, karena bagaimana pun juga ketika
kita hendak mencari orang yang bermoral, maka kita harus bisa mendefinisikan
terlebih dahulu arti moral itu sendiri. Apakah orang yang bermoral itu harus
pintar? Harus mempunyai gelar? Atau bagaimana? Kegagalan dalam memberikan
definisi dari bermoral itulah yang kemudian mempersulit kita ketika diminta
mencarikan orang yang bermoral. Dan saya kira, kontroversi K-13 itu juga tidak
lepas dari problem mendefinisikan moral itu sendiri.
Kemudian, di samping kegagalan dari pendefinisian moral itu
sendiri, beragamnya standar moral itu juga pada akhirnya menjadikan sulitnya
menetapkan apakah seseorang itu bermoral atau tidak. Berbeda ketika kita
berbicara tentang orang yang pintar, kita bisa sepakati dengan mudah bahwa anak
yang pintar itu memiliki nilai di atas sembilan di semua mata pelajaran yang
ditempuh. Atau misalnya orang yang disebut pintar adalah yang memiliki IPK 4.00
dan seterusnya. Namun berbeda dengan standar moral yang pada kenyataannya sulit
untuk dicari konsensusnya. Misalnya, di satu daerah tertentu, memegang kepala
orang lain adalah perbuatan tidak bermoral yang adakalanya bisa menimpulkan cekcok
antara satu dengan lainnya. Akan tetapi, di daerah lain ternyata memegang
kepala orang lain dianggap sebagai bentuk penghormatan. Belum lagi ketika kita
masuk pada ranah keagamaan atau tepatnya tradisi keagamaan. Bisa jadi, tradisi
satu agama berbeda dengan tradisi lainnya yang tidak menutup kemungkinan
tradisi itu bisa dijadikan patokan bermoral atau tidaknya pemeluk agama
tersebut.
Dari dua analisa di atas, secara kasar bisa saya tarik kesimpulan
bahwa memasukkan aspek moral dalam suatu Kurikulum Pendidikan tidaklah efektif.
Kenapa demikian? Pertama, fakta bahwa bangsa ini adalah bangsa yang
majemuk, dengan berbagai macam suku, budaya dan agama. Di mana setiap komponen
yang berbeda itu memiliki nilai-nilai yang bisa dijadikan sebagai tolok ukur
“moral” pengikutnya. Kedua, masih abstraknya istilah moral itu sendiri.
Seperti yang saya sebutkan di atas, ketika kita ditanya bagaimanakah orang yang
bermoral itu, dan acuan moral yang mana yang hendak dipakai, apakah moral yang
ada dalam Al-Qur’an dan Hadist, atau dalam Injil, atau dalam UUD 1945, atau
yang mana? Memang, ada titik temu yang bisa diambil dari sumber-sumber moral
yang telah saya sebutkan, seperti kejujuran, kasih sayang, tolong menolong dan
lain sebagainya. Tapi tetap saja itu tidak bisa menjadi jaminan untuk bisa
diterapkan di semua daerah jika kemudian semua sumber moral itu tidak bisa
diakmodir semuanmya. Ketiga, melembagakan moral dalam bingkai kurikulum
seperti saat ini secara tidak langsung akan mengkerdilkan makna moral itu
sendiri. Sama halnya dengan apa yang dikatakan oleh Gus Dur bahwa jika Islam
dilembagakan dalam suatu negara, maka Islam itu telah menjadi kerdil dan justru
akan mereduksi kebesaran Islam yang pada dasarnya menjadi rahmat bagi seluruh
alam. Mungkin perumpamaan ini terkesan dipaksakan, tapi itulah yang saya lihat
saat ini. Pengembangan moral dalam K-13 hanya terkesan kulitnya saja, dan ini
justru membahayakan. Kita sudah merasa mengembangkan pendidikan moral, dengan
kurikulum yang selain fokus pada kognitif saja melainkan juga afektif, namun
pada kenyataannya aspek afektif itu hanya setengah hati.
Mungkin diantara para pembaca ada yang menilai tulisan saya ini
hanya “asal bicara”, tanpa ada landsan yang jelas. Itu saya akui, dan jika pun
ada yang kemudian mengatakan ini hanya sekedar igauan dari seseorang yang tidak
jelas pun saya terima. Dan semoga bagi anda yang rela meluangkan waktu untuk
mmbaca tulisan ini sampai akhir bisa memberikan masukan dan koreksinya.
Kesimpulannya, saya masih kurang setuju dengan Kurikulum 2013 yang
katanya lebih menekankan pada pengembangan moral. Pengembangan moral tetaplah
penting, namun bukan berarti harus dilembagakan ke dalam sebuah kurikulum. Kurikulum
hanyalah alat, dan karena ia adalah sebuah alat maka kegunaannya akan sangatlah
tergantung pada siapa yang menggunakannya...
To
be continue...
0 Response to "Pendidikan Moral dan K-13"
Post a Comment