Menjadi Manusia, Bagaimana?



Tulisan ini saya awali dengan sebuah cerita yang saya dapatkan dari salah seorang guru saya. Dikisahkan ada seorang kaya raya yang berbeda dengan orang kaya kebanyakan, sebut saja Rembo. Rembo berbeda dengan orang kaya lainnya karena meskipun ia berlimpah harta, ia tetap hidup dalam kesederhanaan, termasuk dalam hal berpakaian. Ia tak pernah menampilkan bahwa ia adalah orang yang berlimpah harta, ia senantiasa berpakaian biasa, bisanya pakai sarung dan kaos oblong. Tak peduli kemana ia akan pergi, setelan sarung dan kaos oblong ini selalu ia pakai. Alas kakinya? Apakah sandal atau sepatu mewah? Bukan, ia hanya memakai sandal jepit. Ia lebih memilih bepergian dengan naik bus umum dibanding bepergian dengan mobil pribadi, karena memang di samping kesederhanaannya itu bukan berarti ia tidak memiliki properti-properti yang berharga, ia juga memiliki beberapa mobil di rumahnya.
Suatu hari, Rembo berkeinginan untuk melihat-lihat mobil di sebuah showroom mobil mewah dengan tetap memakai kostum sederhananya, dengan memakai sarung dan kaos oblong dan sandal jepit sebagai alas kakinya. Rembo pun masuk ke showroom mobil mewah tersebut. Tidak seperti kebanyakan pengunjung-pengunjung lainnya, yang ketika masuk langusng di sambut oleh para pelayan (SPG/SPB), ketika Rembo masuk showroom tersebut tidak ada satu pun pelayan yang menghampirinya. Kemudian ia melihat-melihat mobil yang saat itu ditampilkan. Sampai kemudian ia merasa menemukan mobil yang ia cari. Ia pun memanggil pelayan yang ada untuk menanyakan harga mobil tersebut. Singkat cerita, kehadiran Rembo dengan pakaian yang begitu sederhana itu menarik perhatian pemilik showroom mobil tersebut, dan karena merasa penampilan Rembo ini mengganggu pemandangan di showroom nya, ia pun menghampiri Rembo, dan ketika Rembo menanyakan harga salah satu mobil yang ada, pemiliki showroom itu pun menjawab ketus – dengan harapan bisa mengusir Rembo ini dari showroom miliknya – “buat bapak harga mobil ini 40 juta saja, kalau ada silahkan bawa pulang mobil ini”, padahal harga mobil tersebut hampir senilai 1 Milyar. Dijawab demikian, Rembo pun lantas mengiyakan. Dia pun mengambil beberapa uang yang ia taruh dilipatan sarungnya dan meminta kepada salah satu pelayan showroom untuk meminta lembaran cek kosong sebagai kekurangan pembayaran uang tunai untuk pembelian mobil ini. Melihat Rembo yang ternyata bukan orang miskin, pemilik showroom ini pun menyadari kesalahannya karena melihat sesuatu dari tampilannya. Dengan perasaan menyesal, ia akhirnya memberikan mobil mewah seharga hampir 1 M kepada Rembo dengan harga 40 juta. Menyadari kesalahannya ini, pemilik showroom ini pun meminta maaf kepada Rembo atas kecurigaan dan meremehkannya.
Setidaknya kisah tersebut semakin mengukuhkan sebuah adagium “janganlah menilai seseorang dari tampilan luarnya” adalah memang benar adanya. Kumuh dan lusuh bukan selalu bermakna miskin, dan rapi serta berdasi tidak menjamin ia orang kaya. Termasuk terlihat miskin bukan berarti berpotensi ia melakukan kejahatan yang akhirnya kita mencurigai dan mewaspadai. Karena memang jujur saja, saya sendiri ketika berada dalam bus umum, ketika melihat seseorang yang nampak seperti preman jalanan ada kecurigaan atau setidaknya lebih mawas diri. Meskipun saya juga meyakini bahwa “tindakan hati” saya ini tidak benar. Tapi, jika kemudian ukuran kejujuran, kebaikan dan sikap-sikap baik lainnya ditunjukkan melalui tampilan saja, maka betapa mudahnya status “orang baik” itu bisa kita peroleh? Tentu bukan tampilan yang membuat seseorang menjadi baik (atau alim, baca: Jilbab: Identitas atau Sarana?), melainkan bagaimana ia bisa “menjadi manusia”. Ada yang bertanya, “menjadi manusia?”, yaitu “mengerti bahwa dirinya adalah manusia, mengerti manusia lain, dan bisa memanusiakan manusia”. Inilah definisi dari menjadi manusia yang diberikan oleh KH. Mustofa Bisri (Gus Mus).[1] Sekali lagi, “mengerti bahwa dirinya adalah manusia, mengerti manusia lain, dan bisa memanusiakan manusia”. Pertanyaannya sekarang adalah, sudah sejauh mana kita mengerti bahwa kita manusia? Kemudian sudah sejauh mana pula kita bisa mengerti manusia lainnya? dan lebih dari itu, sudah sejauh manakah kita bisa memanusiakan manusia? Jika terkadang kita selalu terjebak dari tampilan manusia lainnya. mau membantu kalau orang yang hendak kita bantu berpenampilan menarik, cantik, tampan, kelihatan kaya dan sebagainya? Wallâhu A’lamu bish-Shawâb
Semoga yang sedikit ini dapat memberi manfaat bagi diri saya pribadi dan kita semua. Amiiiiiiiiiin
Malang, 31/10/2015, 05.53 WIB


[1] Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, (Jakarta: Noura Books, 2015), hlm. 138

0 Response to "Menjadi Manusia, Bagaimana?"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel