Hati-hati dengan HAM !
Di tengah-tengah pemaparannya tentang bagaimana seharusnya kita
belajar bahwa kebenaran itu tidak ada, Sudjiwo Tejo mengingatkan pada semua audience
dalam acara simposium pendidikan saat itu. Ia mengingatkan pada kita dengan
isu HAM, “who is HAM?” Mbah Djiwo tidak panjang lebar kenapa ia
mengingatkan kepada kita tentang kenapa ia harus mengingatkan kita agar
hati-hati dengan HAM. Terlebih kita yang sebagai pendidik atau calon pendidik.
Mbah Djiwo menceritakan bahwa dulu untuk belajar membaca Al-Qur’an,
sekuju tubuhnya banyak bekas cambukan dari gurunya, dan anehnya – saya bilang
aneh karena ini berbeda dengan fenomena yang sedang menggejala pada saat ini –
orangtuanya justru bangga dengan banyaknya luka yang diterima oleh mbah Djiwo
saat belajar membaca Al-Qur’an. Pastinya, kita yang mengenyam masa kecil sebelum tahun 2000 an pernah merasakan kerasnya belajar Al-Qur’an, terlebih yang
ada di desa-desa. Setidaknya saya beruntung masih bisa merasakan masa-masa yang
mungkin untuk saat ini akan rentan dengan isu-isu HAM. Saya masih ingat betul
betapa – seperti yang dikatakan mbah Djiwo – kerasnya untuk bisa membaca Al-Qur’an.
Ustadz atau kyai yang mengajari kita selalu sedia tongkat atau rotan yangmana
rotan itu akan mendarat di tangan atau bagian tubuh lainnya jika kita salah
dalam membaca Al-Qur’an. Hal semacam ini sudah tidak bisa kita temui lagi, dan
meskipun terdengar kejam, justru itulah yang membuat kesan paling mendalam. Setidaknya
saya yakin jika kala itu guru saya tidak megerasi saya, maka bisa jadi saat ini
saya tidak bisa membaca Al-Qur’an.
Jadi, mbah Djiwo mengatakan bahwa bagaimana mungkin mendidik anak
tanpa mendidik sikap? Pernyataan ini saya pahami sebagai kritik beliau terhadap
fenomena pendidikan yang ada sekarang ini, di mana sikap menjadi sesuatu yang
dikotomis dengan dunia pendidikan.
Agaknya saya masih sedikit kebingungan untuk menggabungkan tulisan
di atas dengan maksud inti tujuan saya. Tapi yang pasti, saya menangkap
perbedaan mendasar dari fenomen pendidikan yang ada di masa kecil saya dengan
saat ini. tentu mbah Djiwo mewanti-wanti untuk hati-hati dengan HAM
bukan tanpa sebab. Bahkan lebih gamblang ia mengatakan untuk siap-siap
berurusan dengan Aris Merdeka Sirait (jika tidak salah adalah ketua komnas
HAM), karena kekerasan sekecil apapun, khususnya dalam pendidikan bisa dikenai
dengan pasal pelanggaran HAM. kita bisa bayangkan jika zaman dulu, isu HAM ini
sesanter saat ini, pastinya banyak guru, ustadz dan bahkan kyai yang menjadi
tersangka pelanggaran HAM karena melakukan kekerasan terhadap anak didiknya.
Jadi, sekarang ini sedikit-sedikit bisa dilaporkan ke Komnas HAM. Ada
guru yang menghukum peserta didiknya karena melakukan kesalahan, akhirnya
dilaporkan orangtuanya ke Komnas HAM. Dan parahnya, si orang tua peserta didik
ini juga menyalahkan pendidiknya ketika anaknya mendapatkan hukuman dari
pendidik, dikatakan bahwa ia tidak becus menjadi seorang guru dan sebagainya. Meskipun
penggambaran saya terkesan berlebih-lebihan, tapi anggap sajalah seperti itu. Artinya,
ada perbedaan mendasar dari sikap orangtua saat ini dengan orangtua zaman dulu
dalam menyikapi pendidikan anak-anaknya. Jika orang tua dulu, ketika anaknya
dihukum gurunya karena si anak melakukan kesalahan, mareka bangga, tentu bangga
bukan dalam arti si anak melakukan kesalahan, bangga karena si guru sudah
mengajarkan sikap untuk bertanggungjawab atas kesalahan yang telah dilakukan. Berbeda
dengan beberapa orang tua “modern” saat ini, yang ketika si anak mendapat
hukuman dari gurunya, terlebih hukuman fisik, padahal hukuman itu diberikan
bukan tanpa sebab melaporkan si guru atas tuduhan melakukan kekerasan, entah
itu ke polisi atau Komnas HAM.
Lantas, apakah tindakan untuk melaporkan itu salah? saya kira ini
bukan masalah salah atau tidak, tapi lebih kepada bagaimana menyikapi fenomena
semacam ini. Kedua respon yang diperlihatkan oleh orang tua di masa yang
berbeda ini pada dasarnya memiliki semangat yang sama, yaitu bagaimana
memberikan yang terbaik kepada buah hati mereka sebagai bentuk kasih sayang. Itu
adalah prinsip dasar yang tidak bisa digugat lagi bahwa orang tua senantiasa
ingin memberikan yang terbaik buat anak-anak mereka. Bedanya, yang satu
mengajarkan dengan tegas, yang satunya mengajarkan sikap manja. Ada satu adagium yang terkenal, “belajar di
waktu kecil bagai mengukir di atas batu, dan belajar di waktu tua bagai
mengukir di atas air”. Hanya saja, yang mungkin terlupakan dalam benak kita
adalah untuk bisa mengukir di atas batu perlu kerja yang ekstra, kita harus
menggunakan alat ukir yang benar-benar kuat dan juga harus menggunakan tenaga
yang ekstra. Tidak bisa kita hanya setengah hati untuk mengantam alat ukir kita
dengan palu ketika ingin mengukir di atas batu. Di sini, saya bukan bermaksud
mengatakan kita perlu memakai kekerasan dalam mendidik, tapi lebih kepada
ketegasan yang dipertunjukkan kepada peserta didik. Jika ia salah, katakan
salah, jika benar katakan benar. Jika ia mendapat hukuman, maka itu indikasi
dari ia melakukan salah, biarkan dia mempertanggungjawabkan itu, bukan malah
melaporkan pihak yang sebenarnya peduli dengan anak tersebut.
Saya akui, bahwa pada dasarnya ini bukan kapasitas saya untuk
membahasnya, karena bagaimana pun juga saya belum berstatus sebagai orang tua,
sehingga tidak selayaknya saya mengkritisi para orang tua, karena mungkin ada
yang mengomentari kalau bicara saja itu mudah. Tapi terserahlah jika ada
komentar semacam itu, karena saya justru berpikir jika status saya yang belum
menjadi orang tua ini menjadikan apa yang hendak saya utarakan di sini masih pure,
dalam arti penilaian yang objektif dengan saya tidak terlibat atau masuk
dalam pihak yang saya komentari.
Kembali ke fenomena orang tua dulu dan sekarang. Beberapa waktu
yang lalu, saya menemukan ada pesta ulang tahun seorang anak kecil yang di
adakan di pusat perbelanjaan terkenal. Saya mengira biaya untuk mengadakan
ulang tahun terrsebut mencapai puluhan juta. Apa itu salah? Tidak, itu kan
pakai uang-uang mereka sendiri, jadi tidak salahlah ketika mereka memutuskan
untuk mengadakan pesta ulang tahun yang meriah. Hanya saja, ini menurut saya
kurang tepat. Pasalnya, di usia yang masih sangat muda, orang tua tersebut
telah mengajarkan pola hidup yang “hedonis”. Pola hidip yang suka
bersenang-senang. Coba kita bayangkan, di sekolah ketika di hukum gurunya,
orang tua tidak terima dan melaporkan si guru. Kemudian, di luar, orang tua ini
memberikan semua yang diinginkan si anak, ulang tahun pun diadakan semeriah
mungkin. Meskipun tidak semua orang tua seperti ini, tapi saya yakin tetap ada
hal semacam ini di luar.
Jujur saja, ketika saya melihat acara ulang tahun tersebut ada
perasaan miris. Jika memang orang tua tersebut memiliki banyak uang, kenapa
harus memamerkannya di depan anaknya yang masih kecil? Bukankah lebih baik uang
yang banyak itu, dialokasikan untuk membantu di panti asuhan atau ke pengungsi
korban bencana dan tempat-tempat lainnya, di mana anak dengan sendiri bisa
mengasah kepekaan sosialnya. Katakanlah anggaran untuk ulang tahunnya 10 juta. Bukankah
uang sebanyak itu akan sangat berarti jika digunakan untuk membantu sesama yang
membutuhkan? Dengan orang tua mengajak buah hati mereka untuk berkunjung ke
panti asuhan di hari ulang tahunnya itu, secara tidak langsung kita bisa
mengarkan sikap empati dan simpati, dan pastinya menumbuhkan kepekaan sosial,
bahwa di sekitarnya masih banyak orang yang membutuhkan bantuan kita. Dan andai
semua orang tua kaya melakukan ini, pastinya setiap hari akan selalu ada
keceriaan di panti asuhan. Saya tidak tahu persis ada berapa panti di asuhan di
daerah tinggal saya saat ini, tapi saya yakin prosentasinya jika dibanding
dengan keberadaan orangtua-orangtua kaya yang ada sangat berat sebelah di
orangtua-orangtua kaya. Jadi, misal semua orang tua kaya ini merayakan ulang
tahun anaknya di panti asuhan, bisa jadi setiap hari ada perayaan ulang tahun
di panti asuhan ini.
Intinya? Untuk tulisan ini saya belum bisa menyimpulkan. Silahkan para
pembaca menyimpulkannya sendiri. Tapi menutup tulisan ini, saya ulangi sekali
lagi apa yang dipesankan oleh mbah Djiwo, “Hati-hati dengan HAM”. Tentunya ini
terkait dengan fenomena pendidikan dewasa ini. Wallâhu A’lamu bish-Shawâb.
Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Amiiiiiiiin
Malang, 30/10/2015, 05.32 WIB
0 Response to "Hati-hati dengan HAM !"
Post a Comment