Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, Sebuah Refleksi



Dalam mencari sebuah buku saya dan mungkin para pembaca juga, pertama yang dilihat adalah judul buku, kemudian penulisnya. Jika keduanya berhasil menarik perhatian, maka buku itu akan kita ambil untuk dibeli jika itu di sebuah toko buku atau dipinjam jika itu ada di perpustakaan umum.
Beberapa hari yang lalu di salah satu toko buku di kota Malang, ada satu buku yang menarik perhatian saya. Buku ini berjudul “Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus”. Judul ini menarik, kareka mencatut dua nama tokoh nasional dan kebetulan keduanya saya kagumi, baik itu Gus Dur atau Gus Mus. Jadi, wajar jika kemudian perhatian saya tertuju pada buku ini. kemudian, buku ini ditulis oleh KH. Husein Muhammad, yang merupakan pendiri Perguruan Tinggi Institute Studi Islam Fahmina di Cirebon. Sosok penulis buku tersebut juga menarik perhatian saya, karena sebelumnya KH. Husein juga menulis tentang Gus Dur, yaitu “Sang Zahid; Mengarungi Sufisme Gus Dur” yang membicarakan Gus Dur dari perspektif kezuhudan, yang mana buku tersebut memberikan pemahaman yang sangat baru dari sosok Gus Dur.
Karena ketertarikan dari judul, kemudian penulisnya juga, maka saya putuskan untuk mengambil buku ini. Buku ini berisi semacam transkip percakapan KH. Husein dengan KH. Musthofa Bisri (Gus Mus), yang dalam pembicaraan itu banyak menyinggung cerita tentang Gus Dur. Putri pertama Gus Dur, Alissa Wahid dalam pengantar buku ini mengatakan apa yang disajikan dalam buku ini merupakan – dalam istilahnya – “sejarah pinggiran” yang berhasildirekam. Tentu maksud dari sejarah pinggiran ini bukan bentuk penilaian negatif, tapi lebih kepada penyebutan akan kisah-kisah yang selama ini mungkin tidak banyak diketahui oleh khalayak luas, yang masih diceritakan dari mulut ke mulut. Yang oleh KH. Husein ini direkam dalam bentuk tulisan, yang mungkin oleh sebagian orang tidak terpikirkan.
Usai membaca buku ini dalam sekali duduk, untuk kesekian kalinya saya merasa takjub dengan sosok Gus Dur. D Buku ini – seperti yang telah saya sebutkan – adalah semacam transkip percakapan atas Gus Dur yang dilakukan oleh KH. Husein dan Gus Mus dan itu hanya berlangsung beberapa jam. Jika satu kali percakapan saja bisa jadi sebuah buku, itu pun masih banyak hal yang tidak termuat di dalam buku ini. Maka tidak bisa dibayangkan, jika semua percakapan tentang Gus Dur ini dijadikan buku, akan ada berapa ribu buku yang berbicara tentang Gus Dur? Subhanallâh
Dalam pembacaan ini, ada beberapa poin penting yang saya garis bawahi, salah satunya:
“... Gus Dur, Maulana Rumi, dan para wali Allah adalah orang-orang yang selama hidupnya diabdikan untuk mencintai seluruh manusia, dengan tanpa pamrih apa pun. Mereka memberikan kebaikan karena semata-mata kebaikan itu sendiri, bukan karena mengharap kebaikan itu kembali kepada dirinya...
Jadi, poin yang terpenting adalah melakukan kebaikan itu tak perlu mengharap agar kebaikan itu kembali pada kita. Tentu kita pernah mendengar bahwa sebenarnya jika kita melakukan kebaikan itu sejatinya untuk diri kita sendiri. Memang, saya pun meyakini hal itu, hanya saja jika kemudian kita mengaharap kebaikan atas kebaikan kita yang akan kita lakukan, bukankah itu sama saja kebaikan yang kita adalah kebaikan yang berpamrih? Melakukan kebaikan ya melakukan kebaikan saja, tak perlu memikirkan kira-kira apa ya yang akan kita dapatkan dari kebaikan yang kita lakukan saat ini. Termasuk ketika kebaikan yang kita lakukan ternyata di mata manusia lainnya itu tidak baik, ya tidak perlu risau akan hal itu. Jika sudah yakin itu benar dan baik, maka lakukan saja tak peduli bagaimana pandangan orang lain tentang kita itu, dan itulah Gus Dur.
Merenungkan hal itu, saya pun teringat pernyataan mbah Sudjiwo Tejo ketika membahas tentang jilbab (salah satu materi yang disampaikan dalam simposium pendidikan yang saya tulis beberapa hari lalu). Mbah Djiwo mengatakan terkait jilbab, yaitu kalau memakai jilbab ya memakai saja, tidak usah di-embel-embeli dengan karena ini syariah, karena ini itulah dan sebagainya. Kalau kamu yakin berjilbab itu baik, ya sudah di pakai saja, tak perlu karena ini itu. Dari sini nampak adanya – ibarat – puzzle yang berserakan, dan sedikit saya kemudian bisa merangkai bahwa apa yang disampaikan oleh mbah Djiwo ini sejalan dengan Gus Dur tadi, yang kalau melakukan kebaikan ya lakukan saja tanpa ada maksud lain di belakangnya. Kalau berjilbab itu baik, ya sudah berjilbab saja, tak perlu mengharap lainnya, misal – dalam hati terdalam – ada harapan untuk dianggap lebih alim dari yang tidak berjilbab.
Belakangan, saya menemukan video wawancara mbah Djiwo dalam salah satu acara tlakshow yang ia menyatakan bahwa Gus Dur adalah ibarat tokoh Semar dalam kisah Ponokawan, yang sepeninggal Gus Dur, mbah Djiwo menganggap Semar pun sudah tidak ada. Ini memberikan asumsi bahwa apa yang disampaikan mbah Djiwo terkait jilbab itu terinspirasi dari Gus Dur, bahwa kalu melakukan kebaikan itu ya lakukan saja, tak perlu mengharap kebaikan itu akan datang pada kita, bahasa gaulnya “cuek sajalah”. Saya teringat salah satu pernyataan, entah itu hadist atau apa saya kurang tahu, intinya lupakanlah ketika kita melakukan kebaikan, dan selalu ingatlah jika kita melakukan kesalan”. Saya kira ini kurang lebih sama dengan memberikan kebaikan semata-mata untuk kebaikan itu sendiri, bukan karena mengharap kebaikan itu kembali kepada dirinya. Wallâhu A’lamu bish-Shawâb
Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat. Amiiiiiiiiin

Malang, 01/11/2015, 05.34 WIB

0 Response to "Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, Sebuah Refleksi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel