Budaya Pendidikan Indonesia: Dulu dan Sekarang
Beberapa hari yang lalu, saya menemukan tulisan yang mengatakan
bahwa pendidikan di Indonesia saat ini sudah keluar dari akar budayanya, di
samping juga sudah kehilangan esensi pendidikan yang tidak hanya mendidik atau
mengajarkan ilmu saja, melainkan juga memberdayakan manusia. Artinya,
pendidikan yang bisa menciptakan pahlawan-pahlawan bagi manusia lainnya. Dari
sini kemudian sempat terbersit pertanyaan apakah memang bisa pendidikan itu
tidak bisa dilepaskan dari budaya? Dari beberapa literatur yang saya gunakan
untuk mengkonfirmasi pertanyaan saya ini, kesimpulan sementara yang bisa saya
ambil adalah bahwa pendidikan tidak bisa lepas dari budaya, bahkan tidak hanya
budaya, terdapat aspek lainnya yang mempengaruhi iklim pendidikan dalam suatu
daerah, sebut saja politik, sosial dan ekonomi.
Jika demikian, lantas bagaimana dengan pernyataan sebagian ahli
pendidikan yang mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia sudah tidak melibatkan
unsur budaya? Jawaban pertanyaan ini kemungkinan ada dua, pertama mungkin
kesimpulan yang diambil salah atau kemungkinan kedua adalah kesalahpahaman
makna dari budaya itu sendiri. Kemungkinan
yang kedua ini pun tidak muncul begitu saja, saya yakin jika pendidikan itu
memang melibatkan aspek-aspek di luar ilmu pendidikan, dan karenanya akan
sangat tidak mungkin untuk diterima akal jika pendidikan itu kita katakan
terlepas/dilepas atau semacamnya dengan budaya. lantas, apakah kemungkinan
pertama adalah jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan di atas? Belum tentu,
karena untuk mengatakan pendapat bahwa pendidikan di Indonesia ini sudah lepas
dari aspek budaya kuranglah bijak. Di sini saya mencoba mencari titik temu dari
kedua kerancuan ini. Di satu sisi, saya setuju jika pendidikan itu tidak lepas
dari budaya, tapi di sisi lain saya juga setuju jika salah satu faktor
kekurangefektifan pendidikan di Indonesia ini karena sudah tidak memperhatikan
budaya. sekilas memang nampak kontradiktif, tapi akhirnya kekontradiktifan ini
mulai mencair setelah saya mengikuti Simposium Pendidikan yang diadakan di UIN
Maliki Malang, yang mengangkat tema “Meneropong Budaya Pendidikan Indonesia”
dengan narasumber budayawan Sudjiwo Tejo dan cendikiawan yang aktif menulis dan
salah satu karya fonumenalnya adalah Atlas Walisongo, Agus Sunyoto.
Ya, pendidikan di Indonesia saat ini telah kehilangan aspek
kebudayaan, dan lebih tepatnya kebudayaan Indonesia. Sehingga, yang
mempengaruhi pendidikan bukan lagi budaya bangsa ini melainkan budaya luar yang
merupakan ekses dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi dan
informasi.
Dalam simposium ini, banyak sekali catatan-catatan yang sangat
penting, dan itu adalah sesuatu yang baru yang sampai saat saya menempuh
pendidikan strata 2 tak pernah satu pun mata kuliah yang mengajarkan pengetahuan
penting ini. Mungkin karena keduanya menyajikan sesuatu yang baru tentang
pendidikan dari kacamata budaya, dan ini untuk kedua kalinya saya jatuh hati
dengan budaya, meskipun ketika ada yang bertanya budaya yang seperti apa saya
tidak tahu. Tapi yang pasti banyak hal yang menarik untuk saya share di
sini, dan karena saking banyaknya pengetahuan baru itu, maka saya
berencana untuk membuat catatan refleksi dari simposium kali ini menjadi
beberapa bagian.
Salah satu catatan penting yang saya garis bawahi dengan sangat
tebal adalah apa yang disampaikan oleh Agus
Sunyoto adalah “Kita benar-benar dibodohkan ketika kita sekolah”. Bukankah ini
bisa dikatakan sesuatu yang nyleneh? Bagaimana bisa sekolah – yang kita
dan kebanyakan orang meyakini sebagai sarana mencerdaskan generasi-generasi
penerus – justru dikatakan menjadi sebab atas kebodohan kita? Dengan tidak
berpanjang-panjang lebar menjelaskan maksud secara konseptual atas
pernyataannya itu, Agus Sunyoto menjelaskan bahwa kita saat ini telah
dihegemoni kebudayaan Barat, termasuk dalam pendidikan. Padahal beberapa abad
yang lalu, Indonesia merupakan bangsa yang berperadaban tinggi.
Jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia, negeri ini telah memiliki lembaga-lembaga
pendidikan, seperti Padepokan, Asrama, Dukuh, Peguron, Pesantren dan Pasulukan.
Dari keenam lembaga ini, kesemuanya mengembangkan pengetahun yang mencakup tiga
ranah pengetahuan, yaitu: Pertama, nalar yang erat kaitannta dengan
logika atau pengetahuan yang berupa materi. Kedua khayalan, ini
kaitannya dengan daya imajinasi seseorang, dan ketiga adalah kaweruh atau
dalam pendidikan sering disebut sebagai pengetahuan intuitif. Karena mengembangkan
ketiga ranah pengetahuan inilah, Indosenia zaman dulu memiliki peradaban yang
tinggi, yang mana China dan India tidak bisa menghegemoni Indonesia. Tapi apa
yang terjadi di negeri Indonesia saat ini? saya tidak akan menyebut bagaimana
keadaan Indonesia saat ini, karena saya yakin setiap pribadi punya penilaian
masing-masing, meskipun penilaian itu saya yakini meskipun dalam bentuknya yang
berbeda-beda tetap memiliki kesatuan pendapat bahwa negeri ini belum bisa
disebutkan berperadaban tinggi atau setidaknya negara yang berpotensi berperadaban
tinggi.
Kembali pada penjelasan dari Agus Sunyoto, bahwa semenjak adanya
lembaga pendidikan sekolah yang merupakan konsep yang dibawa oleh Belanda, maka
saat itu juga pendidikan mengalami penyempitan makna, dan ini masih bertahan
sampai saat ini, di mana seseorang dikatakan berpendidikan jika ia menuntuk
ilmu di lembaga pendidikan yang dikenal dengan sekolah. Sebaliknya, siapa saja
yang tidak sekolah, sepintar apapun dia, di masyarakat ia belum bisa mendapat
label terdidik. Stereotype inilah yang pada akhirnya menajdikan pendidikan di
Indonesia merosot.
Ilustrasi lainnya adalah kerancuan dalam pemaknaan ilmuwan dengan
akademisi. Yang berkembang di masyarakat saat ini adalah siapa saja yang
memiliki gelar Profesor dan yang lainnya adalah seorang ilmuwan. Sehingga istilah
ilmuwan saat ini dipersamakan dengan akademisi. Ini tentu kekeliruan yang
fatal, kenapa fatal? Jika ilmuwan dinilai dari gelar yang diperoleh dari
pendidikan formal, maka kita tidak bisa menyebut Thomas Alfa Edison – yang hanya
mengenyam bangku sekolah sampai kelas tiga SD – atau Albert Eisntain (yang
hanya pernah duduk di bangku sekolah di semester 1 SD – sebagai seorang ilmuwan. Padahal seperti yang
ketahui, bahwa kedua orang ini adalah sosok-sosok yang berhasil menemukan
sesuatu yang sangat bermanfaat bahkan sampai saat ini. Ilmuwan adalah berbeda
dengan akademisi. Dari yang pahami dari penjelasan Agus Sunyoto ini saya
memiliki kesimpulan sementara adalah ilmuwan itu seseorang berhasil menciptakan
sesuatu, atau berkreasi dari pengetahuan apa yang ia miliki.
Sebelum tulisan ini menjenuhkan untuk dibaca, maka kesimpulan yang
saya dapatkan adalah sudah saatnya kita – baik yang memiliki tugas sebagai
pendidik di sekolah, atau minimal pendidik dalam lingkup keluarga – mulai mencoba
melihat budaya lokal kita masing-masing dan menginternalisasikannya dalam dunia
pendidikan. Dan yang terpenting adalah pengembangan tiga ranah pengetahun yang
telah lama menjadi fokus lembaga pendidikan sebelumnya masuknya sistem sekolah
di Indonesia, yaitu terkait nalar, imajinasi dan intuitif. Agus Sunyoto
menyebutkan fakta sejarah, bahwa pada tahun 1511, saat kerajaan Malaka masih
berjaya, seorang Portugis (saya tidak mencatat namanya, karena memang susah
untuk mencatatnya) hendak menyerang kerajaan Malaka (tepatnya 15 Juli 1511),
menemukan bahwa terdapat tidak kurang terdapat 5000 meriam yang ada di Malaka,
dan inilah yang menjadikan diurungkannya penyerangan ini. Kita tentu tidak bisa
membayangkan jika di abad 16, Indonesia telah mampu membuat meriam, dan 5000
meriam itu dibuat di Jepara, Jawa Tengah. Fakta ini terdapat dalam catatan
seorang Portugis tadi yang hendak menyerang. Agus Sunyoto kemudian dengan nada
sedikit mencibir yang kurang lebihnya saya bahasakan sendiri “alih-alih membuat
meriam, alustista saja masih mengimpor”.
Kemudian di bidang hukum, pada abad 8 Masehi telah ada kitab hukum
perdana dan perdata yaitu Kalingga Darma Sastra yang kemudian mendapat
penyempurnaan-penyempurnaan dalam beberapa generasi kerajaan Jawa. Jadi, saat
itu orang Indonesia sudah bisa membuat KUHP, dan sekali lagi, Agus Sunyoto
menantang “coba mana itu ahli hukumsaat ini, apakah bisa membuat KUHP?”. Karena
faktanya KUHP saat ini adalah terjemahan dari KUHP yang dibuat oleh Belanda. Apakah
resep dari keberhasilan orang-orang terdahulu yang mampu menjadikan peradaban
Indonesia sangat tinggi? Jawabannya adalah karena keenam lembaga pendidikan
yang ada sebelum sekolah masuk Indonesia mengembangkan tidak hanya nalar saja,
tapi juga daya imajinasi dan intuisi. Yang mana pendidikan saat ini hanya
mengajarkan nalar. Dan terkait pernyataan Agus Sunyoto tentang “kita
benar-benar dibodohkan ketika kita sekolah” saya kira ada benarnya, karena saya
belum berani mengatakan sepenuhnya itu benar. Nampaknya benar, karena bagaimana
bisa puluhan tahun bersekolah di Indonesia saya tidak paham sejarah budaya
pendidikan Indonesia yang begitu gemilang ini. Meskipun saya bukan hendak
menyalahkan sekolah yang tidak mengenalkan saya budaya Indonesia, karena bisa
jadi ini adalah kemalasan saya sendiri. Tapi, bagaimana pun juga tidak hanya
saya yang merasakan hal itu, saya yakin banyak yang tidak tahu atas sejarah
budaya pendidikan Indonesia yang berharga ini. Jadi? 1) Pendidikan itu harus
memberdayakan manusia, 2) nalar, imjainasi dan intuisi mutlak dikembangkan
dalam proses – yang kita kenal dengan – pendidikan.
Semoga yang sedikit ini bermanfaat, dan masih banyak lagi catatan
yang belum saya share, termasuk apa yang disampaikan oleh Sudjiwo Tejo
yang menurut saya sangat simple, karena saking simple nya kita
tak pernah memperhatikan. Tapi juga sangat dalam, dan saking dalamnya sehingga
kita menyerah di awal untuk mendalami sesuatu yang simple tapi mendalam
itu. Bingung? Tunggu saja tulisan selanjutnya.
Wallaahu
A’lamu bish-Shawaab
Malang,
21/10/2015, 14.43 WIB
0 Response to "Budaya Pendidikan Indonesia: Dulu dan Sekarang"
Post a Comment