Biarkan Al-Qur'an Berbicara Tentang Dirinya Sendiri



Tulisan ini masih termasuk episode catatan-catatan dari simposium pendidikan yang diadakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang beberapa hari yang lalu. Jika pada kedua tulisan saya sebelumnya lebih menyoroti pada pemaparan kedua narasumber yang cukup kondang di jagad budaya Indonesia, yaitu Sudjiwo Tejo dan Kyai Agus Sunyoto, maka dalam tulisan ini saya lebih menyoroti pemaknaan atau lebih tepatnya pemahaman Al-Qur’an dilihat dari sudut instrumen musik.
Dalam penyampaian materi oleh mbah Djiwo, beliau sering mengutip ayat-ayat Al-Qur’an, dan hebatnya ia seakan-akan hafal Al-Qur’an. Atau setidaknya menandakan bahwa ia sering memnbaca Al-Qur’an. Ya, di balik tampilannya yang terkadang nampak nyeleneh itu, di tambah gaya bicaranya yang sedikit ngawur itu, ternyata beliau juga fasih dalam membaca Al-Qur’an. Tidak hanya itu, bukan maksud saya membanding-bandingkan, tapi jujur saja bacaan Al-Qur’an mbah Djiwo saya rasakan lebih menyentuh dibanding beberapa bacaan imam shalat yang pernah saya temui di daerah tempat saya tinggal dulu, memang tidak semua imam, hanya beberapa yang saya rasa bacaannya itu kalah dengan mbah Djiwo.
Terkait bacaan ini, saya pernah menulisnya (baca: KemukjizatanBacaan Al-Qur’an dan Kita Renungkan Bersama), di mana Al-Qur’an itu memang memiliki keistimewaan. Keistimewaan ini tentu tidak bisa lepas dari kemukjizatannya. Memang, harus kita akui bahwa mukjizat yang satu ini, yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. tidak seperti mukjizat-mukjizat yang diberikan kepada nabi-nabi sebelumnya. Jika mukjizat-mukjizat yang diberikan kepada nabi-nabi sebelumnya berupa keajaiban-keajaiban yang kasat mata, seperti membelah lautan, dibakar hidup-hidup, menyembuhkan orang buta, menghidupkan orang mati dan lain sebagainya. Maka, tidak dengan mukjizat Al-Qur’an yang sekilas hanya berupa kumpulan ayat-ayat dengan berbahasa Arab.
Saya bukan hendak mengatakan bahwa Al-Qur’an kurang istimewa dibanding dengan mukjizat-mukjizat lainnya. Justru, yang ingin saya tekankan di sini ialah terkait dengan keistimewaan yang belum pernah diturunkan oleh Allah pada nabi-nabi sebelumnya. Al-Qur’an ibarat buku - yang kalau memang boleh diibartkan buku - pedoman yang bisa mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan di dunia juga akhirat, dan hebatnya pedoman ini tidak pernah usang dan lekang oleh waktu. Ia tetap relevan dan signifikansinya masih terasa sampai saat ini, meskipun kita semua tahu Al-Qur’an ini telah ditutrunkan pada 14 abad yang lalu.
Hebatnya lagi, fakta-fakta yang diungkapkan oleh sains modern saat ini juga telah banyak disebutkan dalam Al-Qur’an. Meskipun memang dalam penyebutannya itu Al-Qur’an tidak menyebutkan secara detail, misal penciptaan bumi, Al-Qur’an hanya menyebut gambaran umumnya saja. Penyebutan secara umum ini tentu bukan tanpa sebab, seperti yang dikatakan oleh Mehdi Golshani, bahwa Al-Qur’an itu adalah sumber ilmu, di mana di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan umum, sehingga karena ia merupakan ketentuan-ketentuan umum dan bukan masuk pada ranah praktis, maka ia senantiasa relevan dari masa ke masa. Misalnya dalam penciptaan bumi, Allah menyebutkan bahwa ia “menghamparkan bumi”. Nabi memberikan klarifikasi penghamparan itu dengan “bisa ditempati”. Kemudian seiring berlalunya waktu, ada beberapa ulama yang kemudian memaknai penghamparan itu sebagai tanda bahwa bumi itu datar. Kemudian, fakta yang diungkap sains modern adalah bumi itu bulat. Sekilas memang nampak adanya kontradiksi antara apa yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan temuan sains modern. Namun, ternyata fakta sains tidak hanya berhenti pada bumi itu bulat, karena fakta selanjutnya adalah kita ini hidup di atas lempengan-lempengan kerak bumi yang mengapung di atas cairan yang disebut lava. Dan lempengan-lempengan kerak bumi  inilah yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an sebagai “hamparan”, karena lempengan-lempengan ini menghampar bagiakan karpet. Itulah mengapa ketika terjadi gempa bumi, kita sering mendengar adanya pergeseran lempeng tektonik, ini karena memang lempengan itu mengapung di atas lava. (Lebih lengkapnya, silahkan baca Penciptaan Bumi dalam Al-Qur’an dan Sains)
Selain penciptaan bumi, masih banyak lagi penemuan-penemuan sains modern yang itu sudah disebutkan Al-Qur’an 14 abad yang lalu. Hal ini memberikan pemahaman pada kita bahwa: Pertama, Al-Qur’an memang senantiasa relevan pada semua masa, ia mengikuti perkembangan pengetahuan manusianya. Bisa kita bayangkan jika pada 14 abad yang lalu Al-Qur’an membicarakan penciptaan bumi sekompleks apa yang disebutkan sains modern saat ini. Sudah bisa dipastikan ia (Al-Qur;’an) akan dikatakan sebagai kitab dongeng atau khayalan dan semacamnya yang pada intinya mengingkari bahwa Al-Qur’an itu dari Allah SWT. Inilah yang saya pahami  dari pernyataan (insyaallah) Al-Jabiri, dan yang saya jadikan sebagai judul tulisan ini: “Biarkan Al-Qur’an itu berbicara tentang dirinya sendiri”. Ini memang masih ijtihad pemaknaan saya, tapi itulah yang saya pahami, biarkan Al-Qur’an berbicara tentang dirinya sendiri adalah dimaksudkan untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an senantiasa bisa berbicara dalam setiap zaman dengan tingkat pengetahuan manusia yang senantaiasa berubah.
Kedua, keistimewaan Al-Qur’an tidak bisa dirasakan hanya dengan kita berpangku tangan menunggu keistimewaan itu muncul. Al-Qur’an adalah sumber ilmu, ibarat mata air, tentu kita tidak bisa menunggu mata air itu datang pada kita dengan sendiri. Ada usaha-usaha yang harus kita lakukan agar kita bisa meneguk segarnya mata air itu. Pun begitu dengan Al-Qur’an, tidak ada keraguan bahwa ia adalah mukjizat yang paling agung dan yang paling istimewa, namun keagungan dan keistimewaan itu harus kita cari dengan usaha yang sungguh-sungguh. Dan cara mencari keistimewaan ini pun tergantung dari kemampuan tiap-tiap orang.
Ada yang menemukan keistimewaan Al-Qur’an melalui ilmu pengetahuan atau sains, ada yang menemukan keistimewaan Al-Qur’an dalam segi sastranya, ada juga yang menemukan keistimewaannya dilihat dari aspek matematiknya, dan ada pula yang melihat keistimewaan Al-Qur’an ini dari segi musik atau instrumental (semoga penyebutan saya ini tidak salah). untuk yang terakhir ini, mbah Djiwo memaparkan panjang lebar bagaimana Al-Qur’an ini ibarat musik abadi, karena ia memiliki ritmenya yang tetap. Saya dan mungkin anda para pembaca yang tidak begitu paham dengan dunia musik pasti bertanya-tanya, bagaimana bisa demikian? Al-Qur’an adalah musik abadi? Itulah yang saya sebutkan tadi, bahwa biarkan Al-Qur;’an berbicara tentang dirinya sendiri. Jika kita bukan ahli musik, tentu sulit untuk menemukan instrumen musik dalam Al-Qur’an. Tapi tidak dengan yang ahli dalam musik, seperti mbah Djiwo, ia bisa menemukan unsur-unssur instrumen yang ada dalam Al-Qur’an, yang dari Al-Qur’an inilah mbah Djiwo mengaransmen lagu. Sekali lagi, “Biarkan Al-Qur’an berbicara tentang dirinya sendiri”.  Dan – mungkin – karena alasan inilah kemudian bacaan Al-Qur’an mbah Djiwo bisa begitu merasuk dalam sanubari, ini karena ia berhasil mengungkapkan keistimewaan Al-Qur’an, khususnya dari segi instrumental. Rasanya tidak membosankan, berbeda dengan beberapa bacaan imam shalat yang – menurut saya – ingin dilagukan supaya indah, tapi malah melupakan ketentuan bacaanya. Sehingga lebih berat dilagunya dari pada bacaannya. Padahal, tanpa dilagukan pun, jika Al-Qur’an di baca dengan kaidah bacaan yang benar, pasti akan terdengar indah meskipun tanpa dilagu-lagukan. Dan ini juga diamini mbah Djiwo, ia tidak begitu suka denganbacaan Al-Qur’an yang dilagukan, tapi lebih suka bacaan Al-Qur’an dengan ritme yang tetap. Belakangan, saya baru menyadari bahwa maksud dari pembacaan dengan ritme yang tetap adalah bacaan yang sederhana, tanpa ada irama-irama tapi pas antara makhraj dan tajwidnya.
Kemudian, dua hari yang lalu saya mengikuti “Sekolah Turats Islam” yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Maliki Malang dengan narasumber KH. Fahmi Basya, seorang matematikawan Islam serta Arkeolog Islam, dengan salah satu penemuan fenomenalnya adalah klaim bahwa Borobudur adalah peninggalan Raja Sulaiman. Tapi saya tidak akan berbicara tentang Borobudur ini, melainkan lebih menyoroti pada penemuan beliau dalam bidang matematika, di mana ia menyebutnya sebagai matematika Islam yang dirumuskannya melalui Al-Qur’an. Jadi, ia menemukan dalam Al-Qur’an, susunan matematika yang menakjubkan, dan ini akan sulitn untuk kita yang tidak ahli dalam Matematika yang jangankan menemukan, memahami penjelasannya saja sudah kesulitan. Tapi tidak dengan KH. Fahmi Basya ini, yang dari matematika Islamnya inilah beliau menemukan atau mengklaim jika Borobudur adalah peninggalan Raja Sulaiman.
Sekali lagi, “Biarkan Al-Qur’an berbicara tentang dirinya sendiri”. Dengan demikian, janganlah kita membatasi apa yang terkandung di dalamnya. Biarkan Al-Qur’an berbicara pada siapa saja dengan bahasanya sendiri, dengan demikian kita akan menemukan keistimewaan-keistimewaan Al-Qur’an dalam bahasa yang berbeda-beda, bisa dalam bahasa sains, sastra, sosial, ekonomi, politik dan bahkan bahasa musik. Dan sekali lagi, “Al-Qur’an adalah sumber ilmu” yang memungkinkan dari sumber ini bisa muncul berbagai macam ilmu. Intinya, jangan sampai membatasi makna Al-Qur’an, dengan demikian kita akan senantiasa menemukan keistimewaan-keistimewaan lainnya yang bisa jadi tak pernah kita bayangkan sebelumnya.  Wallâhu A’lamu bish-Shawâb.
Demikian, semoga yang sedikit ini bermanfaat. Amiiiiiiiiin

Malang, 29/10/2015, 06.53 WIB

0 Response to "Biarkan Al-Qur'an Berbicara Tentang Dirinya Sendiri"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel