Amal atau Iman? (Sedikit) Menggugat Dr. Zakir Naik
“... Selain itu, QS.
Al-Baqarah [2]: 139 di atas menjelaskan bahwa masing-masing manusia itu diukur
kualitas amalnya. Substansi hidup dan kehidupan manusia adalah pada amalnya.
Tentu amal di sini mengikat hanya kepada amal yang sarat akan kebermaknaan hidup
dan kehidupan di mata Tuhan dan manusia, yaitu amal yang melahirkan barakah,
suatu keberkahan hidup dan kehidupan dengan sifat-sifatnya yang produktif dan
inovatif. Tuhan sendiri tidaklah perlu diperdebatkan, didiskusikan dan bahkan
dipertentangkan.”
Penggalan paragraf di
atas penulis kutipkan dari tulisan Ali Maksum, Pluralisme dan
Multikulturalisme Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia, yang
diterbitkan oleh Aditya Media Publishing pada tahun 2011. Tulisan di atas cukup
menarik perhatian penulis, bahwa tolok ukur berkualitas atau tidaknya seseorang
adalah dilihat dari amalnya. Amal yang mendatangkan keberkahan yang penulis
maknai bagi sesama makhluk baik itu manusia atau makhluk lainnya di luar
manusia, dan bukan kepada Allah Sang Pencipta. Tentu kita pernah mendengar
bahwa jika saja semua manusia di muka bumi ini berpaling dari-Nya, tentu Dia
Yang Maha Kuasa dan Perkasa tidak akan berkurang ke-Maha Kuasa-an dan ke-Maha
Perkasaan-Nya hanya karena tidak ada lagi manusia yang menyembah-Nya, karena
memang ibadah yang dilakukan oleh manusia itu sejatinya bukan untuk kepentingan
Allah, melainkan untuk diri manusia itu sendiri (baca Agama Sebagai Terapi).
Maka, akan sangat aneh
jika kemudian ada seseorang yang mengatakan ingin membela Tuhan dan
mengkhawatirkan eksistensi Tuhan hanya karena ada umat lain yang mencoba
memalingkan saudara seimannya ke keyakinan yang lain. Ia takut jika kemudian
ada pihak lain yang merongrong agamanya, dan kemudian melakukan
tindakan-tindakan destruktif dengan mengatasnamakan agama (Tuhan). Tuhan tak
perlu di bela, setidaknya ungkapan Gus Dur ini bisa mewakili kritik terhadap
kelompok yang biasanya bersikukuh ingin membela Tuhan.
Pembelaan kepada Tuhan
semacam ini, jika dirunut ke belakang akan sampai pada adanya perbedaan
pemaknaan terhadap Tuhan yang disembah, di samping juga pemahaman yang berbeda
terkait dengan konsep ketuhanan yang ada. Pemaknaan yang berbeda ini jika
dibawa ke ruang publik akan menumbuhkan potensi perselisihan yang pada akhirnya
berpotensi sekali menimbulkan konflik, yang tak jarang setiap penganut agama
berkeyakinan sedang membela agamanya atau lebih dalam lagi sedang membela Tuhannya.
Dalam Islam, hal semacam ini tentu tidak dibenarkan, dan ini mendapat
pengukuhan dalam firman-Nya pada QS. Albaqarah [2]: 139, yang artinya kurang
lebih:”Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia
adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu
dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati.”
Kembali pada kutipan di
atas, penulis sontak teringat pada salah satu video Dzakir Naik yang membahas
kedudukan non-Islam yang tidak bisa masuk surga. Jadi, saat itu ada salah satu audiens
non-Islam yang menggugat Dr. Zakir Naik yang menjelaskan bahwa non-Islam
tidak ada tempat baginya di surga. Orang non-Islam itu mengaku bahwa ia adalah
pemimpin suatu perusahaan yang besar. Dari perusahaan inilah banyak orang yang
memperoleh rezeki. Tidak hanya itu, orang ini juga melakukan kebaikan lainnya,
di samping memperlakukan karyawan-karyawannya dengan sangat baik. intinya,
kenapa ia tidak mendapat kesempatan masuk surga, padahal ia sudah banyak
berbuat kebajikan di dalam hidupnya.
Penulis akui, bahwa
sempat pula terpikir pertanyaan demikian dalam benak penulis. Bahkan bisa jadi
pertanyaan semacam ini juga banyak terlintas di benak kita semua, hanya saja
tidak sampai atau tidak mampu kita utarakan. Sebut saja Thomas Alva Edison yang
menemukan lampu, apakah ia dengan sumbangsih yang begitu bermanfaatnya ini bisa
mengantarkan ia menjadi penghuni surga ataukah semua itu sia-sia hanya karena
ia tidak beriman kepada Allah swt.? Biasanya, pertanyaan-pertanyaan ini sering
kita abaikan dengan mengatakan pada diri kita bahwa itu adalah kuasa Allah, dan
kita tidak layak menghakiminya sendiri. Ya, memang itu adalah jalan terbaik
untuk tidak meneruskan pertanyaan itu.
Kembali ke video Dr.
Zakir Naik, ketika ditanya demikian. Dr. Zakir Naik memberikan pertanyaan balik
kepada si penanya tadi berupa ilustrasi, “seandainya ada satu Universitas yang
mensyaratkan calon mahasiswanya yang ingin memasuki universitas ini harus
memiliki nilai minimal 8 di tiga mata pelajaran, yaitu matematika, fisika dan
biologi. Kemudian anda datang ke universitas ini, sementara nilai matematika
dan fisika anda mendapat 9, namun pada mata pelajaran biologi anda mempunyai
nilai 2. Apakah anda akan diterima di universitas ini?”. sang penanya tadi pun
menjawab “tidak”. Kemudian Dr. Zakir Naik pun menjelaskan bahwa demikianlah
dengan kriteria masuk surga. Ia kemudian menguti QS. Al-‘Asyr: 1-3, yang kurang
lebih mengandung pemahaman bahwa syarat seseorang untuk masuk surga adalah: 1)
beriman; 2) beramal shalih; 3) memberi nasihat dengan benar; dan 4) memberi
nasihat dengan sabar. Sama halnya dengan syarat masuki universitas di atas,
semua syarat harus terpenuhi agar bisa diterima. Surga pun demikian,
mensyaratkan bagi calon penghuninya untuk memenuhi keempat kriteria di atas.
Silahkan bagi kita untuk beramal baik sebanyak mungkin, kemudian mau memberikan
nasihat yang baik dan dengan sabar, namun tidak memiliki keimanan. Maka surga
tidak bisa menerimanya.
Sekilas jawaban yang
diberikan oleh Dr. Zakir Naik itu bisa penulis terima. Namun, beberapa waktu
kemudian penulis merasakan ada yang janggal dari jawaban tersebut. Hingga
akhirnya kejanggalan itu penulis rasakan kembali saat membaca kutipan di atas.
Jika mengunakan patokan atau ilustrasi penerimaan mahasiswa di sebuah universitas
dalam menentukan siapa yang berhak dan tidak berhak masuk surga dengan
penjabaran di atas, maka akan nampak jika kriteria pertama yang diperlukan oleh
seseorang untuk masuk surga adalah keimanan. Penulis bukan bermaksud menggungat
secara keseluruhan atas jawaban Dr. Zakir Naik, hanya saja penulis
mempertanyakan kembali apakah hal itu benar demikian?
Kalau kita cermati
jawaban Dr. Zakir Naik tersebut mengandung suatu pemahaman jika sebanyak apapun
amal kebajikan seseorang jika tidak diikuti dengan keimanan kepada Allah swt.,
maka kesempatan untuk masuk surga tidak ada. Pun sebaliknya, jika seseorang
beriman, namun tidak melakukan kebajikan, maka kesempatan untuk masuk surga pun
tidak ada, demikian sebatas yang bisa penulis pahami. Akan tetapi, terkait
dengan orang yang beriman, bukankah ada penjelasan – entah dalam hadist atau
al-Qur’an – bahwasanya siapa saja yang di dalam hatinya memiliki iman, meskipun
teramat kecil, maka ia berhak masuk surga meskipun dalam kehidupannya digunakan
untuk maksiat. Ia akan tetap masuk surga, hanya saja setelah ia
mempertanggungjawabkan semua perbuatan-perbuatannya semasa hidupnya. Artinya,
aspek keimanan yang menjadi kriteria orang yang beruntung, yakni masuk surga,
sekecil apapun akan bisa mengantarkan ke dalam surga, meskipun kriteria lainnya
tidak dipenuhi. Jika demikian, maka patut bagi kita untuk mempertanyakan
tentang amal kebaikan.
Mungkin pemaparan
penulis agak njlimet, sederhananya begini. Bukankah seburuk apapun orang
Islam, asal dalam hatinya masih ada iman, maka ia tetap mempunyai hak masuk
surga. Lantas bagaimana dengan non-Islam yang memiliki banyak amal kebaikan,
dan bahkan mampu memberikan kemanfaatan yang sangat besar bagi umat manusia
sekian ratus tahun, apakah itu tidak bisa menjadikan ia berhak masuk surga
hanya karena ia tidak memiliki iman kepada Tuhan?
Menurut Dr. Zakir Naik,
jawaban atas pertanyaan itu adalah tidak berhak, karena komponen iman tidak
terpenuhi. Tapi untuk ini, penulis tidak setuju, bahkan dalam ilustrasi yang
diberikan pun penulis tidak setuju. Karena dengan demikian, penulis menilai
telah melampaui kuasa Tuhan, yang hanya Dia Yang Maha Mengetahui, mengetahui
mana yang berhak dan mana yang tidak berhak untuk masuk surga. Memang, Allah
sendiri telah memberikan kriteria-kriteria bagi siapa yang berhak dan tidak
berhak masuk surga. Namun, bukan berarti itu menjadikan kita bisa dan boleh
menghakimi mana yang berhak dan tidak. Kriteria itu penulis maknai sebagai
suatu motivasi atau guiding kita untuk bisa menjadi orang yang
beruntung. Tapi bukan sebagai pembenar bagi kita untuk menghakimi yang
kebetulan tidak sama dengan kita.
Pun demikian, apa yang
menjadi catatan penulis ini bukan bermaksud menyalahkan Dr. Zakir Naik. Karena
penulis sadari bahwa bukan kapasitas penulis untuk menggugat Dr. Zakir Naik
ini. Penulis aktif mengikuti video-video penjelasan yang diberikan oleh Dzakir
naik terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh non-Islam, dan beberapa
tema sangat penulis kagumi, seperti ketika berbicara tentang ateis, yang disitu
dijabarkan fakta sains yang ternyata sudah disebutkan dalam Al-Qur’an yang
diturunkan pada 1400 yahun silam. Kelebihan yang penulis temukan dari
penjelasan-penjelasan Dzakir Naik ini adalah bahwa ia dapat mengkomunikasikan
dalil naqli dan dalil aqli dalam setiap penjelasannya. Sehingga, penjelasannya
secara bersamaan dapat diterima hati dan akal. Namun, dibalik semua tema-tema
yang penulis saksikan, penulis agak kurang setuju dengan penjelasannya tentang
kedudukan non-Islam terkait dengan surga. Dan penulis lebih setuju dengan
kutipan pada awal tulisan ini, bahwa kualitas manusia itu terletak pada
amalnya. Bahwa ada istilah (entah ini adagium, hadist atau apa sayang kurang
tahu), bahwa iman itu mempengaruhi amal. jika imannya bagus, maka amalnya
bagus. Mafhum mukholafah-nya ialah amal yang bagus itu menandakan
keimanan yang bagus. Apakah itu berarti orang-orang seperti Thomas Alfa Edison,
Albert Einsten, Benjamin Franklin, Isac Newton dan penemu-penemu besar lainnya
bisa dikatakan memiliki iman yang kuat lantaran mereka menemukan dan berbuat
kebajikan yang manfaatnya bisa kita rasakan sampai saat ini? Sebelum menjawab
pertanyaan itu, nampaknya kita perlu memiliki kesatuan makna terlebih dahulu
tentang apa itu iman. Jika tidak ada kesatuan makna yang disepakati sebelum
menjawab pertanyaan itu, maka penulis yakin akan ada perbedaan dalam
jawaban-jawaban itu. Namun, penulis pribadi meyakini bahwa iman itu masuk pada
ranah yang tidak bisa kita cari dan tentukan kriterianya. Yang terpenting di
sini adalah amal kebajikan, sejauh mana kita bisa bermanfaat bagi manusia dan
makhluk hidup lainnya. Akan lebih baik bagi kita untuk mengabdikan hidup kita
kepada-Nya dengan cara – meminjam istilah Abdullah Yusuf Aly – menjadi pahlawan
bagi manusia lainnya.
Semoga yang sedikit ini
bermanfaat, dan jika ada kesalahan dalam penyampaian tulisan ini penulis mohon
kritikan dan masukan yang membangun. Jika ada kesalahan, maka itu berangkat
dari keterbatasan penulis, dan jika ada yang benar maka sesungguhnya itu adalah
dari Allah SWT., Yang Maha Benar. Wallaahu A’lamu bishshawaaab.
Malang, 14/10/2015,
18.00 WIB
0 Response to "Amal atau Iman? (Sedikit) Menggugat Dr. Zakir Naik"
Post a Comment