Idul Adha: Sebuah Catatan



Beberapa hari yang lalu, kita umat Islam telah merayakan hari raya Idul Adha. Perayaan hari raya ini biasanya identik dengan ibadah haji dan juga berkurban. Tulisan ini tidak akan membahas panjang lebar apa itu haji atau terkait dengan ketentuan-ketentuan kurban yang biasanya dilaksanakan pada tanggal 10 – 13 Dzulhijjah, melainkan sebatas refleksi dari sebuah perenungan atas arti berkurban itu sendiri. Di daerah saya tinggal, hampir tiap tahun selalu ada warga yang melakukan kurban di hari raya Idul Adha. Kurban itu sendiri merupakan sebuah kesunnahan yang senantiasa dikaitkan dengan pengurbanan Nabi Ibrahim as., yang oleh Allah swt. diminta untuk menyembelih putra tersayangnya, Ismail as. Dan karena itu adalah perintah dari Sang Khaliq, Nabi Ibrahim tetap melaksanakannya meskipun terasa amat berat apa yang diperintahkannya itu. Akan tetapi, Allah tidak serta merta membiarkan nabi Ibrahim menyembelih putranya, Ismail as. Karena pada akhirnya Allah menggantikan Ismail as. yang hendak disembelih (sebagai pelaksanaan perintah langsung dari Allah SWT.) dengan seekor domba besar (yang menurut cerita-cerita yang saya dengar adalah domba dari surga). Peristiwa inilah yang senantiasa diulang-ulang di mimbar-mimbar sholat Jum’at di bulan Dzulhijjah atau di mimbar shalat Idul Adha. Peristiwa inilah yang kemudian dijadikan sebagai suatu tradisi yang bernilai ibadah, yang dianjurkan bagi tiap-tiap muslim untuk menunaikan kurban dengan menyembelih hewan-hewan kurban, yang tidak lain adalah sebagai ketundukan kepada Sang Khaliq.
Di tengah hiruk pikuk dan semarak berkurban yang dilaksanakan di masjid-masjid atau di tempat-tempat berkurban. Nampak bahwa betapa antusiasnya umat Islam menjalankan ibadah kurban. Dengan kesadaran masing-masing mereka rela menyisihkan uang untuk melaksanakan kurban. Bahkan jika dilakukan sensus, saya yakin bahwa hewan yang dikurbankan dalam rangka Idul Adha senantiasa meningkat tiap tahunnya, meskipun secara nominal, hewan-hewan korban ini selalu naik harga jualnya. Tapi itu tidak menyurutkan antusiasme umat Islam untuk berkurban, dan ini merupakan kabar yang cukup menggembirakan tentunya. Bagaimana tidak membahagiakan? Bukankan berkurban ini salah satunya dimaksudkan untuk berbagi kepada sesama yang tidak mampu? Artinya, jika semakin banyak yang berkurban, maka semakin banyak pula orang yang tidak mampu akan terbantu melalui hewan kurban ini. Tapi, apakah benar demikian?
Berbicara tentang kurban, nampaknya kita perlu merenungkan dalam-dalam tentang kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Coba kita bayangkan betapa terguncangnya batin Nabi Ibrahim ketika menerima wahyu untuk menyembelih putra satu-satunya yang dimiliki dan sangat dicintai. Kita bayangkan diri kita saja, berpuluh-puluh tahun menikah dan tidak dikarunia keturunan. Namun, kita tetap sabar dan senantiasa memohon kepada Allah SWT. Dan buah kesabaran itu memang sangatlah manis, akhirnya setelah sekian lama menunggu, kita diberi keturunan yang kita nanti-nantikan. Akan tetapi, kebahagiaan itu sedikit berkurang di saat kita harus dipisahkan dengan putra yang telah lama kita annti-nantikan (kisah Nabi Ibrahim yang harus meninggalkan Nabi Ismail dan ibundanya di padang tandus yang kini dikenal dengan kota Makkah). Kita dipisahkan dengan putra tersayang kita itu tadi, jauh di tempat yang tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Alih-alih ditinggal di padang yang kering kerontang, meninggalkan putra kesayangan kita di pondok pesantren saja dan jauh dari orang tua amat berat. Tapi Nabi Ibrahim dengan ikhlas meninggalkan putra tersayang dan satu-satunya di tengah padang tandus dengan hanya ditemani ibundanya saja. Kemudian, selang beberapa waktu, akhirnya Allah mempertemukan Nabi Ibrahim dengan putranya Nabi Ismail yang telah tumbuh. Kita bisa bayangkan betapa bahagianya Nabi Ibrahim bisa bertemu dengan putranya setelah bertahun-tahun dipisahkan. Ya katakanlah jika kita umpamakan itu diri kita (bagi yang sudah punya anak), sang anak bertahun-tahun mondok di pondok pesantren, bahkan dari sejak balita sudah di pondok, kemudian beberapa tahun kita bertemu kembali dengan putra kita. Pastinya, perasaan bahagia itu tak terlukiskan dengan kata-kata. Hari-hari pun berlalu dengan sangat membahagiakan.
Tapi, kita semua tentu tahu. Bahwa setelah nabi Ibrahim bertemu dengan putranya, justru ia mendapatkan wahyu untuk menyembelih putranya yang telah lama ia rindukan, baik sebelum lahir atau setelah terlahir yang kemudian ditinggal di tengah padang pasir bertahun-tahun. Bayangkan jika itu diri kita, berpuluh-puluh tahun menantikan seorang keturunan, kemudian setelah dikaruniai malah dipisahkan bertahun-tahun, dan pada akhirnya, saat waktu telah mempertemukan dengan anak kita yang telah bertahun-tahun terpisah, justru dating perintah untuk menyembelih anak kesayangan kita itu. Apakah kita akan sampai hati melakukan itu? Kita lihat saja di beberapa kasus orang tua yang melindungi anaknya yang berbuat kejahatan, jika bentuk ketaatan Nabi Ibrahim diwujudkan dengan melaksanakan perintah untuk menyembelih putranya, maka orang tua saat ini cara ketaatannya ya itu jika sang anak salah harus dituntut untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Tapi ternyata itu tidak mudah. Seperti yang saya katakana, ada beberapa orang tua yang saking sayangnya kepada anaknya, mereka menutupi kesalahan yang diperbuat oleh sang anak.
Jadi, sekali lagi kita bisa bayangkan betapa bergejolaknya hati Nabi Ibrahim ketika mendapat wahyu untuk menyembelih putra kesayangannya. Tapi, apakah kemudian nabi Ibrahim mengingkari wahyu Allah itu dengan alasan ia sangat mencintai putranya? Tentu kita semua tahu bagaimana ending dari kisah ini.
Renungan seperti inilah yang nampaknya kurang mendapat perhatian penuh di mimbar-mimbar khutbah atau ceramah-ceramah dalam rangka Idul Adha. Kisah pengorbanan nabi Ibrahim dan Nabi Ismail terasa tanpa ruh, dalam arti itu memang sebuah bukti ketaatan seorang nabi dan tidak sampai upaya mengggali substansinya berupa pengalaman atau gejolak hati seorang ayah yang seakan-akan dihadapkan pada pilihan yang begitu berat. Karena tidak sampai pada ranah tersebut, akhirnya ceramah-ceramah Idul Adha tiap tahunnya terasa begitu-begitu saja. Dan lebih jauh lagi, akhirnya pemaknaan tentang arti berkurban itu sendiri juga hanya sebatas menyisihkan uang untuk membeli hewan dan kemudian diberikan ke masjid-masjid. Bahkan pada tahap tertentu terkesan hanya sekedar seremonial saja. Dan sedikit yang menjadikan kegundahan di hati pribadi saya, bahwa nampaknya ketidaksampaian memahami substansi berkurban ini juga berakibat pada tidak sampainya tujuan berkurban yang dimaksudkan untuk membantu sesama yang kurang mampu. Kenapa saya berkata demikian? Ya dari pengamatan pribadi saya yang melihat ketimpangan dalam pelaksanaan penyembelihan hewan kurban. Di satu daerah ada yang berkurban banyak sekali, namun di daerah sampingnya sangat sedikit. Distribusi daging kurban pun tidak merata.
Lebih dari itu, jika kita mampu merenungkan kisah pengurbanan Nabi Ibrahim tersebut dan memahami substansinya, maka seharusnya bagi kita tidak ada yang bisa dibanggakan dari apa yang sudah kita kurbankan di hari raya Idul Adha.
Semoga yang sedikit dan mungkin tidak jelas ini bisa bermanfaat, dan jika ada kesalahan dalam penyampaian ini atau ketidaksetujuan saya mohon maaf.
                                                                             Kartasura, 29/9/2015, 18:46 WIB

0 Response to "Idul Adha: Sebuah Catatan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel