Dilema Pendidikan Keberagamaan: Ekslusif atau Inklusif
Tulisan
ini penulis maksudkan sebagai catatan refleksi dari kegiatan “Seminar
Kolaboratif” yang diselenggarakan oleh Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Seminar yang mengangkat tema “Refleksi
Pendidikan Agama Islam untuk Membangun Islam Inklusif di Indonesia” ini pada
akhirnya memberikan beberapa catatan dalam benak penulis, yang sebagian adalah
catatan baru dan sebagian lainnya merupakan catatan lama yang tetap tersimpan. Tersimpan
karena memang catatan itu sangat penting atau karena catatan-catatan tersebut
masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang masih butuh jawaban yang entah
kapan dan di mana bisa penulis dapatkan.
Tulisan
ini tentunya tidak bermaksud menjabarkan semua materi yang tersampaikan dalam
seminar ini, hanya beberapa poin yang – menurut penulis – perlu saya tulis di
sini. Seminar hari ini terdiri dari dua tahap, tahap pertama melibatkan
kolaborasi mahasiswa dari dua Sekolah Pascasarjana UIN Sunan kalijaga
Yogyakarta dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Kemudian pada tahap kedua
adalah seminar kolaborasi antara Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga,
Prof. Noorhaidi Hasan, M.A., M. Phil., Ph.D. dan Dr. H. M. Zainuddin, M.A.,
selaku Wakil Rektor 1 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Pada
tahap pertama, hal yang menurut penulis cukup menarik adalah pertanyaan yang
dilontarkan oleh salah satu audience dari Pascasarjana UIN Maulana Malik
Ibrahim. Ini terkait dengan apa yang menjadi tema seminar, yaitu tentang Islam
Inklusif yang memang beberapa dekade ini menjadi tema yang ramai dibicarakan,
baik dalam seminar-seminar atau pun dalam literature-literatur yang ada. Pertanyaan
yang diajukan kurang lebihnya adalah apakah kita tetap mengupayakan pendidikan
Islam yang inklusif, jika pada kenyataannya di luar non-Islam mungkin
inklusifisme dalam beragama – bisa jadi – tidak diajarkan. Semisal dari kasus
di Tolikara, di mana tempat ibadah orang Islam dibakar oleh sekelompok orang
non-Islam. Apakah jika demikian kita tetap harus berinklusifisme dalam Islam? Pertanyaan
ini sangatlah menarik, meskipun kemudian kurang mendapatkan tanggapan yang
serius. Dalam diam saya berpikir, bahwa jika kita mau melihat dalam konteks
keberagamaan yang luas, maka dalam segala agama baik itu Samawi atau Ardhi, ada
kelompok-kelompok yang secara pengetahuan keagamaannya minim, sehingga dalam
hal praktik keagamaannya kelompok ini memiliki kecenderungan ekslusifisme. Pun demikian,
bukan berarti kemudian dari beberapa orang yang eksklusif ini kita bisa
men-generalisasikan bahwa agama A itu eksklusif dan ekstrim gara-gara
segelintir orang ini. Saya kira, kita semua juga tahu itu. Sehingga, mengkaitkan
perlunya pendidikan Islam inklusif dengan mensyaratkan orang lain mengembangkan
itu terlabih dahulu baru kita juga sepenuh hati mengembangkannya adalah kurang
tepat. Artinya, entah mereka yang di luar agama kita berlaku eksklusif atau
inklusif tidaklah menjadi barometer kita untuk bersikap seperti apa dalam
beragama. Islam – didukung dengan berbagai dalil-dalilnya – dengan jelas
memiliki semangat inklusif dalam beragama, maka – sekali lagi – apakah mereka
yang di luar kita bersikap eksklusif atau inklusif, kita tetaplah mengupayakan
terwujudnya Islam yang inklusif.
Selain
itu, ada pertanyaan lainnya yang juga cukup menarik. Masih terkait dengan Islam
inklusif, yang kurang lebihnya adalah mempertanyakan tentang dampak inklusif
itu sendiri. Jika inklusifisme yang dikembangkan, maka akan rawan pada liberalism,
jika eksklusifisme yang dikembangkan, maka akan rawan pada ekstrimisme dalam
beragama. Maka – penafsiran pribadi penulis – Islam inklusif bagai buah
simalakama. Selain itu ada pula pertanyaan yang mengkhawatirkan bahwa pluralisme
atau inklusifime akan mengancam aqidah peserta didik jika diajarkan dalam PAI
di sekolah-sekolah. Saya tidak ingin menanggapi panjang lebar tentang
pernyataan dan pertanyaan tersebut. Saya hanya ingin mengungkapkan kembali apa
yang dinyatakan oleh almarhum Gus Dur, beliau – kurang lebihnya mengatakan:
“Di antara orang-orang
yang mengaku paling radikal dalam beragama, maka sayalah yang paling radikal. Saya
sangat meyakini bahwa Islam adalah agama yang paling benar, karena saking
yakinnya saya atas kebenaran Islam, maka
saya tidak perlu takut jika harus berdekatan dengan mereka yang non-Islam”
Ya,
itulah Gus Dur. Beliau tak pernah takut atau khawatir jika Islam akan begini
dan begitu jika harus bersanding dengan lainnya. Ia yakin seyakin-yakinnya jika
Islam itu paling benar. Karena sudah yakin, maka tidak khawatir jika harus
bersenda-gurau dan beramah-tamah dengan non-Islam. Logikanya, jika kita
meyakini bahwa bangunan rumah kita kuat, maka tak perlulah mengkhawatirkan akan
roboh. Justru, ketika kita sedikit-sedikit khawatir, sedikit-sedikit posesif,
maka itu menandakan bahwa pada dasarnya kita tidak yakin bahwa Islam itulah
yang paling benar. Bahwa logika pun berkata demikian, maka jika ada yang
beragama dengan posesif, sensitive ketika bersinggungan dengan yang lain, maka
tanda-tanda jika ia belum sepenuhnya yakin pada Islam.
Bahwa
pra-konsepsi kitalah yang pada akhirnya menjadikan sesuatu itu berbeda-beda
dalam menilai hal yang sama. Jika pra-konsepsi yang kita pakai untuk term “inklusif”
adalah negative, maka sebaik apapun wujud inklusif itu, maka tetap ada celah
untuk menggugatnya. Pun sebaliknya, jika pra-konsepsi yang kita pakai adalah
positif, maka berkali-kali pun orang lain menghantam dan mencemari term
inklusif ini, maka kesimpulan yang akan kita capai pun akan selalu sama, jika
inklusifisme itu memang sudah seharusnya di kembangkan dalam masyarakat luas,
baik itu melalui pendidikan formal atau lainnya.
Kemudian,
terkait dengan pendidikan Islam inklusif dalam lembaga pendidikan formal
dibahas dalam seminar tahap 2. Yang menjadi catatan besar dari apa yang
disampaikan oleh Prof. Noorhaidi adalah, bahwa penentu dalam pendidikan itu
sendiri adalah seorang guru. Bagaimana sikap keberagamaan seorang guru nantinya
sangat mempengaruhi bagaimana peserta didik mempunyai sikap keberagamaan. Guru yang
mempunyai sikap eksklusif dalam beragama, maka kemungkinan besar peserta
didiknya akan memiliki sikap keberagamaan yang eksklusif. Sebaliknya, peserta
didik akan memiliki sikap keberagamaan yang inklusif jika guru kegamaannya
memiliki sikap keberagamaan insklusif. Apa yang disampaikan oleh Prof.
Noorhaidi ini pernah saya tulis dalam tulisan sebelumnya (baca: Revitalisasi Pendidikan Agama Islam ) Meskipun sebelumnya saya tak pernah bertemu
beliau, baik dalam seminar atau dalam tulisan-tulisannya, setidaknya kesimpulan
yang diberikan oleh beliau dalam seminar kali ini dapat mengkonfirmasi apa yang
pernah saya tulis. Bahwa guru yang dalam hal ini guru agama memiliki peran yang
sangat penting dalam menumbuhkan sikap keberagamaan generasi muda bangsa ini.
Terakhir,
adalah catatan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab sampai saat ini. Bahwa
pendidikan agama inklusif, atau pendidikan multikultural atau yang semacamnya,
sampai saat ini hanya berhenti pada “Bahwa pendidikan multikultural, inklusif
atau pluralis perlu dikembangkan di Indonesia” saja. Sementara, ketika ditanya
lantas bagaimana design pendidikan itu sampai saat ini saya belum menemukan
bentuk praktisnya. Ya, kita tahu pendidikan yang mengarahkan pada penghargaan
perbedaan itu sangat penting, tapi ketika ditanya bagaimana bentuknya? Kita serasa
dibuat diam seribu bahasa. Dalam seminar ini pun, kenyataan tersebut diamini
oleh Prof. Noorhaidi. Kita masih gagap jika ditanya bagaimana bentuk pendidikan
itu? Pendidikan yang semacam itu masih dalam konteks wacana, masih dalam bahasa
langit dan belum bisa membumi. Entah karena
keterbatasan penulis atau memang kenyataannya berkata demikian, bahwa belum ada
design pendidikan multikultural atau pendidikan Islam yang inklusif yang
benar-benar bisa diterapkan dan praktikkan di lapangan, semuanya masih wacana. Bahkan
ketika saya berdiskusi dengan beberapa teman dan dosen, pendidikan agama yang
multikultur dan inklusif masih terasa bagaikan mimpi, yang ketika kemudian
dibawa kea lam nyata, maka kita akan menyadari bahwa indahnya perbedaan itu
hanya dalam mimpi.
Semoga yang sedikit ini
bermanfaat. []
Kartasura, 18/9/15
10:09
Beberapa kegiatan dilakukan oleh beberapa sekolah yang memiliki guru yang memiliki pengetahuan mengenai pemahaman agama secara ingklusif. Hal ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan jaringan lintas agama. Seperti kunjungan ke tempat ibadah sebagai salah satu rekreasi edukasi, tentu dengan pengantar dan arahan yg inklusif pula.
ReplyDeleteSelain itu, pengalaman dan keadaan lingkungan yang homogen memang memicu keadaan nyaman dan sulit memahami keberbedaan. Keadaan yang heterogen bisa menjadi salah satu pemicu adanya inklusifitas dalam beragama. Namun dalam homogenitas tidak menghalangi untuk menanamkan inklusifitas. Dengan adanya pembukaan wawasan melalui kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler bisa menumbuhkan rasa kebersamaan.
Kegiatan kemanusiaan yang lebih umum juga bisa dilakukan. Dengan kegiatan bakti sosial bersama antar iman akan memberikan gambaran bahwa untukmembantu sesama tidak perlu menanyakan apa agamanya.
Pelajaran yang berpotensi untuk bisa memasukkan materi ini adalah Kewarganegaraan. Dengan semangat nasionalisme sekat-sekat mengenai eksklusifitas agama bisa diarahkan pada rasa kesatuan kebangsaan.
Iya, hanya saja tetap saja design konkritnya belum ada. Bicara kurikulum, materi, kemudian komponen-komponen lainnya belum jelas. Dalam taraf wacana, itu semuanya memang bisa dirancang. "Semua tenaga pendidikan ketika ditanya, maka akan membenarkan kalau pendidikan Islam harus inklusif dan sebagainya, tapi pada taraf implementasi, itu semua menguap tak tersisa".
ReplyDelete