Fikih Informasi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada tahun 2014, menurut lembaga riset pasar e-Marketer,
populasi netter
Tanah Air mencapai 83,7 juta orang pada 2014. Angka yang berlaku untuk setiap
orang yang mengakses internet setidaknya satu kali setiap bulan itu mendudukkan
Indonesia di peringkat ke-6 di dunia dalam hal jumlah pengguna internet. Pada
2017, e-Marketer memperkirakan, jumlah netter Indonesia bakal mencapai 112
juta orang, mengalahkan Jepang pada peringkat ke-5, yang pertumbuhan jumlah
pengguna internetnya lebih lamban. Secara keseluruhan, jumlah pengguna internet
di seluruh dunia diproyeksikan bakal mencapai 3 miliar orang pada 2015. Tiga
tahun setelahnya, pada 2018, diperkirakan sebanyak 3,6 miliar manusia di bumi
bakal mengakses internet, setidaknya sekali tiap satu bulan.[1]
Internet ini bisa dikatakan menjadi salah satu bukti kemajuan
teknologi komunikasi dan informasi di era ini, dan dari data di atas
menunjukkan bahwa internet saat ini menjadi salah satu kebutuhan penting dari
masyarakat dunia. Fenomena ini tentu tidak mengejutkan, melihat beberapa
kemudahan dan kepraktisan yang ditawarkan oleh Internet dalam memberikan
informasi-informasi yang diperlukan.
Tentunya, kemajuan-kemajuan yang dicapai, khususnya dalam bidang
komunikasi dan informasi ini membawa dampak-dampak yang positif, juga negatif.
Ini tergantung dari siapa dan untuk apa mereka menggunakan teknologi ini. Di
Indonesia misalnya, Asisten Deputi Kelembagaan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)
Nasional Haliq Siddiq, seperti dilansir oleh Antara News[2]
mengatakan, Indonesia merupakan negara ketiga terbanyak yang mengakses situs
porno." Data ini merupakan hasil survei yang dilakukan oleh Google sebagai
situs penyedia data dan pencari ini, ternyata Indonesia berada diperingkat
ketiga yang paling banyak mengakses situs porno dan diperingkat pertama adalah
India,"
Melihat fakta tersebut, maka perlu dicermati lebih dalam lagi atas
dampak-dampak yang ditimbulkan oleh internet ini. Tentu masih banyak lagi
kemaslahatan yang bisa diperoleh dari internet ini, jika penggunaannya
dimaksudkan demi kebaikan. Misalnya, melalui internet ini dibagikanlah
ilmu-ilmu yang dimungkinkan bisa diakses oleh semua orang, termasuk untuk
menyebarkan ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam Islam. Dengan internet
ini, seseorang bisa memperoleh informasi tentang hukum riba – misalnya – dengan
mudah. Ia juga bisa mengakses informasi-informasi lainnya yang sarat dengan
aspek-aspek keagamaan.
Melihat fakta tersebut, yaitu sisi positif dan negatifnya internet.
Maka, ada baiknya agama ikut campur dalam konteks memberikan kontrol dalam
kemajuan informasi ini. Sehingga dampak negatif yang ditimbulkannya dapat
ditekan seminim mungkin, sementara di sisi lain mengoptimalkan kemanfaatannya
dalam masyarakat luas.
B.
Rumusan
Dari latar belakang di atas, maka rumusan yang penulis ajukan dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah
perkembangan teknologi informatika?
2.
Bagaimanakah
pandangan fikih tentang fenomena Internet?
C.
Tujuan
Dari rumusan di atas, maka dapat diketahui bahwa tujuan penulisan makalah
ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui perkembangan teknologi informatika
2.
Untuk
mengetahui pandangan Fikih tentang fenomena Internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teknologi
Informasi dan Internet
1.
Perkembangan
Teknologi Informasi
Dalam perkembangannya, informasi senantiasa
mempengaruhi ekonomi, politik, budaya dan semua komponen yang ada di
masyarakat.[3]
Sehingga informasi seakan menjadi komoditi yang sangat penting di tengah
masyarakat. Dari sini kemudian muncul istilah masyarakat informasi, di mana
Rogers, seperti yang dikutip oleh Zulkarimein Nasution[4]
mendefiniskan masyarakat informasi ini sebagai bangsa di mana mayoritas
angkatan kerja terdiri dari para pekerja informasi, dan informasi menjadi
elemen yang paling penting.
Masyarakat informasi ini mempunyai
bentuk spesifik dan mudah dikenal setelah fenomena World Wide Web pada
tahun 1994 muncul.[5]
Diawali dengan introduksi komputer pribadi (PC/Personal Computer) pada
tahun 1981nyang menjadikan ide masyarakat informasi mendapatkan dorongan baru.
Industri komputer dan elektronik mengalami periode restrukturisasi dan
pertumbuhan yang sangat cepat dengan ditandai adanya komputer di hampir setiap
rumah. Perkembangan ini menghasilkan visi post-industrialisme, yaitu
masyarakat dengan tingkat pengetahuan dan informasi yang tinggi dengan daya
saing yang tinggi pula dan menjadi lebih terbuka dan bertanggung jawab.[6]
Sedikit berbeda dengan pendapat di
atas, Hariningsih[7]
mengkategorikan perkembangan teknologi menjadi tiga era, yaitu: pertama, era
teknologi informasi. Era ini membawa komputer memasuki masa-masa “revolusi”nya.
Di mana dengan seperangkat komputer yang dapat ditaruh di meja kerja, seorang
manajer atau teknisi dapat memperoleh data atau informasi yang telah diolah
komputer (dengan kecepatan yang hampir sama dengan kecepatan minicomputer
bahkan mainframe). Kedua, era sistem informasi, di mana pada era ini
tidak lagi menekankan pada undur teknologinya, melainkan lebih kepada sistem
informasi.
Ketiga, era globalisasi informasi yang terlihat sejak pertengahan tahun
1980-an dimana perkembangan di bidang teknologi informasi (komputer dan
telekomunikasi) sedemikian pesatnya, sehingga kalau digambarkan secara grafis,
kemajuan yang terjadi terlihat secara eksponensial. Ketika sebuah seminar
internasional mengenai Internet diselenggarakan di San Fransisco pada tahun
1996, para praktisi teknologi informasi yang dahulu bekerja sama dalam
penelitian untuk memperkenalkan Internet ke dunia industri pun secara jujur
mengaku bahwa mereka tidak pernah menduga perkembangan Internet akan menjadi
seperti sekarang ini. Penerapan teknologi seperti LAN, WAN, GlobalNET,
Intranet, Internet, Ejstranet semakin hari semakin merata dan membudaya di
masyarakat.
Perkembangan teknologi informasi
ini, pada akhirnya membuka kesempatan bagi setiap warga di mana pun berada
mempunyai akses yang sama terhadap segala informasi yang dibutuhkan, baik itu
terkait dengan keputusan publik, kebutuhan pencari tenaga kerja, mahasiswa
belajar, termasuk dalam hal menyelesaikan permasalahan di masyarakat.
2.
Internet
Secara umum, internet merujuk pada
gabungan sistem jaringan komputer yang berkomunikasi menggunakan sistem
pertuturan yang sama dikenali sebagai TCP/IP (Transmission Control
Protocol/Internet Protocol), yang mempunyai fungsi sebagai satu rangkaian
yang besar menghubungkan badan pemerintahan, komersial, Institusi Pendidikan
dan individu di seluruh dunia.[8]
Tracy LaQuey menyebutkan bahwa
secara mendasar, misi awal dari internet ini adalah menyediakan sarana bagi
para peneliti untuk mengakses data dari sejumlah sumber daya
perangkat-komputer, yang mahal. Akan tetapi, sekarang ini –seperti yang bisa
kita saksikan bersama– Internet telah berkembang menjadi ajang komunikasi yang
sangat cepat dan efektif sehingga telah menyimpang jauh dari misi awalnya.[9]
Lebih lanjut, Tracy LaQuey
menyatakan bahwa Internet yang dikenal saat ini tercipta oleh suatu ledakan tak
terduga pada tahun 1969, yaitu dengan lahirnya ARPANET, yang merupakan
eksperimen dari Kementrian Pertahanan Amerika Serikat bernama DAPA (Department
of Defense Advanced Research Projects Agency), dengan misi awal yang sangat
sederhana – seperti yang telah disebutkan – yaitu mencoba menggali teknologi
jaringan yang dapat menghubungkan para peneliti dengan berbagai sumber daya jauh
seperti sistem komputer dan pangkalan data yang besar. Keberhasilan ARPANET
membantu membudidayakan sejumlah jaringan lainnya, yang kemudian saling
berhubungan; 25 tahun kemudian, sistem ini berevolusi menjadi suatu “organisme”
yang semakin luas perkembangannya, yang mencakup puluhan juta orang dan ribuan
jaringan.[10]
Singkatnya, perkembangan Internet
hingga sampai pada tahap sekarang ini merupakan satu tahapan yang cukup
panjang. Dimulai dari adanya teknologi informasi, kemudian sistem informasi
hingga masuk pada globalisasi informasi. Dan ini seakan mendapatkan momentumnya
ketika DAPA yang merupakan Kementrian Pertahanan yang ada di amerika yang
mengembangkan ARPANET yang ternyata menjadi cikal bakal Internet.
B.
Internet
dalam perspektif Fikih
Banyak yang meyakini bahwa teknologi informasi yang berkembang
pesat saat ini telah membuka mata dunia akan sebuah dunia baru, interaksi baru,
market place baru, dan sebuah jaringan baru. Disadari betul bahwa
perkembangan teknologi yang disebut Internet telah mengubah pola interaksi
masyarakat, yaitu: interaksi bisnis, ekonomi, sosial dan budaya.[11] Perubahan
yang terjadi ini, menurut Marshall McLuhan dalam Miarso,[12] kemajuan
yang diperoleh ini memaksa kita untuk mempertimbangkan dan menilai kembali
hampir semua pikiran, tindakan, dan segenap kelembagaan yang sebelumnya kita
anggap telah mapan.
Artinya, gelombang kemajuan teknologi informasi, yang salah satunya
ditandai dengan adanya internet meniscayakan adanya reorientasi semua aspek
kehidupan, termasuk dalam kaitannya dengan agama yang dalam pembahasan ini
dikhususkan pada kajian fiqih. Secara istilah, fiqih ini dimaknai sebagai
mengetahui hukum-hukum syar’i yang berhubungan dengan amal perbuatan
hamba berdasarkan dalil-dalilnya secara terperinci.[13]
Dimana cakupan fiqih ini sendiri pada kenyataannya tidak hanya sebatas pada
urusan makhluk dengan Khaliq saja (‘ibadah), melainkan juga hubungan
interaksi sosial (mu’amalah).
Pada akhirnya, fenomena Internet yang telah merebak di seluruh
penjuru dunia ini perlu diketahui bagaimana hukumnya secara syar’i. Dengan
adanya kejelasan hukum ini diharapkan mampu meminimalisir dampak negatif dari
Internet, yang salah satunya – seperti yang telah disebut di pendahuluan –
adalah semakin banyaknya pengakses situs-situs porno diinternet.
Jika membicarakan hukum dalam Islam, tentu tidak bisa dilepaskan dari dua sumber utamanya yaitu
Al-Qur’an dan Hadist. Hanya saja, dalam perkembangannya,
permasalahan-permasalahan fiqih yang berkembang di masyarakat selalu
berkembang, sementara nash Al-Qur’an dan Hadist yang merupakan sumber utama
pengambilan hukum fiqih terbatas, karena keduanya terputus dan tidak berkembang
lagi dengan wafatnya Rasulullah saw. Pun demikian, kenyataan bahwa zaman selalu
berkembang dan diiringi dengan permasalahan-permasalahan yang ada disadari
sepenuhnya oleh para ulama. Mengandalkan tekstualitas yang terkandung dalam
nash Al-Qur;’an dan Hadist saja untuk memecahkan masalah-masalah baru yang
tidak ada di zaman Nabi tentu akan mustahil, karenanya para ulama kemudian
merumuskan kaidah-kaidah fiqih yang ditujukan untuk menjadi pedoman dalam
memecahkan masalah-masalah yang belum ada wujudnya pada zaman turunnya wahyu.[14]
Sama halnya dengan fenomena Internet saat ini. Untuk menemukan
hukum syar’i tentang Internet dalam Al-Qur’an dan Hadist, dalam artian secara
tekstual nash-nya, maka akan sangat mustahil. Karena seperti yang telah dibahas
pada bab sebelumnya, bahwa Internet ini pertama kali muncul pada tahun 1969.
Artinya, Internet ini ada sekitar sepuluh abad setelah wafatnya Nabi. Maka
sudah barang tentu al-Qur’an dan Hadist tidak menyinggungnya sama sekali.
Karena itu, dalam perumusan hukum Internet ini akan digunakan beberapa kaidah
fikih yang ada.[15]
1.
الاُمُوْرُ
بِمَقَاصِدِهَا (Segala perkara itu
tergantung pada niatnya)
Dalam beberapa literatur, kaidah di
atas dikaitkan dengan hadist Rasulullah saw. tentang niat berikut ini:
عَنْ
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ – رضي الله عنه – قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله – صلى
الله عليه و سلّم – يَقُوْلُ "إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ , وَإنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَئ , فَمَنْ كَانَتْ حِجْرَتُهُ إلَى اللهِ
وَرَسُوْلِهِ فَحِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ , وَ مَنْ كَانَتْ
حِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أوْ إلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَحِجْرَتُهُ
إِلَى مَا حَاجَرَ إِلَيْهِ
“Dari Umar bin Khattab
ra. berkata: “Saya mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya amal perbuatan
itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu tergantung pada
yang dia niatkan, maka barangsiapa yang hijrah untuk Allah dan Rasul-Nya maka
hijrahnya itu untuk Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya untuk
mendapatkan dunia maka dia akan mendapatkannya atau hijrahnya untuk seorang
wanita maka dia akan menikahinya, maka hijrahnya itu tergantung pada apa yang
dia hijrah untuknya.” (HR. Bukhari 1, Muslim 1907)
Imam Al-Khothobi, dalam Ahmad Sabiq
mengatakan bahwa Hadist ini adalah salah satu dasar pokok dalam agama, banyak
hukum yang tergabung di dalamnya. Maknanya adalah bahwasanya sah tidaknya amal
perbuatan dalam agama itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya niat itulah
yang membedakan mana yang sah dengan yang tidak sah sebuah amal perbuatan.[16]
Lebih lanjut lagi, kaidah ini
menegaskan bahwa niat memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan
kualitas atau pun makna dari perbuatan seseorang, apakah seseorang itu
melakukan perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perbuatan
yang diperintahkan atau yang dibolehkan oleh agama ataukah dia melakukan
perbuatan tersebut bukan karena ibadah kepada Allah, melainkan semata-mata
karena kebiasaan.[17]
Dalam makan misalnya, seseorang yang sedang makan, di satu sisi makan tersebut
bisa dimaknai sebagai ibadah jika dengan makan itu seseorang berniat agar
mempunyai tenaga untuk beribadah. Ini berbeda dengan ketika seseorang sedang
makan karena makan itu memang kebutuhan dan kebiasaan tanpa ada niatan bahwa
itu dilakukan untuk menunjang keberlangsungan ibadah kepada Allah.
Sama halnya dengan Internet, ia bisa
menjadi sesuatu yang bernilai ibadah jika memang diniatkan untuk beribadah.
Juga sebaliknya, Internet akan menjadi seuatu yang bernilai maksiat jika ia
digunakan dalam hal yang dilarang oleh agama. Misalnya, Islam mewajibakan bagi
umatnya untuk menuntut ilmu, tak memandang segi usia atau pun jenis kelamin.
Maka, ketika dengan menggunakan fasilitas Internet, seseorang melaksanakan
perintah mencari ilmu tersebut, maka Internet bisa menjadi sesuatu yang
disunnahkan. Apalagi jika kemudian ternyata ilmu yang hendak dicari ternyata
hanya bisa ditemukan melalui internet, atau semisal dalam suatu sekolah atau
lembaga sekolah, Internet menjadi keniscayaan yang menunjang proses
pembelajaran, maka akses Internet dan kecakapan untuk menggunakannya pun bisa
menjadi wajib/suatu keharusan. Ini sesuai dengan salah satu kaidah fikih:
مَا لَا يَتِمُّ
الْوَاجِبَ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وِاجِبٌ
“Apabila
kewajiban tidak bisa dilaksanakan karena dengan adanya suatu hal, maka hal
tersebut juga wajib”.[18]
Dari sini kemudian secara sederhana
bisa dilihat bahwa menggunakan internet bisa dinilai ibadah jika memang
penggunaan itu dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan agama, misal dalam menuntut
ilmu. Dan pada situasi tertentu, Internet bahkan bisa menjadi suatu kewajiban
jika memang ia menjadi menjadi syarat tercapainya sesuatu yang diwajibkan.
2.
دَفْعُ
الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عِلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ (Menolak mafsadah didahulukan daripada
meraih maslahat)
Kaidah ini
mensyaratkan untuk lebih mendahulukan menolak kerusakan daripada mendahulukan
kemaslahatan. Kemaslahatan dan kerusakan dunia sendiri bisa diketahui dengan
akal sehat, dengan pengalaman dan kebiasaan manusia. Sedangkan kemaslahatan
dunia dan akhirat serta kemafsadatan dunia akhirat tidak bisa diketahui kecuali
dengan syari’ah, yaitu melalui dalil syara’ baik al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma,
Qiyas yang diakui (mu’tabar) dan istislah yang sahih
(akurat).[19]
Lantas bagaimana dengan Internet?
Sebelum
menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa terkait
dengan kemasalahatan, beberapa syarat yang bisa dipakai untuk menentukan apakah
sesuatu itu dikatakan maslahat atau tidak adalah sebagai berikut:
a.
Kemaslahatan
itu harus sesuai dengan maqâshid al-syar’îah, semangat ajaran,
dalil-dalil kulli dan dalil qoth’i baik wurd maupun
dalalahnya.
b.
Kemaslahatan
itu harus meyakinkan, artinya kemaslahatan itu berdasarkan penelitian yang
cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa itu bisa mendatangkan manfaat
dan menghindarkan mudarat.
c.
Kemaslahatan
itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan kesulitan yang di luar batas,
dalam arti kemaslahatan itu bisa dilakukan.
d.
Kemaslahatan
itu memberi manfaat kepada sebagian besar masyarakat bukan kepada sebagian
kecil masyarakat.[20]
Dari beberapa
syarat di atas, maka bisa diambil suatu hukum tentang Internet. Jika pada
pembahasan pada poin pertama telah dipaparkan bahwa niat mempunyai peranan
penting dalam menentukan apakah Internet itu boleh atau tidak (yang dalam fiqih
dipakai term mubah, wajib atau sunnah). Maka dalam kaidah ini,
pertimbangan kemaslahatan atau kemafsadatan yang dipakai dalam melihat
Internet, dan dari keduanya itu lebih mendahulukan menolah kemfsadatan lebih
diutamakan. Misalnya, jika ternyata dari kajian yang telah dilaksanakan
diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan Internet di suatu daerah telah memberikan
sumbangan besar dalam semakin merebaknya kasus kejahatan (perampokan,
perkosaan, dan sebagainya), maka Internet bisa dihukumi sebagai sesuatu yang
haram, meskipun dalam beberapa sisi Internet membawa kemaslahatan juga. Tapi
demi menolak kemafsadatan yang lebih besar, maka memperoleh kemaslahatan dari
internet ini – bisa dikatakan – harus tunduk pada menolak kemaslahatan tadi.
Ini juga
berarti pada segala sesuatu yang mengarahkan pada keharaman, maka sesuatu itu
juga haram. Jika kejahatan seperti perampokan, perkosaan, narkoba dan
sebagainya bisa terjadi melalui Internet, maka Internet ini akan dihukumi haram
pula. Ini sesuai dengan kaidah fikihnya:
لِلْوَسَائِلِ
أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ
“Bagi setiap wasilah
(media) hukumnya adalah sama dengan hukum tujuan”.
Atau berlaku
pula kaidah:
C.
Refleksi
Fikih Informatika
Pembahasan sederhana yang telah penulis paparkan di atas adalah
sebagian kecil dari fenomena permasalah kontemporer yang dihadapi oleh
masyarakat dunia saat ini. Internet dengan segala kemudahan yang dihadapinya, pada
akhirnya juga mempunyai sisi negatifnya bagi masyarakat. Sementara itu, sejarah
kemunculan Internet ini adalah sekitar sepuluh abad setelah wafatnya nabi
Muhammad saw. Artinya, jika Internet ini dicarikan hukum secara syar’i, maka akan sangat sulit, bahkan mustahil untuk
ditemukan secara tersurat dalam al-Qur’an dan Hadist. Karenanya, dalam
menentukan hukum penggunaan Internet ini ditempuhlah cara lain, yakni dengan
melihat beberapa kaidah fikih yang telah dirumuskan oleh para ulama fikih.
Penggunaan kaidah fikih ini bukan berararti memaksakan suatu hukum
yang dalam al-Qur’an Hadist tidak ada, melainkan kaidah ini hadir sebagai
penjembatan antara realitas sosial di masyarakat yang tak terbatas dengan
realitas tekstual yang terbatas. Jika dikatakan bahwa Internet sepenuhnya haram
karena lebih banyak mengandung kemafsadatan daripada kemaslahatan dan dikuatkan
dengan argumen tidak ada dalil yang membolehkan adanya Internet, maka pandangan
ini kurang bijak. Sama halnya dengan kekurangbijakannya menutup diri atas
kemajuan teknologi informasi karena alasan kemajuan ini datang dari non-Islam.
Karena jika umat Islam menyikapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini
dengan menutup diri, maka bukan tidak mungkin ke depan Islam akan menjadi agama
yang terbelakang dan tidak up to date.
Lebih
dari itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini pada dasarnya justru
menjadi kesempatan baik untuk agama-agama, termasuk Islam untuk mengambil peran
di dalamnya. Karena kemajuan yang terjadi di dunia modern ini kecenderungan
terlalu mengagungkan ilmu pengetahuan dan terlepas dari kontrol nilai-nilai
agama. Meski awalnya nampak kemajuan ini membawa kebanggaan, namun pada
akhirnya kemajuan-kemajuan yang dicapai ini yana mengabaikan aspek spiritual
berdampak pada ketidaktentraman batin, yang pada akhirnya tidak ada kesimbangan
diri manusia,[21]
yakni aspek jasmani dan ruhani. Jika pada kondisi ini agama mampu tampil ke
depan, maka bukan tidak mungkin agama akan mengambil peran pentingnya lagi di
tengah masyarakat modern saat ini. Karenanya, jika fenomena seperti Internet
ini dibiarkan saja oleh agama, dalam arti tidak mau menyikapinya, maka upaya
menghadirkan agama dalam masyarakat modern ini akan jauh dari kenyataan.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Dalam
perkembangannya, teknologi informasi terbagi menjadi tiga era, yaitu: era
teknologi informasi yang lebih fokus pada perangkat keras, kemudian era sistem
informasi yang lebih cenderung pada sistem/perangkat lunak, dan era globalisasi
informasi yang terlihat sejak pertengahan tahun 1980-an, di mana era ini
menjadikan informasi mudah diakses secara global. Salah satu yang menandai
perkembangan teknologi informasi di era ketiga ini adalah hadirnya Internet,
yang mulai muncul pada tahun 1969 dengan embrionya yaitu ARPANET, yang
merupakan eksperimen dari Kementrian Pertahanan Amerika Serikat. Kini, Internet
sudah menjadi bagian penting dari masyarakat modern.
2.
Dalam
menentukan hukum Internet, dipakai pendekatan kaidah-kaidah fikih. Karena
memang dalam teks al-Qur’an dan Hadist tidak ada pembahasan tentang Internet.
Internet dalam hukum syar’i bisa digunakan (mubah) jika memang diniatkan
untuk kemaslahatan. Bahkan kebolehan itu bisa bernilai ibadah, jika memang
digunakan sebagai sarana ibadah. Di lain sisi, menggunakan internet ini juga
bisa menjadi wajib jika memang suatu kewajiban yang terdapat dalam hukum syar’i
bisa tercapai hanya dengan internet, maka Internet menjadi wajib. Begitu
pun Internet bisa menjadi haram jika penggunaan Internet ini menjadi media terlaksana
hal-hal yang diharamkan dalam agama. Lebih dari itu, pertimbangan kemaslahatan
dan kemafsadatan dari Internet ini lebih ditekankan, dengan proporsisi bahwa
menolak kemafsadatan lebih didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan.
DAFTAR
RUJUKAN
Djazuli, A. 2011. Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam
dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Cetakan ke-4. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Hariningsih, S.P. 2005. Teknologi Informasi. Yogyakarta:
Graha Ilmu
LaQuey, Tracy. 1997. Sahabat Internet Pedoman Bagi Pemula untuk
Memasuki Jaringan Global. Hans J. Wospakrik (penerjemah). Bandung: Penerbit
ITB
Miarso, Yusufhadi. 2007. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Cetakan
ke-3. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Nasution, Zulkarimein. 1989. Teknologi Komunikasi dalam Perspektif; Jilid 1 Latar Belakang dan
Perkembangannya. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia
Purnomo, Herry dan Zacharias, Theo. 2005. Pengenalan Informatika
Perspektif Teknik dan Lingkungan. Yogyakarta: Andi
Sabiq, Ahmad. 2009. Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islam. Tanpa
Kota: Pustaka Al-Furqon
Sholeh, Moh. dan Musbikin, Imam. 2005. Agama sebagai Terapi:
Telaah Menuju Ilmu Kedokteran Holistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
http://www.antaranews.com/berita/490383/indonesia-peringkat-tiga-pengakses-situs-porno.
Diakses pada tanggal 28/04/2015, pukul 20.58 WIB
http://tekno.kompas.com/read/2014/11/24/07430087/pengguna.internet.indonesia.nomor.enam.dunia.
Diakses pada tanggal 28/04/2015, pukul 20.45 WIB
[1]http://tekno.kompas.com/read/2014/11/24/07430087/pengguna.internet.indonesia.nomor.enam.dunia. Diakses pada
tanggal 28/04/2015, pukul 20.45 WIB
[2] http://www.antaranews.com/berita/490383/indonesia-peringkat-tiga-pengakses-situs-porno. Diakses pada
tanggal 28/04/2015, pukul 20.58 WIB
[3] Herry Purnomo
dan Theo Zacharias, Pengenalan Informatika Perspektif Teknik dan Lingkungan,
(Yogyakarta: Andi, 2005), hlm. 1
[4] Zulkarimein
Nasution, Teknologi Komunikasi dalam
Perspektif; Jilid 1 Latar Belakang dan Perkembangannya, (Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1989), hlm. 90
[5] Herry Purnomo
dan Theo Zacharias, Op. Cit., hlm. 3
[6] Ibid.,
[7] S.P.
Hariningsih, Teknologi Informasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm. 3-4
[8] S.P.
Hariningsih, Op. Cit., hlm. 123
[9] Tracy LaQuey, Sahabat Internet Pedoman Bagi Pemula untuk
Memasuki Jaringan Global, terj. Hans J. Wospakrik, (Bandung: Penerbit ITB,
1997), hlm. 1
[10] Ibid.,
[11] S.P.
Hariningsih, Op. Cit., hlm. 140
[12] Yusufhadi
Miarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, cet. III., (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 491
[13] Ahmad Sabiq
bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islam, (Tanpa
Kota: Pustaka Al-Furqon, 2009), hlm. 2
[14] Para pembangun
kaidah-kaidah fikih adalah ulama-ulama yang sangat dalam ilmunya di dalam ilmu
fikih (al-râsikhûna fi al-furû’) sampai muncul Imam Abu Thahir al-Dibasi
yang hidup pada akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, yang baru
mengumpulkan 17 kaidah fikih. Lihat A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih:
Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis,cet.
Ke-4, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2011), hlm. 6
[15] Terkait
tentang hukum berhujjah dengan kaidah fikih ini, tergantung dari sumber
dirumuskannya kaidah tersebut, yaitu: 1) jika kaidah itu teksnya langsung dari
Al-Qur’an dan al-Sunnah, maka tidak diragukan lagi bahwa kaidah itu adalah
hujjah; 2) jika kaedah itu teksnya disusun oleh para ulama, sedangkan di
dalamnya terkandung makna yang didasarkan pada apa yang ada dalam al-Qur’an dan
al-Sunnah, maka kaidah semacam ini pun hujjah; dan 3) jika kaidah disusun oleh
para ulama berdasarkan dalil qiyas, maqashid syar’iyyah maupun lainnya,
maka hukumnya adalah hukum berdalil dengan asal dari kaidah tersebut. Lihat
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Op. Cit., hlm. 6
[16] Ibid.,
hlm. 18
[17] A. Djazuli, Op.
Cit., hlm. 34
[18] Ibid.,
[19] Ibid.,
hlm. 29
[20] Ibid.,
hlm. 29-31
[21] Moh. Sholeh
dan Imam Musbikin, Agama sebagai Terapi: Telaah Menuju Ilmu Kedokteran
Holistik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 40
0 Response to "Fikih Informasi"
Post a Comment