Edisi Ramadlan: Ramadlan (terasa) Tak Semeriah Dulu


Entah hanya perasaan saya saja atau memang zaman sudah berubah. Hari ini bulan Ramadlan menghampiri kita sekalian. Puasa satu bulan di siang hari, kemudian semarak shalat terawih pada malam harinya menjadi agenda kita sebulan ke depan. Tapi saya kembali bertanya-tanya, apakah hanya perasaan saya saja atau memang zaman telah berubah? Awal Ramadlan kini serasa tak seramai dulu. Lebih dari itu, yang membedakan bahwa ini bulan Ramadlah atau tidak ya hanya puasa dan serba-serbinya seperti sahur dan berbuka, serta tarawih dan serba-serbinya seperti kultum atau tadarus setelah tarawih di masjid-masjid. Selain itu, semuanya berjalan normal-normal saja.
Jika saya memutar kembali ingatan saya beberapa tahun silam, kedatangan bulan Ramadlan tak sesepi ini dan semaraknya sebulan penuh terasa begitu mengasyikkan dan membuat rindu akan bulan ini. Sejenak saya berpikir, bisa jadi moment Ramadlan yang dulu terasa ramai dan membuat rindu, kini menjadi tak seramai dulu karena semakin tambahnya dosa yang saya perbuat. Sehingga jangankan merindukan Ramadlan, merasa bulan ini lebih istimewa saja tidak. Lama saya merenung sampai saya berkeinginan menjadi seorang anak kecil yang saya jumpai saat tarawih malam ini. Anak kecil itu begitu happy saat banyak orang berbondong-bondong ke masjid. Saya berpikir bahwa dulu saya pernah seperti anak kecil ini. Bertanya-tanya dan bahagia, ada apa gerangan, masjid yang biasanya sepi menjadi ramai, belum lagi besok ketika buka puasa atau sahur. Pasti menjadikan anak kecil itu senang, bangun di pagi yang masih petang dengan banyak makanan. Bukankah biasanya makan pagi itu ketika matahari sudah benar-benar menyinari bumi, tapi kenapa ini di pagi yang buta sudah pada makan? Kemudian saat maghrib tiba, maka rasa senang itu muncul kembali. Melihat berbagai makanan dan tentunya minuman yang menyegarkan tersaji di meja. Meski tak puasa, tapi saat kita kecil dulu biasanya kita tetap makan bersamaan dengan keluarga kita saat adzan maghrib berkumandang.
Sekali lagi, apakah ini cuma perasaan saya atau memang zaman sudah berubah? Atau mungkin tempat saya tinggal yang berubah sehingga Ramadlan tak semeriah dulu. Saya dibesarkan di desa yang meskipun bukan daerah terpencil, namun juga tak bisa dikatakan kota. Di mana setiap datangnya Ramadlan, antusias warga begitu tinggi. Dimulai dari saling berbagi makanan menjelang datangnya Ramadlan, kemudian membersihkan rumah, termasuk mengecat rumah jika memang dirasa perlu. Selain itu, beberapa hari sebelum Ramadlan para warga ramai-ramai ke pemakaman untuk berziarah ke makam para leluhur, di samping juga membersihkan pemakaman untuk menyambut Ramadlan. Kemudian, setelah Ramadhan tiba, puji-pujian bernuansakan Ramadlan selalu terlantun di antara adzan dan iqamah di tiap-tiap shalat lima waktu melalui speaker-speaker yang ada di masjid-masjid atau mushalla. Saat malam pertama tarawih, tidak akan di jumpai masjid, mushalla atau langgar yang sepi. Tak jarang saking ramainya jamaah, biasanya disediakan tikar-tikar yang digelar di halaman-halaman masjid atau mushalla. Saat sahur, suara tarhim dari speaker masjid membuat suasana begitu terasa bahwa saat ini sedang bulan Ramadlan. Di tambah lagi suara tong-thek yang ditabuh oleh beberapa orang untuk membangunkan sahur. Semua itu menjadikan bulan ini terasa begitu Istimewa di banding bulan lainnya.
Bagi pembaca yang dulu dibesarkan di daerah pedesaan, dan kini hidup di perkotaan, mungkin akan setuju jika saya katakan bahwa Ramadhan di desa lebih meriah di banding di kota. Yang tak kalah menariknya adalah saat Ramadhan akan segera usai. Jika di banding dengan kehidupan di kota, maka moment menjelang Idul Fitri akan terasa begitu istimewa di desa-desa. Saya dan mungkin anda yang masa kecilnya di desa, pasti tidak akan lupa tradisi membuat jajanan-jajanan yang akan disuguhkan ketika moment Idul Fitri, seperti keciput, rempeyek, kacang plintis, lidah kucing, larut, dll. Semua itu buatan sendiri. Sehingga benar-benar terasa bahwa kita akan menyambut hari yang menjadi puncak dari puasa kita sebulan penuh. Sementara di kota, makanan-makanan seperti itu sudah dijual di toko-toko swalayan atau super market. Mereka yang hidup di kota enggan bersusah payah untuk membuat itu semua. Asal uang ada, tnggal datang ke super market, semua yang dibutuhkan sudah tersedia di sana, dari makanan yang tradisional hingga makanan yang jika di bawa ke desa mungkin malah tidak akan ada yang doyan.
Selain itu, tradisi memakai pakaian baru saat Idul Fitri. Masa kecil saya dulu, Idul Fitri terasa tak lengkap tanpa ada baju baru. Dan rasanya lebih baik di bulan-bulan biasa tak perlu memiliki baju baru asal ketika Idul Fitri berpakaian baru. Tradisi ini pada akhirnya membuat bulan puasa, utamanya di hari-hari terakhir, menjadikan pasar-pasar atau toko-toko pakaian dipenuhi para pembeli yang ingin memakai pakain baru di hari raya Idul Fitri. Tapi, fenomena seperti ini tidak ada di kota. Pasalnya, untuk memiliki baju baru tak perlu menunggu Idul Fitri. Adanya super market atau pusat-pusat perbelanjaan yang menyediakan semua kebutuhan, termasuk pakain-pakain yang bisa dibeli kapanpun. Akhirnya? Ya moment Idul Fitri dengan baju baru jadi tidak tren lagi. Dampaknya? Ya Idul Fitri terasa biasa-biasa saja. Pun demikian, bagi para masyarakat kota yang masih punya akar budaya dari pedesaan, tetap menjadikan baju baru sebagai sebagai ikon di hari raya Idul Fitri.
Kesimpulan dari tulisan ini? Silahkan pembaca simpulkan sendiri. Namun, sedikit yang ingin saya sampaikan sebagai kalimat penutup dalam tulisan ini adalah bahwa kebersamaan dengan keluarga di moment-moment istimewa, seperti bulan Ramdlan ini sangatlah berharga. Silahkan anda berbuka dengan makanan termahal di dunia ini atau makan sahur dengan makanan paling lezat yang pernah di buat di muka bumi. Tapi, itu semua tak akan sebanding dengan ketika kita berbuka puasa atau makan sahur dengan suasanan kebersamaan. Meskipun hanya dengan lauk seadanya, Ramadlan akan terasa begitu istimewa bersama keluarga. Marhaban Ya Ramadlan, semoga kita semua mendapatkan keberkahan di bulan yang suci ini. Amiiin. []

2 Responses to "Edisi Ramadlan: Ramadlan (terasa) Tak Semeriah Dulu"

  1. iya si pak, saya juga merasa ramadhan tahun ini tidak semeriah dulu :(

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel