Dilema Pendidikan Tinggi


Beberapa hari yang lalu, penulis sempat mengikuti sosialisasi Beasiswa LPDP (Lembaga Pengeleolaan Dana Pendidikan) yang diselenggarakan di Kampus Pasca Sarjana UIN Maliki Malang. Dalam tulisan ini penulis tidak akan menjelaskan tentang isi dari sosialisasi tersebut, melainkan ada salah satu fakta yang dipaparkan oleh Awardy LPDP (sebutan bagi penerima beasiswa) yang menarik untuk disimak dan kemudian direnungkan. Fakta yang diungkap adalah minimnya para lulusan jenjang pendidikan tinggi, khususnya pasca sarjana, baik itu magister atau doktor yang dimiliki Indonesia di banding negara lain. Untuk statistik perbandingannya penulis tidak ingat betul. Yang penulis ingat adalah prosentase yang dimiliki Indonesia adalah sepertiganya dari jumlah lulusan pasca sarjana yang ada di Malaysia. Belum lagi jika dibanding dengan negara-negara maju lainnya, seperti Jepang, India, Amerika, Inggris dan sebagainya.
Yang menarik kemudian adalah jumlah tersebut disangkutpautkan dengan kepemilikan beberapa aset penting dan berharga bangsa ini yang ternyata dikuasai bangsa asing. Jika selama ini banyak komentar negatif yang menghujat pemerintah atau pihak asing yang semena-mena mengeruk kekayaan Indonesia, maka tidak dengan yang disampaikan oleh awardy LPDP tersebut, yang sekarang menempuh jenjang pasca sarjana di Universitas Brawijaya, Malang. Penulis masih ingat apa yang disampaikannya yang kurang lebih “Sudahlah, kita tidak perlu berpikir negatif terhadap pihak-pihak asing yang saat ini menguasai aset bangsa kita. Mari kita berpikir positif, kenapa dan ada apa dengan kita sebagai bagian bangsa ini? Kenapa kita tidak bisa memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah ini seutuhnya?”. Ya, kurang lebih demikianlah perkataan yang penulis tangkap yang sampai saat ini masih jelas terngiang di benak penulis.
Dalam hati pun, akhirnya penulis mengiyakan pernyataan tersebut. Ya, kita memang tak perlu membuang-buang tenaga untuk berprasangka negatif terhadap mereka yang saat ini menguasai aset-aset yang dimiliki bangsa ini. Sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri, kenapa dan ada apa dengan kita? Kenapa kita tidak bisa menjadi raja di negeri kita sendiri, melainkan hanya sebagai “babu” atau paling tinggi sebagai “tamu” di rumah sendiri?
Pertanyaan tersebut setidaknya sedikit terjawab – juga – oleh awardy tersebut. Yaitu karena bangsa ini kekurangan orang-orang yang berpendidikan tinggi. Penulis tidak akan membahas panjang lebar tentang jawaban tersebut, karena memang keterbatasan yang penulis miliki baik dari segi informasi atau pun analisisnya. Hanya saja, penulis teringat dengan penilaian salah satu dosen penulis saat menempuh pendidikan Strata 1 di IAIN Surakarta, yang saat itu membahas tentang SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Di balik keuntungan dari adanya sekolah ini, yakni luliusannya bisa langsung kerja, ternyata juga ada hal negatif yang jika direnungkan sangat tidak menguntungkan bangsa ini. SMK yang ada dan menjamur saat ini secara tidak langsung akan membentuk dan mengarahkan para generasi muda untuk lebih menjadi “pekerja”, dibandingkan dengan – istilah yang saya pakai adalah – “majikan.” Memang, secara sederhana seseorang yang sekolah di SMK lebih mudah memperoleh pekerjaan di banding dengan yang menempuh jenjang pendidikan di SMA, karena proyeksi dari dua jenis jenjang pendidikan ini berbeda. Anak SMA proyeksinya melanjutkan kuliah, sedangkan anak SMK langsung bisa bekerja.
Hal ini diperparah lagi dengan adanya kecenderungan yang justru mendiskriditkan lulusan jenjang pendidikan yang lebih tinggi dalam bidang pekerjaan. Ini berdasarkan dari pengalaman yang penulis dapati dari seseorang, yang katanya justru di tempat ia bekerja, lulusan S1 itu lebih sulit diterima bekerja karena lulusan S1 cenderung mengharapkan gaji yang besar. Jadi, tempat ia bekerja lebih memilih yang jenjang pendidikannya rendah, namun kemampuannya sama halnya dengan yang pendidikan tinggi. Sehingga dalam segi gaji, lebih murah menggaji karyawan yang berpendidikan rendah. (semoga bisa dipahami). Ini pada akhirnya menimbulkan gejolak tersendiri di masyarakat, yaitu untuk apa menyekolahkan anak tinggi-tinggi jika untuk mendapat pekerjaan saja sulit. Dan gejolak inilah yang sampai saat ini juga masih penulis renungkan, suatu saat penulis mengiyakan pendapat itu, yaitu buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya susah mendapatkan pekerjaan. Namun, di lain waktu, penulis tidak setuju jika kemudian susahnya mencari pekerjaan dihubungkan dengan semakin tinggi pendidikan semakin sulit dapat pekerjaan.
Sampai pada paragraf ini, penulis mulai kesulitan untuk meneruskan pembahasan ini. Namun, yang coba penulis garis bawahi di sini adalah bahwa apa yang disampaikan awardy di atas ada benarnya. Bahwa sudah saatnya kita mulai berbenah diri. Penulis enggan untuk bersikap naif dengan mengatakan bahwa pekerjaan itu menjadi prioritas kedua dalam memutuskan untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan penulis masih ingat dalam sebuah perkuliahan, salah satu dosen bertanya kenapa penulis dan teman-teman tidak mencukupkan diri di Strata 1 saja, penulis menjawab untuk meningkatkan ekonomi. Karena jika hanya ingin menuntut ilmu, maka tidak perlu masuk ke perguruan-perguruan tinggi dengan biaya yang – terkadang – sangat fantastis. Ilmu ada di mana-mana, internet, di jalan, di masjid, di langgar, di surau, di kolong jembatan dan semuanya yang ada di sekitar kita, semua itu adalah sumber ilmu. Tapi kenapa harus masuk ke perguruan tinggi? Penulis yakin, salah satu alasan menempuh pendidikan di perguruan-perguruan tinggi ini adalah untuk meningkatkan status ekonomi.
Meskipun demikian, akan naif pula jika kemudian menuntut ilmu diorientasikan sebagai ajang cari kerja semata. Artinya, sekolah dan sebagainya itu hanya untuk memperoleh legalitas berupa satu lembar ijazah, yang dengan selembar itu bisa mendatangkan pekerjaan lebih mudah. Sedangkan dari segi keilmuan tidak begitu jelas. Tulisan ini saya akhiri dengan sebuah renungan yang penulis dapatkan dari salah seorang guru di Madrasah Aliyah, bahwa:
“Dunia itu ibarat bayangan yang jika kamu mengejarnya maka ia akan lari, semakin cepat kamu mengejarnya, maka semakin cepat pula ia meninggalkanmu. Namun sebaliknya, ketika kamu meninggalkan bayangan itu, maka bayangan itu akan mengikuti, semakin cepat kamu meninggalkannya maka semakin cepat pula ia mengikutimu”
Atas kekurangan dan sebagainya penulis haturkan maaf yang sebesar-besarnya, termasuk dalam hal pemilihan judul yang mungkin dirasa kurang pas. Semoga yang sedikit dan yang kurang jelas ini bisa bermanfaat. []

0 Response to "Dilema Pendidikan Tinggi "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel