Menggugat Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow dan Suka Cita Menulis
Mengawali tulisan ini, saya ingin sedikit berteori dengan mengacu pada
teori lima hirarki kebutuhan manusia yang dicetuskan oleh Abraham Maslow, yaitu
kebutuhan kebutuhan fisiologis yang merupakan kebutuhan paling mendasar dari
semua kebutuhan manusia, dilanjutkan dengan rasa aman, kemudian kasih sayang,
dilanjutkan lagi dengan penghargaan terhadap diri dan kebutuhan paling puncak
seorang manusia adalah aktualisasi diri. Setelah kebutuhan aktualisasi diri ini
telah tercapai, maka tidak ada kebutuhan yang diperlukan oleh seorang manusia
lagi, setidaknya itu kesimpulan sederhana dari teori Abraham Maslow tersebut.
Di sini saya hanya ingin sedikit share tentang suka cita
menulis. Beberapa minggu yang lalu, diadakan pelatihan penulisan ilmiah yang
diselenggarakan oleh Jurusan tempat saya kuliah. Ada banyak hal dan ilmu
berharga yang saya dapatkan dari pelatihan tersebut, dan yang ingin saya
sampaikan di sini adalah apa yang disampaikan oleh salah salah satu nara sumber
yang dihadirkan, yaitu Prof. Dr. Syamsul Arifin (sekedar informasi bahwa kegiatan
ini terdiri dari dua sesi, dan tiap sesi menghadirkan narasumber yang berbeda. Selain
Prof. Dr. Syamsul Arifin, juga dihadirkan Prof. Dr. Muhaimin, MA. sebagai narasumber
pada sesi pertama). Ada yang menarik dari apa yang disampaikan oleh Prof. Dr.
Syamsul Arifin yang kurang lebihnya adalah motivasi untuk menulis. Di awal
diskusi, beliau mengutip pendapat Pramoedya Ananta Toer yang menyatakan bahwa “Anda
boleh menjadi orang yang sangat pintar dan jenius, tapi jika anda tidak
menulis, maka anda akan hilang ditelan waktu. Menulis adalah bekerja untuk
keabadian” kurang lebih seperti itu. Kala itu, Prof. Syamsul Arifin
mencontohkan tokoh Soekarno yang sampai saat ini masih digandrungi oleh
genarasi-genarasi sesudahnya, ini di samping karena sosok Soekarno ini adalah
Bapak Proklamator, kepopulerannya hingga saat ini juga karena tulisan-tulisan
beliau yang merupakan gagasan-gagasan brilian beliau yang ia tuangkan dalam
tulisan. Belum lagi jika kita melihat literatur-literatur ulama klasik yang
sampai saat ini masih digunakan sebagai acuan keilmuan di berbagai lembaga
pendidikan. dan dari karya-karyanya itulah akhir tokoh yang ada di balik
terciptanya karya itu senantiasa hadir dalam keseharian, meskipun tidak secara
ragawi, tapi secara keilmuan beliau-beliau senantiasa memberi warna di sekitar
kita. Jika saja mereka tak pernah menulis karya-karya tersebut, mungkin mereka
sudah terlupakan, atau minimal tak sepopuler saat ini. Ini mengindikasikan
bahwa salah satu faktor yang menjadikan mereka populer hingga saat ini adalah
karya tulis mereka.
Kemudian ada hal menarik lagi yang disampaikan oleh Prof. Syamsul
Arifin dalam pelatihan itu, bahwa menulis itu akan membawa kepuasan tersendiri
bagi penulisnya. Lebih tepatnya ketika memang tulisan kita itu dibaca oleh
orang lain, dan orang lain itu mengapresiasi. Misalnya, menulis di surat kabar.
Beliau menceritakan betapa bahagianya beliau ketika tulisannya pertama kali
dimuat di media massa. Perasaan itu tak tergambarkan dengan kata-kata. Inilah yang
kemudian saya pahami bahwa kepuasan yang dialami itu adalah salah satu bentuk
ketercapaian dari teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow yang keempat dan
kelima, yaitu penghargaan dan aktualisasi diri. Ada kebanggaan tersendiri, bahwa
ketika tulisan itu berhasil dimuat di media massa, maka itu menandakan si
penulis sudah mulai diperhitungkan, setidaknya dalam dunia media massa.
Meskipun saya belum pernah merasakan suka cita seperti yang
dirasakan oleh Prof. Syamsul Arifin di atas terkait dimuatnya tulisan saya di
media massa. Tapi setidaknya saya pernah merasakan betapa saya merasa sangat
dihargai dengan apa yang sudah saya tulis. Jadi, saat itu saya sedang berada di
toko buku di kota Surakarta. Di saat saya sedang mencari buku, tiba-tiba saya
melihat seseorang yang saya merasa pernah bertemu dan cukup familiar, hanya
saja saya tidak tahu betul siapa namanya. Yang pasti ia juga kuliah S1 di
kampus yang sama dengan saya, meskipun berbeda jurusan. Sedikit ragu saya sapa
dia, dan ternyata dia pun membalas sapaan saya dengan cukup akrab. Sedikit kami
bertanya-tanya tentang kabar dan kegiatan yang kita kerjakan saat ini. Pertemuan
ini memang tidak lama, hanya saja pertemuan ini sangat membekas dalam benak
saya. Karena apa? Di waktu pertemuan yang singkat ini, teman saya ini sempat
menanyakan blog pribadi milik saya, “gimana ini? kog blognya akhir-akhir
ini sepi? lagi sibuk ya? saya sering lho baca tulisan-tulisanmu.” Saya pun
hanya mengiyakan saja, karena memang saat ini saya jarang memposting tulisan di
blog saya ini.
Memang benar apa yang disampaikan Prof. Syamsul Arifin, bahwa
menulis itu mendatangkan kepuasan tersendiri. Jangankan sampai dibaca oleh
orang lain, saya sendiri ketika membuka blog saya ini, meskipun di viewer nya
tak begitu banyak, tapi setidaknya saya “bangga” bahwa saya bisa menuangkan
pikiran-pikiran saya ini dalam tulisan. Saya sadar jika apa yang saya tulis tak
terlalu berbobot, apalagi berbau ilmiah. Tapi, pun demikian setidaknya saya
merasa senang karena dengan tulisan-tulisan itu saya bisa mengaktualisasikan
diri. Mungkin pengalaman berharga saya di atas tidak terlalu mengesankan bagi
para penulis yang tulisannya sudah diakui di media-media massa atau usdah
banyak dibaca dan dijadikan referensi-refensi oleh halayak luas. Tapi, bagi
saya pengalaman itu sangat mengesankan, dan ini juga bisa saya maknai sebagai
hal positif untuk bisa berkarya lebih baik, atau jika mengutip kata-kata yang
saya temukan di sekolah Pasca Sarjana Universitas Islma Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta, yaitu “Berkarya yang Layak Dibaca Dunia”.
Dan dari sini,
kemudian saya ingin sedikit menggugat atau lebih tepatnya mengkritik teori Abraham Maslow tentang Hirarki
Kebutuhan Manusia. Nampaknya untuk poin keempat dan kelima perlu ditukar, jadi
aktualisasi diri baru penghargaan. Karena
menurut saya, agar seseorang itu dihargai, sebelumnya ia harus mampu
mengaktualisasikan diri. Kalau dihargai dulu baru aktualisasi, lantas yang
hendak dihargai apa? Tapi saya juga bertanya pada diri sendiri, apakah
pemahaman saya ini salah? Jika memang salah, semoga ke depan saya bisa tahu
letak kesalahan saya dan pernyataan saya ini bisa saya koreksi lagi.
Demikian sedikit yang bisa saya tulis, yang intinya saya
membenarkan berdasarkan pengalaman saya sendiri bahwa ada kepuasan tersendiri
ketika kita bisa dan mau menulis, dan meskipun saat ini saya belum bisa
membenarkan apa yang dinyatakan oleh Pramoedya Ananta Toer di atas berdasarkan
pengalaman pribadi saya, karena memang saya belum tahu apakah tulisan-tulisan
saya ini bisa abadi atau tidak, tapi saya tetap yakin apa yang dikatakan oleh
Pramoedya Ananta Toer itu bukan isapan jempol. Akhirnya, tidak ada manusia yang
nihil dari salah, maka jika ada salah dalam penulisan ini maka itu murni dari
pribadi penulis. Dan jika ada yang benar, maka itu datangnya dari Tuhan Yang
Maha Benar. Wallaahu A’lamu Bish-shawaab.[]
0 Response to "Menggugat Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow dan Suka Cita Menulis"
Post a Comment